Malam yang sunyi di Villa Dhananjaya, suara teriakan menggema dari lantai dua. Suara itu diyakini oleh para pelayan terdengar dari kamar sang tuan muda, Varen dan istrinya Kinan.
Varen Dhananjaya adalah putra dan pewaris tunggal Revorma Group, sedangkan istrinya adalah Dewi Kinantri seorang model dengan paras yang ayu dan tinggi semampai. Jika dilihat dari wajah dan penampilannya, Kinan adalah wanita idaman setiap pria yang memandangnya.
“Ren, aku harus pergi sekarang!” teriak Kinan pada Varen.
Varen masih mencerna apa yang kini terjadi dalam keluarganya, perusahaan yang sedang diambang kehancuran dan juga wanita yang sangat dia cintai justru lebih memilih untuk pergi, ketimbang berada di sampingnya, menguatkan dan juga memberikannya dukungan.
Bukan hanya meninggalkan dirinya, tapi Kinan bahkan tega meninggalkan putrinya yang baru berumur satu tahun. Dimanakah letak hati nuraninya sebagai seorang ibu?
“Ren, kamu gak denger aku ngomong apa?” Lagi-lagi Kinan berucap dengan nada tinggi sampai-sampai cicak di dinding pun seakan mendengar perdebatan mereka.
“Sayang, aku mohon lebih pelan sedikit, kasian Aerin bangun denger suara kamu, kita bisa bicarakan baik-baik, Sayang. Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi,” bujuk Varen kepada sang istri.
Varen tentu tidak mau semudah itu kehilangan Kinan karna Kinan adalah wanita yang dia cintai sejak duduk di bangku SMA.
Dan Varen lah yang selama betahun-tahun selalu mendukung karier Kinan hingga bisa menjadi model terkenal. Namun Kinan seolah lupa semuanya, lupa jika Varen lah yang menemaninya dari nol.
Karena bertepatan dengan itu, Kinan tahu bahwa Revorma Group telah runtuh, perusahaan manufaktur yang sempat menduduki jajaran 5 besar industri tanah air kini tengah berada di ambang kehancuran.
Tentu di tengah terpuruknya Revorma pasti ada saja pihak-pihak lawan yang sengaja mengambil keuntungan.
Rama Dhananjaya pemilik sekaligus Direktur Utama Revorma Group tidak bisa berkutik untuk saat ini.
Usia yang semakin tua dan dan kondisi jantung yang semakin melemah membuat Rama harus dilarikan ke Rumah Sakit.
Kini setelah Kinan tahu bahwa perusahaan orang tua Varen bangkrut Kinan lebih memilih untuk pergi, dia tidak mau jatuh miskin dan tidak mau jika uang dan kariernya yang saat ini dia miliki dimanfaatkan oleh Varen.
Sepicik itukah Kinan?
Seakan tidak peduli dengan Aerin yang kini tengah menangis, Kinan beranjak membawa koper yang telah disiapkannya sedari tadi.
“Sayang, Aerin nangis! Aku mohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku dan Aerin.”
Varen berlutut di hadapan Kinan, namun Kinan seolah tidak mendengar ucapan Varen dan berlalu pergi sambil membanting pintu.
Suara tangis Aerin semakin menggema mengiringi derasnya hujan yang malam ini sedang turun, menambah kacaunya hati Varen.
Varen duduk di lantai dengan lutut ditekuk sambil sesekali menggusar rambutnya ke belakang.
Apa yang akan dia lakukan besok, lusa dan seterusnya. Apakah dia masih mampu memandang dunia? Bahkan rintik hujan pun menertawakan kekalahannya hari ini.
Jangankan perusahaan bahkan keluarganya pun tidak mampu dia pertahankan. Apakah masih pantas jika dia di panggil papa oleh Aerin?
Mengingat Aerin, Varen lantas keluar dari kamarnya menuju kamar putrinya. Aerin yang kini berusia 1 tahun, sedang menangis di dalam gendongan baby sitter.
“Tuan, tubuh Nona Aerin panas. Sepertinya dia demam,” ucap sang baby sitter panik.
Varen lalu memegang kening putrinya dengan telapak tangan. Benar saja, suhu tubuhnya diperkirakan sudah mencapai 39 derajat celcius.
