Share

2. Dikucilkan

Aku berjalan dengan gontai, meninggalkan kerumunan warga. Mata-mata mereka mengikuti kemana langkahku pergi.

"Padahal kelihatannya alim ya, kok bisa gitu..." Masih kudengar selentingan-selentingan suara yang memojokkanku. 

"Iya benar, dia kan jarang kemana-mana kok bisa selingkuh? Cuma salah paham kali," sahut yang lain ikut menimpali.

"Kalau cuma salah paham, gak mungkin Mas Andri sampai marah-marah begitu."

"Mungkin emang benar, dia wanita murahan. Ih gak banget deh! Padahal penampilannya sederhana begitu, tapi kok bisa-bisanya selingkuh. Ngumbar video porno pula!" 

"Emangnya bener itu videonya??"

"Iya, aku dah lihat lho video itu di F******k, ih menjijikan! Gak tahu malu!" timpal yang lain masih terus memojokkanku.

"Siapa nama akunnya?"

"Cari aja Amira, akunnya masih baru sih, tapi isinya video telanjang begitu, iih..."

Bisik-bisik itu masih terus terngiang di telingaku. Astaghfirullah hal'adzim... Video apa? Bahkan aku sendiri tidak tahu, aku tak punya F******k ataupun sosmed lainnya, hanya aplikasi bergambar telepon warna hijau. Siapa yang sudah menjebakku? Dia sengaja menjatuhkanku dengan cara kotor seperti ini. Padahal aku rasa, aku tak pernah punya permusuhan dengan siapapun. Kenapa bisa sampai seperti ini?

Rasanya diriku sudah rapuh. Separuh hatiku tertinggal disini, dengan luka hati yang menganga. Tak bisa lagi kuungkapkan bagaimana perasaanku saat ini. Patah, hancur, retak, remuk, semuanya bercampur aduk jadi satu.

Yang membuatku sangat sakit, adalah ketika suamiku sendiri tak mempercayaiku. Dia lebih mempercayai orang lain. Bahkan dia tak menyelidiki dulu kebenarannya. Dia menelan mentah-mentah berita yang belum tentu kebenarannya. Dia asal percaya saja apa yang dituduhkan. Padahal itu hanya fitnah. Foto-foto itu memang benar adanya, tapi beritanya tidak seperti yang dituduhkan. 

Mau kemana? Entahlah, aku tak punya tempat untuk bersandar. Aku berjalan melewati gang-gang kecil kampung. Beberapa orang melihatku dengan tatapan penuh tanya, beberapa lagi melihatku dengan pandangan jijik. Ah, kenapa aku menjadi seperti orang yang ternoda. 

Aku luruh, kurobohkan tubuhku di teras mushola. Aku duduk sambil memeluk lutut. Wajahku kubenamkan disana. Basah. Air mata terus saja berderai tanpa henti. 

Seseorang memegang pundakku. Aku mendongak, dengan cepat kuusap butiran-butiran bening yang menetes di pipiku.

"Mbak, mbak Mira, kenapa?" 

Seseorang yang paling kuhindari untuk bertemu nyatanya dia berada di hadapanku. Entah takdir apa yang membawaku, kenapa bisa selalu kebetulan bertemu dengannya. Mas Bian, lelaki itu menyapaku dengan ramah. Tidak tahukah dia, gara-gara pertemuan tak disengajaku dengannya justru dijadikan fitnah yang kejam?

Aku menggeleng perlahan, lalu bangkit meninggalkan pelataran mushola. Dia menatapku seakan penuh tanda tanya. Namun aku tak menanggapi pertanyaannya. Aku hanya diam seraya kutinggalkan dia yang berdiri mematung. Maaf mas, aku hanya tidak ingin mereka menjadi lebih salah paham lagi padaku. Aku tidak mau kaupun terseret-seret pada masalahku. Cukup aku saja yang merasakan terluka.

