Aku tidak tertarik denganmu. Tapi aku ditarik olehmu dan juga karenamu."
•••
12:05 PM
Di perpustakaan sangat sepi.
Laura membolos satu mapel pelajaran hanya karena dia tidak suka dengan pelajaran itu.
Fisika.
Yah, siapa yang akan betah duduk di dalam kelas mendengar guru mengoceh rumus yang tidak akan pernah bisa kau mengerti?
Itu salah satu kelemahan Laura.
Menghitung.
Dia sangat membenci itu, bahkan Nilai Matematikanya tidak pernah lulus dari kata Remedial.
Selalu saja merah.
Dan sekarang satu-satunya tempat Favoritnya saat membolos adalah perpustakaan.
Suasana sejuk, sunyi dan tenang. Inilah yang Laura harapkan.
Gadis itu menarik pijakan kaki ke arah rak paling ujung, berniat mengambil buku cerita bertema Fantasy yang ingin dia baca.
Entah tubuhnya yang terlalu pendek atau Raknya yang terlalu tinggi. Dia tidak sampai mengambil buku itu.
Dia akhirnya menginjak pijakan rak buku itu, dan dia berhasil mengambil buku yang ingin dia baca.
Saat buku sudah berhasil dia pegang, dia tersenyum sumringah dan membuka-buka bagian lembar buku.
Tapi Laura tidak sadar akibat ulahnya itu rak bukupun bergoyang, di atas tempat buku yang Laura ambil terdapat buku-buku yang lebih besar, sebesar buku kamus atau sejarah yang siap menimpa kepala mungil milik Laura.
"AWAS!!" Teriakan besar dan kencangpun menggema, membuatnya tersentak menengadahkan kepalanya kaget.
Sadar buku itu akan menimpanya langsung, yang Laura lakukan malah memeluk buku fantasy itu dan hanya menunduk lalu menutup matanya.
'BRAK!'
Suara buku jatuhpun terdengar tapi, Laura tidak merasakan rasa sakit yang menimpa kepalanya.
Dengan perlahan dan takut-takut dia membuka kedua matanya.
Hal pertama yang Laura lihat adalah postur tubuh seorang laki-laki.
Lalu kepalanya menengadah pelan-pelan, dan mata besarnya itupun membulat kaget.
Karena wajahnya bertemu dengan wajah lelaki itu, sangat dekat.
Yang lebih mengejutkan lagi, laki-laki itu menunduk dengan satu tangan yang menahan rak buku dan satu tangannya lagi yang menahan buku-buku besar itu untuk tidak jatuh mengenai kepalanya, sedangkan kepalanya menunduk. Badannya berusaha menahan rasa sakit ketika buku-buku besar itu jatuh mengenai badannya.
Dari dekat Laura bisa merasakan deru nafas yang sangat kuat.
Ya laki-laki itu terlihat sehabis berlari dan ngosh-ngosh an.
Mereka bertatapan cukup lama, lelaki itu memandang Laura dengan tatapan biasa namun datar sedangkan Laura matanya masih melotot terkejut.
"Disaat itulah, Awal Cerita mereka dimulai"
"Ketakutan terbesarku adalah... Tidak bisa menjaga dia." ••• Suara petir menggelegar sangat kencang di luar sana, di sertai angin dan hujan yang turun dengan lebat. "Reyyan, apa itu sebutan darimu untuk bocah laki-laki berbakat ini?" Lelaki itu tersenyum miring. "Hei, Kenapa kamu begitu takut melihatku?" Laki-laki itu menggores kuku telunjuknya pada rahang bocah laki-laki ini. Dia menengok ke arah kiri tapi sedetik kemudian kembali menengok ke arah bocah itu dengan smirk yang ada di wajahnya.