“Tolong panggilkan dokter!” titah Varen pada pelayan rumah yang lain.
Varen masih berdiri di sana, mencoba menghubungi Kinan sekali lagi. Mungkin saja dengan mendengar kondisi Aerin, Kinan mau merubah niatnya dan kembali lagi bersamanya.
Tapi begitu panggilan tersambung, apa yang Varen harapkan seolah berbanding terbalik dengan kenyataan.
“Ren, apa lagi sih?” tanya Kinan dari seberang sana.
“Sayang, aku mohon, kembalilah! Aerin, Aerin sedang demam, badannya panas sekali.”
“Ren, itu urusanmu, ya! Aku sudah serahkan semua kepadamu. Jadi aku harap kamu bisa menjaga dan merawat Aerin tanpa aku. Sekali lagi aku ingatkan, jangan pernah menghubungi aku lagi dengan alasan Aerin.”
Seolah batu yang menghujani hatinya, Varen berdiri, mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dia miliki untuk kembali melanjutkan hidupnya.
Setelah Dokter melakukan pemeriksaan dan memberikannya obat penurun panas, barulah Aerin bisa tidur dengan tenang. Lampu tidur dengan cahaya temaram menyinari wajah kecil Aerin yang cantik.
Varen memandang Aerin, memandang setiap lekukan dari wajah putrinya. Hati Varen semakin memanas kala dia melihat wajah Kinan dalam diri Aerin.
“Kenapa Kinan, kenapa kamu menyisakan satu kenanganmu untukku. Tidak bisakah kau ambil semua yang kupunya?” ucapnya lirih di dalam hati.
***
Kini empat tahun sudah berlalu, bersama dengan kepingan hati yang telah hancur Varen bekerja siang dan malam membangun kembali Revorma Group.
Dalam kurun waktu yang terbilang cukup singkat, Revorma Group kembali ke masa kejayaannya di bawah pimpinan Presiden Direktur Varen Dhananjaya.
Tapi apa yang telah dia bangun di luar tidak sama dengan apa yang ada pada dirinya. Sosoknya yang dingin setelah kepergian istrinya membuat setiap wanita tidak berani menyentuhnya.
Hatinya bagaikan gunung es yang tidak akan pernah mencair, sikap dinginnya pun dia tunjukkan bukan hanya kepada orang lain, tapi juga putrinya Aerin.
Aerin tidak hanya kehilangan mamanya, tapi juga telah kehilangan kasih sayang dari papanya. Setiap hari Aerin selalu memanjatkan doa agar papanya mau menemaninya bermain dan mengantarnya ke sekolah seperti yang dia lihat pada teman-temannya.
Bahkan di hari ulang tahunnya, papanya selalu pulang larut malam. Tidak pernah sekalipun menemaninya hanya sekedar meniup lilin apalagi memberikan ucapan selamat kepadanya.
Varen tidak pernah melihat kehadiran putrinya di rumah itu.
“Hai, Sayang. How are you?” tanya Bayu kepada Aerin.
“Good, Uncle, how about you?”
“Awesome, I miss you so badly. Baby!”
“Me Too!”
Tentu saja Aerin akrab dengan siapa saja kecuali dengan papanya, Aerin sering takut jika melihat papanya karena Varen pun tidak pernah bersikap manis layaknya seorang ayah dengan anaknya.
Seperti hari ini dia memang tampak akrab dengan Bayu. Bayu adalah orang kepercayaan Varen, sahabatnya pada masa kuliah. Tidak bisa di pungkiri bahwa Bayu pun turut andil dalam kesuksesan Varen, bahkan Bayu lah yang membawa Varen keluar dari masa-masa terpuruknya.
Jangan lihat kepintaran Aerin, di usia 5 tahun dia sudah bisa menguasai 3 bahasa asing. Tentu saja karna darah yang mengalir dari tubuhnya adalah darah Dhananjaya, tidak terlepas juga karna aerin bersekolah di sekolah elit bertaraf internasional.
Meski Varen tidak pernah peduli akan Aerin namun kakek dan neneknya sangat menyayangi Aerin, karna aerin satu-satunya penerus keluarga mereka.
Di gedung mewah nan megah setinggi 60 lantai, di tempat inilah Revorma Group berdiri.