Mega mendung yang sedari siang bergelayut di langit, kini mulai memuntahkan isinya. Hujan di sore hari mulai turun dengan derasnya, seakan ia pun ikut menangisi apa yang terjadi padaku. Aku tetap melangkah di bawah naungan hujan. Tak kuhiraukan kilat yang menyambar. Hatiku lebih terbakar. Biar hujan saja yang memadamkannya. Cairan hangat yang mengalir di pipi beradu dengan  tetesan hujan yang dingin. Aku termenung lama, rasanya sudah mulai berat kakiku melangkah.

Seseorang memayungiku, tak kurasakan kehadirannya. Mengapa tiba-tiba dia berada disampingku.

"Mbak, setidaknya jangan buat tubuh mbak jadi sakit. Ayo ikut aku ke rumah Budhe," ajak lelaki itu sambil meraih tas ransel yang kubawa. Aku yakin betul, tas beserta isinya sudah basah karena hujan.

"Ayo, ikut aku," sergahnya lagi, namun aku tak menghiraukannya. Aku masih termenung di tempatku bersimpuh. Hatiku sudah luluh lantak. Untuk apa lagi aku hidup? Tak ada yang biasa kujadikan alasan untuk bertahan. Anak tak punya. Orang tua sudah tiada. Lebih baik kalau aku menyusul mereka, bukan?

"Mbak, Ayo ikut aku!" ulangnya lagi. Tanpa kompromi dariku, dia dengan sigap menarik lenganku. Hingga aku berjalan berdampingan dengannya. Ya, dia lelaki itu. Lelaki yang sama saat tak sengaja bertemu dengannya di mushola tadi. Kenapa dimana-mana ada dia?

Baru beberapa langkah, tiba-tiba kepalaku terasa berputar-putar, beberapa kali aku mengerjap kasar, setidaknya aku harus tetap sadar di suasana sore yang kian sepi dan gulita ini. Aku merasa limbung, pandanganku menjadi gelap. Gelap dan entahlah...

***

Aku mulai membuka mata dan melihat sekeliling, memicingkan mata dan mengerjapkan mataku yang sembab ini beberapa kali. Ini kamar siapa? Aku merasa terkejut, ketika mulai tersadar dengan apa yang terjadi. Bajuku yang basah sudah terganti dengan baju kering entah milik siapa, lebih tepatnya kemeja lelaki.

"Akhirnya mbak sadar juga," ucapnya ketika masuk ke kamar ini. Aku terlonjak kaget, segera kuambil selimut untuk menutupi seluruh tubuhku, kecuali wajah. Dia hanya  tersenyum simpul. Siapa yang sudah mengganti bajuku? Jangan-jangan kau orang mesum, mas?

"Tidak usah khawatir, bukan aku yang mengganti bajumu, mbak. Aku hanya membantumu membawa kesini. Oh iya ini rumah budheku," ucapnya seakan tahu isi hatiku.

Tak lama seorang perempuan paruh baya datang menghampiri kami. Dia membawa minuman diatas nampan.

"Ayo nak, kamu minum ini dulu." Wanita paruh baya itu menyodorkan gelas berisi minuman teh hangat, lebih tepatnya wedang jahe.

"Terima kasih, budhe," jawabku sembari menyesapi wedang buatannya. Ada aroma jahe yang melegakan tenggorokan.

"Jangan khawatir nak, budhe yang sudah mengganti pakaianmu, bukan orang lain. Tapi memang bajunya punya si Bian itu, baju budhe kebanyakan daster-daster yang sudah belel," ujar wanita itu lagi. Nada bicaranya ramah dan senyuman tak lepas dari bibirnya.

Aku hanya mengangguk. Aku merasa canggung sekali berada disini. 

"Budhe, sepertinya aku harus pergi," ucapku sambil bangkit berdiri.

"Kamu mau kemana? Diluar masih hujan lebat lho," jawab budhe, matanya menerawang jauh ke luar jendela. "Lagi pula sebentar lagi malam, nak. Kau bermalam disini saja dulu," sambungnya lagi.

Akhirnya akupun mengangguk. Aku tak punya tujuan mau pergi kemana. Lebih baik disini bukan? Di tempat orang yang mau menampungku.