"Maaf telah melibatkanmu." ••• Brak!! Satu tangan kokoh berhasil menangkap bola basket yang melambung ke arah Oca dan Laura. "AH!" Satu lapangan teriak dan terkejut, karena dengan hitungan 1 detik bola itu bisa Langsung mengarah ke kepala mungil Laura. Kedua sahabatnya Eren dan Rika ikut terkejut, Eren menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan Rika membiarkan mulutnya menganga lebar melihat kejadian tadi. Mereka tidak menyangka, yang menyelamatkan Laura dan Oca adalah seorang Laki-laki yang diceritakan Laura tadi. Bisikan-bisikan mulai berd
"Beberapa orang ingin tau takdir yang mereka miliki, setelah tau. Beberapa takdir mereka ada yang tidak berjalan mulus dan mereka berusaha menghindarinya, mengubahnya, walaupun mereka tau. Mereka tidak bisa merubah apapun." ••• "Lo kemana lagi, gue cariin ngilang ga dicariin muncul terus." Reyyan tersenyum miring dalam tidurnya saat mendengar suara halus itu membicarakan dirinya. "Apa gue mesti bunuh diri dulu, baru lu dateng nyelametin gue?" Tapi kata-kata itu berubah menjadi kata-kata paling idiot yang pernah dia dengar. "Iya! Gue bunuh diri aja! Cape gue hidup begin
"ini lebih sulit dari yang ku kira. Aku tidak akan menyesalinya." 🍁🍁🍁 "Uhm..." Laura membuka kedua kelopak matanya, mengedip pelan berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk pada matanya. Hal pertama yang dia sadari sekarang adalah, dia berada di kamarnya. "Eh?!" Gumamnya kaget pada dirinya sendiri. Melihat tangannya yang di infus dan baju piyama yang sekarang sedang dia pakai. Dia tiba-tiba lupa dengan kejadian yang membuatnya menangis. "Eh, anak mama udh siuman." Catherine ibunda Laura mengecup kening Laura membawa rasa nyaman disitu.
Laura membuka kedua matanya, badannya masih terasa sangat sakit. Dia melirik ke kanan dan melihat infusan yang terpasang di pergelangan tangannya. Tiba-tiba ibunya masuk membawa secangkir teh dan juga bubur. "Sayang, udah siuman. Mama yang bawa kamu ke kamar susah payah, Mama juga bawa kamu diem-diem biar ga ketahuan Papa. Sekarang dimakan dulu ya, buburnya masih anget ini." Laura hanya diam, matanya melihat kedepan tapi pandangannya kosong. Ya, Trauma itu datang lagi. Ibunya menggigit bibir bawahnya khawatir melihat Laura sekarang. Tubuhnya kurus dan pucat, hampir seperti mayat hidup sekarang. "Laura ini dimakan dulu yuk, abis itu kita ke dokter, atau besok kita ke dokter." Ibunya terus menyodorkan sendok ke mulut Laura, tapi Laura tak kunjung membuka mulut. Ibunya mendesah merasa makin khawatir. "Ibu kan udah bi
Laura membuka mata perlahan, setelah kedua matanya terbuka lebar dia menengok ke arah kanan. Kedua pupil matanya melebar, kaget melihat ada seseorang didekatnya. "Elo! Kenapa lo disini?!" Teriak Laura sambil menunjuk orang disebelahnya. Seseorang itu hanya nyengir seperti tak ada beban disana. Siapa lagi jika bukan Reyyan. "Gangguin lo." Jawabnya enteng. Laura memutar kedua bola matanya malas. "Gue ga nerima orang yang dateng cuman buat gangguin gue." Laura menyibakkan selimut hendak berdiri. "Awas!" Teriaknya kesal yang tidak bisa pergi karena kaki panjang Reyyan yang menghalangi.
Laura duduk dimejanya sambil menggigit bolpoint, mimik wajahnya terlihat berpikir keras. "Reyyan penyihir, Ayah penyihir tapi dari mana rasa sakit dari dada Reyyan?" "Apa penyihir itu seperti di film Harry Potter? Tapi kulihat Reyyan tidak pernah membawa tongkat penyihir." "Ah Pusing!" Teriaknya sambil menaruh kepalanya di atas meja Laura tidak sadar teriakannya dilihat satu kelas. Saat dia menengok ke teman-temannya wajahnya berubah pucat pasi. "Laura lo gapapa kan?" "Lo mikirin apaan, sampe pusing?" "Agaknya Laura tertekan." "Eng-enggak! Gapapa hehe. Pelajaran hari ini pusing banget." Alibinya dan kembali menaruh kepalanya di atas meja. "Aduh Laura lo bego banget!" rutuknya dalam hati. Tiba-tiba datang bu Heny, guru kimia masuk ke kelas mereka.
"Tuan Putri hanya boleh mencintai anak Raja yang pertama." ••• "Untuk apa kau susah payah mencari tau kalau pada dasarnya dia tidak akan menjadi milikmu?" Reyyan terhentak kaget mendengar suara itu, Reyyan sangat mengenali suara itu. Dia langsung menoleh ke belakang terlihat seseorang dibelakangnya tersenyum miring tanpa ada rasa bersalah. "Devon." Reyyan menyebut nama pemuda itu dengan suara rendah seperti ancaman kalau dia tidak ingin diganggu. Devon lelaki itu yang terbang sambil tersenyum miring tadi merasa tidak terganggu dengan ucapan Reyyan, dia malah mendekati Reyyan.