Aku berjalan dengan gontai, meninggalkan kerumunan warga. Mata-mata mereka mengikuti kemana langkahku pergi.
"Padahal kelihatannya alim ya, kok bisa gitu..." Masih kudengar selentingan-selentingan suara yang memojokkanku.
"Iya benar, dia kan jarang kemana-mana kok bisa selingkuh? Cuma salah paham kali," sahut yang lain ikut menimpali.
"Kalau cuma salah paham, gak mungkin Mas Andri sampai marah-marah begitu."
"Mungkin emang benar, dia wanita murahan. Ih gak banget deh! Padahal penampilannya sederhana begitu, tapi kok bisa-bisanya selingkuh. Ngumbar video porno pula!"
"Emangnya bener itu videonya??"
"Iya, aku dah lihat lho video itu di F******k, ih menjijikan! Gak tahu malu!" timpal yang lain masih terus memojokkanku.
"Siapa nama akunnya?"
"Cari aja Amira, akunnya masih baru sih, tapi isinya video telanjang begitu, iih..."
Bisik-bisik itu masih terus terngiang di telingaku. Astaghfirullah hal'adzim... Video apa? Bahkan aku sendiri tidak tahu, aku tak punya F******k ataupun sosmed lainnya, hanya aplikasi bergambar telepon warna hijau. Siapa yang sudah menjebakku? Dia sengaja menjatuhkanku dengan cara kotor seperti ini. Padahal aku rasa, aku tak pernah punya permusuhan dengan siapapun. Kenapa bisa sampai seperti ini?
Rasanya diriku sudah rapuh. Separuh hatiku tertinggal disini, dengan luka hati yang menganga. Tak bisa lagi kuungkapkan bagaimana perasaanku saat ini. Patah, hancur, retak, remuk, semuanya bercampur aduk jadi satu.
Yang membuatku sangat sakit, adalah ketika suamiku sendiri tak mempercayaiku. Dia lebih mempercayai orang lain. Bahkan dia tak menyelidiki dulu kebenarannya. Dia menelan mentah-mentah berita yang belum tentu kebenarannya. Dia asal percaya saja apa yang dituduhkan. Padahal itu hanya fitnah. Foto-foto itu memang benar adanya, tapi beritanya tidak seperti yang dituduhkan.
Mau kemana? Entahlah, aku tak punya tempat untuk bersandar. Aku berjalan melewati gang-gang kecil kampung. Beberapa orang melihatku dengan tatapan penuh tanya, beberapa lagi melihatku dengan pandangan jijik. Ah, kenapa aku menjadi seperti orang yang ternoda.
Aku luruh, kurobohkan tubuhku di teras mushola. Aku duduk sambil memeluk lutut. Wajahku kubenamkan disana. Basah. Air mata terus saja berderai tanpa henti.
Seseorang memegang pundakku. Aku mendongak, dengan cepat kuusap butiran-butiran bening yang menetes di pipiku.
"Mbak, mbak Mira, kenapa?"
Seseorang yang paling kuhindari untuk bertemu nyatanya dia berada di hadapanku. Entah takdir apa yang membawaku, kenapa bisa selalu kebetulan bertemu dengannya. Mas Bian, lelaki itu menyapaku dengan ramah. Tidak tahukah dia, gara-gara pertemuan tak disengajaku dengannya justru dijadikan fitnah yang kejam?
Aku menggeleng perlahan, lalu bangkit meninggalkan pelataran mushola. Dia menatapku seakan penuh tanda tanya. Namun aku tak menanggapi pertanyaannya. Aku hanya diam seraya kutinggalkan dia yang berdiri mematung. Maaf mas, aku hanya tidak ingin mereka menjadi lebih salah paham lagi padaku. Aku tidak mau kaupun terseret-seret pada masalahku. Cukup aku saja yang merasakan terluka.
Mega mendung yang sedari siang bergelayut di langit, kini mulai memuntahkan isinya. Hujan di sore hari mulai turun dengan derasnya, seakan ia pun ikut menangisi apa yang terjadi padaku. Aku tetap melangkah di bawah naungan hujan. Tak kuhiraukan kilat yang menyambar. Hatiku lebih terbakar. Biar hujan saja yang memadamkannya. Cairan hangat yang mengalir di pipi beradu dengan tetesan hujan yang dingin. Aku termenung lama, rasanya sudah mulai berat kakiku melangkah.
Seseorang memayungiku, tak kurasakan kehadirannya. Mengapa tiba-tiba dia berada disampingku.
"Mbak, setidaknya jangan buat tubuh mbak jadi sakit. Ayo ikut aku ke rumah Budhe," ajak lelaki itu sambil meraih tas ransel yang kubawa. Aku yakin betul, tas beserta isinya sudah basah karena hujan.