"Hatcchiii.... Hatcchiii..." 

Lelaki itu bersin-bersin sambil menutup mulutnya.

"Bian, kamu flu? Ambil sendiri wedang jahenya diatas kompor nanti diminum, biar badanmu hangat," sergah wanita yang dipanggil budhe itu.

"Baik, budhe," sahutnya, diapun berlalu keluar dari kamar.

"Dia yang menggendongmu sampai kesini, nak. Memang seperti itu, kalau dia kehujanan sedikit saja, dia langsung bersin-bersin. Tapi kalau sudah minum wedang jahe, pasti baikan lagi," jelas budhe tanpa kuminta.

Aku hanya manggut-manggut. Tak lama lelaki itupun datang lagi. 

"Ya sudah, budhe tinggal dulu ya, mau masak buat makan malam." Budhe beranjak dari tempatnya, lalu meninggalkanku berdua dengannya.

Cukup lama kami saling diam, larut dalam pikiran masing-masing.

"Maaf, sebenarnya mbak ini kenapa?" tanyanya memecah kebisuan.

Aku menatapnya sambil tersenyum getir.

"Apa mas tidak tahu apa yang sedang vital di kampung kita?"

Dia menggeleng perlahan. Aku tersenyum getir padanya. 

"Foto-foto kita tersebar mas."

"Kita?"

"Ya. Ada yang menyebarkan foto-foto kita saat kita tidak sengaja bertemu beberapa kali, dan mengirimkannya pada suamiku. Suamiku jadi murka."

Lelaki itu masih memandangku, menyimak penuturanku.

"Dia sudah sukses menjatuhkanku. Sungguh benar-benar itu sebuah fitnah yang kejam."

"Mbak tahu siapa orangnya?"

Aku menggeleng. "Selain itu... Ada yang merekam videoku diam-diam dan menyebarkannya lewat F******k. Entah siapa itu, aku sendiri tak punya akun F******k itu."

Dengan cepat dia membuka gawainya. Lalu berselancar di dunia maya.

"Apa maksud mbak, yang ini?" tanyanya sambil memperlihatkan ponselnya. Aku meraih ponselnya dan menscroll layar ponsel itu.

Aku terbelalak kaget ketika melihat nama dan fotoku terpampang di foto profil. Sejak kapan aku foto seperti ini? Tak sampai disitu, akupun melihat postingan video yang tak senonoh itu. Video seorang perempuan sedang mandi, memang yang terlihat hanya bagian belakang saja. Aku shock melihatnya. Postingan itu sudah disukai puluhan ribu jempol, ribuan komentar dan ratusan dibagikan.

Aku menelan saliva dengan getir. Rasanya shock sekali, mendadak jadi seleb sensasional dengan prestasi buruk. Video itu memang benar-benar aku,  walaupun diambil dari kejauhan. Lalu siapa yang dengan sengaja melakukannya? Di rumah hanya ada Reni, keponakanku umur 7 tahun, dia tidak mungkin melakukannya. Ibu? Ibu juga tidak mungkin melakukannya. Atau jangan-jangan Mbak Lani? Tuh kan aku jadi bersuudzon sendiri. Atau jangan-jangan Mas Bian yang tempo hari membantu kami membetulkan genteng? Tidak, tidak, dia sama sekali tidak masuk kamar mandi. Lalu siapa? Apakah Mas Andri sendiri yang merekamku? Masa iya suamiku sendiri tega berbuat seperti itu?

Benarkah Mbak Lani apa mantan suamiku? Tapi untuk apa dia melakukan ini semua dan menjebakku? 

"Mas, bisakah kau melaporkan akun itu ke F******k agar segera diblokir? Atau kalau tidak di hack saja lalu hapus postingan itu. Kira-kira bisa gak?"

"Jadi mbak yakin, yang di video itu mbak sendiri?"

"Entahlah, aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Aku cuma ingin video itu segera lenyap mas, sungguh aku malu. Aku tidak bisa tidur. Semua orang menatapku dengan pandangan jijik."

"Baiklah, akan kucoba."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status