Setiap orang berlomba- lomba untuk bisa mengadu nasib dan kepintaran di sini, namun Varen tetaplah Varen, dia tidak akan sembarangan memilih orang-orang kepercayaannya. Dia tidak akan pernah membuat Revorma Group runtuh untuk kedua kalinya, apalagi saat ini dibangun dengan hasil jerih payah dan kinerjanya yang tentu sudah tidak diragukan lagi.
Di depan jendela kaca berukuran 82x100 cm Varen berdiri memandang indahnya kota Jakarta siang itu, tiba-tiba ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Selamat siang, Pak. Satu jam lagi kita akan rapat dengan dewan direksi!” pinta Bella sang sekretaris andalan.
Namun selama 2 tahun bekerja di Revorma dan selama itu pula Bella diam-diam menjadi pengagum rahasia Varen, ya tanpa tanpa Varen sadari jika Bella sudah menaruh hati padanya.
Tidak hanya Bella bahkan seluruh staff wanita di Revorma Group tergila-gila dengan atasannya yang tampan meski hatinya dingin bagai gunung es yang tidak bisa tersentuh.
Sikap dingin Varen membuat Bella bergumam di dalam hati, “Lihat saja, Tuan Varen, kamu pasti akan bertekuk lutut di hadapanku!”
Dia mengangkat telpon sambil membaringkan Aerin di atas ranjang.Seseorang diseberang sana kembali bersuara, “Kakak bodoh kamu itu tiba-tiba lari, aku juga tidak tahu lari kemana.” Suara Aurel terdengar sangat datar, tanpa ada rasa sedih sedikitpun padahal itu juga adalah kakaknya.Alexa merasa suhu tubuhnya mendadak menjadi dingin. Hujan sebesar ini, kakak bisa-bisanya hilang. Apa yang sebenarnya mereka lakukan terhadap kakaknya? Dari dulu kakaknya tidak akan keluar dari rumah tanpa sebab.Dia mengidap autis, bagaimana kalau kakaknya bertemu orang jahat. Alexa tidak berani memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi terhadap kakaknya.“Aku harus pergi, Ren!”“Kamu mau kemana? Hari masih gelap, bertemu orang juga tidak mungkin di jam-jam begini”Namun Alexa tidak mendengarkan ucapan Varen, bahkan dia juga tidak berniat untuk menjelaskan. Saat ini yang ada di otaknya adalah kakak dan kakak.Alexa langsung keluar dari apartemen Varen, dia berlari di tengah hujan seperti orang gila. Unt
Alexa masih berjongkok sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangan, hatinya bergetar hebat dan dia tidak merespon ucapan Varen.Varen merasa ada banyak luka yang wanita ini sembunyikan, bahkan luka 4 tahun terakhir tidak sebanding dengan tekanan psikis yang Alexa alami. Varen masih jauh lebih beruntung karena ada keluarga dan sahabat yang mensuportnya. Sedangkan Alexa, dia harus berjuang sendiri dari kecil.Varen mengulurkan tangan dan memapahnya untuk berdiri, mata Alexa sembab karena menangis. Menambah kesan iba dari diri Varen terhadap wanita dihadapannya.“Kita pergi dari sini?” tanya Varen.“Tolong antarkan aku pulang!”“Kamu mau pulang kemana? Sebaiknya kamu ikut ke apartemenku, apalagi jika kamu sudah memiliki jawaban atas tawaranku kemarin. Besok kita bisa langsung mencari apartemen yang cocok buatmu dan segera menjemput kakakmu.”Alexa terdiam beberapa saat, sebenarnya ada keraguan yang mengganjal dihatinya namun dia tidak bisa membohongi hatinya kalau dia sangat menya