"Ayo, ikut aku," sergahnya lagi, namun aku tak menghiraukannya. Aku masih termenung di tempatku bersimpuh. Hatiku sudah luluh lantak. Untuk apa lagi aku hidup? Tak ada yang biasa kujadikan alasan untuk bertahan. Anak tak punya. Orang tua sudah tiada. Lebih baik kalau aku menyusul mereka, bukan?
"Mbak, Ayo ikut aku!" ulangnya lagi. Tanpa kompromi dariku, dia dengan sigap menarik lenganku. Hingga aku berjalan berdampingan dengannya. Ya, dia lelaki itu. Lelaki yang sama saat tak sengaja bertemu dengannya di mushola tadi. Kenapa dimana-mana ada dia?
Baru beberapa langkah, tiba-tiba kepalaku terasa berputar-putar, beberapa kali aku mengerjap kasar, setidaknya aku harus tetap sadar di suasana sore yang kian sepi dan gulita ini. Aku merasa limbung, pandanganku menjadi gelap. Gelap dan entahlah...
***
Aku mulai membuka mata dan melihat sekeliling, memicingkan mata dan mengerjapkan mataku yang sembab ini beberapa kali. Ini kamar siapa? Aku merasa terkejut, ketika mulai tersadar dengan apa yang terjadi. Bajuku yang basah sudah terganti dengan baju kering entah milik siapa, lebih tepatnya kemeja lelaki."Akhirnya mbak sadar juga," ucapnya ketika masuk ke kamar ini. Aku terlonjak kaget, segera kuambil selimut untuk menutupi seluruh tubuhku, kecuali wajah. Dia hanya tersenyum simpul. Siapa yang sudah mengganti bajuku? Jangan-jangan kau orang mesum, mas?
"Tidak usah khawatir, bukan aku yang mengganti bajumu, mbak. Aku hanya membantumu membawa kesini. Oh iya ini rumah budheku," ucapnya seakan tahu isi hatiku.
Tak lama seorang perempuan paruh baya datang menghampiri kami. Dia membawa minuman diatas nampan.
"Ayo nak, kamu minum ini dulu." Wanita paruh baya itu menyodorkan gelas berisi minuman teh hangat, lebih tepatnya wedang jahe.
"Terima kasih, budhe," jawabku sembari menyesapi wedang buatannya. Ada aroma jahe yang melegakan tenggorokan.
"Jangan khawatir nak, budhe yang sudah mengganti pakaianmu, bukan orang lain. Tapi memang bajunya punya si Bian itu, baju budhe kebanyakan daster-daster yang sudah belel," ujar wanita itu lagi. Nada bicaranya ramah dan senyuman tak lepas dari bibirnya.
Aku hanya mengangguk. Aku merasa canggung sekali berada disini.
"Budhe, sepertinya aku harus pergi," ucapku sambil bangkit berdiri.
"Kamu mau kemana? Diluar masih hujan lebat lho," jawab budhe, matanya menerawang jauh ke luar jendela. "Lagi pula sebentar lagi malam, nak. Kau bermalam disini saja dulu," sambungnya lagi.
Akhirnya akupun mengangguk. Aku tak punya tujuan mau pergi kemana. Lebih baik disini bukan? Di tempat orang yang mau menampungku.
"Hatcchiii.... Hatcchiii..."
Lelaki itu bersin-bersin sambil menutup mulutnya.
"Bian, kamu flu? Ambil sendiri wedang jahenya diatas kompor nanti diminum, biar badanmu hangat," sergah wanita yang dipanggil budhe itu.
"Baik, budhe," sahutnya, diapun berlalu keluar dari kamar.
"Dia yang menggendongmu sampai kesini, nak. Memang seperti itu, kalau dia kehujanan sedikit saja, dia langsung bersin-bersin. Tapi kalau sudah minum wedang jahe, pasti baikan lagi," jelas budhe tanpa kuminta.
Aku hanya manggut-manggut. Tak lama lelaki itupun datang lagi.
"Ya sudah, budhe tinggal dulu ya, mau masak buat makan malam." Budhe beranjak dari tempatnya, lalu meninggalkanku berdua dengannya.
Cukup lama kami saling diam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Maaf, sebenarnya mbak ini kenapa?" tanyanya memecah kebisuan.
Aku menatapnya sambil tersenyum getir.
"Apa mas tidak tahu apa yang sedang vital di kampung kita?"
Dia menggeleng perlahan. Aku tersenyum getir padanya.
"Foto-foto kita tersebar mas."
"Kita?"
"Ya. Ada yang menyebarkan foto-foto kita saat kita tidak sengaja bertemu beberapa kali, dan mengirimkannya pada suamiku. Suamiku jadi murka."
Lelaki itu masih memandangku, menyimak penuturanku.
"Dia sudah sukses menjatuhkanku. Sungguh benar-benar itu sebuah fitnah yang kejam."
"Mbak tahu siapa orangnya?"