“Ada urusan.” Nada suara Varen yang rendah dan jernih terdengar sedikit berat. Alexa mengedipkan matanya dan merasa kantuknya menghilang.Aku ingin meminta jawaban yang kemarin.” Nada suaranya masih terlihat dingin seperti biasanya.Alexa menggeserkan selimutnya dan bangun dari tempat tidurnya dengan satu tangan memegang handphone. Pria ini menelepon larut malam begini hanya untuk menanyakan jawaban atas tawarannya kemarin, sungguh pria yang pemaksa.“Aku ingin bertemu denganmu.” Varen berkata lagi.Alexa, “……….”Mengajak bertemu pada larut malam, permintaan ini agak kelewatan.“Bagaimana kalau aku tidak mau dan kita tidak perlu bertemu?”Varen mengangkat kepalanya dan menatap ke lampu jalan yang bercahaya, ekspresi dingin di wajahnya semakin terlihat karena disorot oleh lampu jalan yang terang.“Tunggu aku di luar, aku akan menjemputmu!” Selesai berkata dengan nada memerintah dan memaksa, Varen langsung menutup teleponnya tanpa aba-aba.“Apakah dia tidak perlu menanyakan di mana diri
Varen hanya mengedip-ngedipkan matanya seolah-olah sudah paham arah pembicaraan mereka kemana. Tidak berapa lama bagaikan sudah disetting seperti sinetron yang biasa Bi Minah tonton di apartemennya, Vita pun datang mendekat.Satu hal yang pertama kali Vita lihat adalah wajah Varen yang tampan, dia sampai tidak bisa mengedipkan matanya lantaran kagum akan semua yang melekat pada diri Varen.Nanea lantas menyadarkan Vita dari lamunannya, “Vit, kenalin ini Varen. Kamu masih ingat Varen kan teman masa kecilmu? Varen udah banyak berubah lo sekarang, udah sukses pula. Nanti kamu harus banyak belajar dari Varen cara mengurus perusahaan, jadi mulai sekarang kamu harus lebih sering berinteraksi dengan Varen,” ucap mamanya yang berhasil membuat Vita tersipu malu.Tapi tidak bagi Varen, dia justru muak dengan acara seperti ini. Sekarang dia sudah tahu sasaran perjodohannya kali ini adalah Vita, tetangganya semasa kecil.“Kalian ngobrol dulu deh berdua, mama sama Tante Nanea mau ketemu teman-tema
“Oke.” jawab Aerin sembari mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.Varen dan Alexa pun bangkit dan berjalan beriringan keluar dari kamar, mereka menuruni tangga menuju ruang tamu. Alexa merasa canggung dengan kegilaannya semalam, entah kenapa dirinya hilang kendali karena mabuk.Demi mengubah kecanggungan, dia lalu menawarkan teh untuk Varen.“Kamu mau aku buatkan chamomile tea? Lumayan untuk menghilangkan mabuk dan menenangkan pikiran,” ucap Alexa“Boleh.” Varen inginnya to the point saja, namun dia bingung harus memulai darimana percakapan ini.Alexa pun kembali ke sofa dengan dua chamomile tea, satu untuk dirinya dan satu untuk Varen.“Maaf!” Mereka serentak mengucapkan kata maaf, seperti sedang paduan suara saja.Varen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan tersenyum canggung, begitu juga dengan Alexa yang tidak kalah canggungnya. Dalam hatinya sangat-sangat malu, sudah menumpang malah bikin masalah pula.“Ladies first” ucap VarenAkhirnya Alexa mulai berbicara dan pertama-tama
Sontak Varen kaget dan berniat mengembalikan Alexa ke posisi semula atau membaringkannya di atas sofa. Namun tindakannya terhenti kala Alexa mulai meracau.“Kamu juga menghinaku, semua menghinaku, apa salahku! Aku bukan wanita jalang yang menghibur banyak pria, aku memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi aku bukan pelacur! Aku sudah berusaha mencari uang untuk pengobatan kakak!”“Papa, aku janji akan membawa kakak pergi. Papa, kenapa kamu tidak membawaku dan kakak pergi ke surga sana. Papa, besok aku akan mencari pekerjaan! Aku janji, Pa!” Dia lalu menangis di pelukan Varen, tanpa terasa kemeja yang dikenakan Varen sudah basah oleh airmata.Varen seperti merasakan sakit dan beban yang dirasakan Alexa, melihat wajahnya yang indah Varen merasa tenggorokannya sangat kering. Menggunakan keberanian karena pengaruh alkohol, tiba-tiba dia pun kelihangan kendali dan menciumnya.Alexa yang belum sepenuhnya sadar tiba-tiba berkata, “Panas sekali.” Kedua matanya tertutup rapat, tapi tubuhnya