Aku menggeleng. "Selain itu... Ada yang merekam videoku diam-diam dan menyebarkannya lewat F******k. Entah siapa itu, aku sendiri tak punya akun F******k itu."
Dengan cepat dia membuka gawainya. Lalu berselancar di dunia maya.
"Apa maksud mbak, yang ini?" tanyanya sambil memperlihatkan ponselnya. Aku meraih ponselnya dan menscroll layar ponsel itu.
Aku terbelalak kaget ketika melihat nama dan fotoku terpampang di foto profil. Sejak kapan aku foto seperti ini? Tak sampai disitu, akupun melihat postingan video yang tak senonoh itu. Video seorang perempuan sedang mandi, memang yang terlihat hanya bagian belakang saja. Aku shock melihatnya. Postingan itu sudah disukai puluhan ribu jempol, ribuan komentar dan ratusan dibagikan.
Aku menelan saliva dengan getir. Rasanya shock sekali, mendadak jadi seleb sensasional dengan prestasi buruk. Video itu memang benar-benar aku, walaupun diambil dari kejauhan. Lalu siapa yang dengan sengaja melakukannya? Di rumah hanya ada Reni, keponakanku umur 7 tahun, dia tidak mungkin melakukannya. Ibu? Ibu juga tidak mungkin melakukannya. Atau jangan-jangan Mbak Lani? Tuh kan aku jadi bersuudzon sendiri. Atau jangan-jangan Mas Bian yang tempo hari membantu kami membetulkan genteng? Tidak, tidak, dia sama sekali tidak masuk kamar mandi. Lalu siapa? Apakah Mas Andri sendiri yang merekamku? Masa iya suamiku sendiri tega berbuat seperti itu?
Benarkah Mbak Lani apa mantan suamiku? Tapi untuk apa dia melakukan ini semua dan menjebakku?
"Mas, bisakah kau melaporkan akun itu ke F******k agar segera diblokir? Atau kalau tidak di hack saja lalu hapus postingan itu. Kira-kira bisa gak?"
"Jadi mbak yakin, yang di video itu mbak sendiri?"
"Entahlah, aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Aku cuma ingin video itu segera lenyap mas, sungguh aku malu. Aku tidak bisa tidur. Semua orang menatapku dengan pandangan jijik."
"Baiklah, akan kucoba."
POV AndriSatu hari sebelumnya"Aku kangen sekali padamu, Mira," ucapku dengan lirih sembari memandang fotonya di galeri ponselku.Delapan tahun menikah, namun perasaanku padanya tidak berubah, masih seperti dulu. Aku mencintainya, bahkan saat ini rasa rinduku begitu membuncah. Rasanya sudah tak sabar ingin pulang dan melihat paras wajahnya yang ayu. Aku tersenyum membayangkan dia menyambutku dengan hangat. Dia yang manja akan bergelayut di lenganku. Lalu sampai kamar aku akan memeluknya dan menciumnya dengan mesra.Aku sudah bersiap-siap untuk pulang, dengan sebuah tas ransel di punggung. Seminggu sekali aku pasti pulang ke rumah, untuk menemui istri dan ibuku.Tiba-tiba sebuah pesan WA masuk dari Mbak Lani. Dia mengirimkan foto-foto istriku bersama seorang lelaki.[Maafkan aku ya Mas Andri, ini kelakuan istrimu di belakangmu. Dia berselingkuh sama si mas-mas yang ada di foto itu. Aku sering lihat mereka berdua bertemu. Tapi hanya fot
Aku berdiri dengan gelisah, mondar-mandir tak tenang di depan ranjangku."Bagaimana, Andri?" tanya ibu menghampiriku."Ternyata aku sudah salah menilainya, bu. Bodohnya aku tidak percaya pada istriku sendiri," sahutku penuh sesal.Ibu memandangku dengan tatapan iba. "Bagaimana ini? Diluar sudah mulai hujan... Kasihan Amira, pergi kemana dia? Dia tidak punya sanak saudara disini," sahut ibu, netranya nampak berkaca-kaca.Ucapan ibu justru membuatku makin menyesal."Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Aku mengembuskan nafas dengan kasar. "Aku sudah mengucapkan kata talak tiga kali, bu," sesalku lagi."Astaghfirullah hal'adzim, Andriii...""Andri nyesel, Bu.""Tidak ada gunanya kamu menyesal sekarang. Makanya kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik dulu, bukan karena emosi kamu menjatuhkan talak segitu mudahnya. Kalau kayak sekarang gini gimana?""Apa aku masih bisa rujuk sama Mira, Bu?""Bisa, nanti kita tan
"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman."Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas."Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira."Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi."Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian."Budhe Narti?""Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi."Warungnya di sebelah mana, Bu?"Dekat pasar kok.""Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayangan
"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku."Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya."Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya."Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik."Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba ni
Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini."Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag