“Begini nasib jadi bujangan, kemana mana asalkan suka, tiada orang yang melarang. Hati senang walaupun tak punya uang,” suara sumbang diiringi petikan gitar memecah kesunyian di pos 2 gunung Merbabu via Selo malam ini.
“Nyaring amat Lo nyanyinya, Ri?" Kata Juna sambil menikmati kopi hitamnya.
“Ya ginilah, Mas. Nasib pengangguran banyak acara alias pengacara kaya gue. Sudah hampir dua tahun gue lulus kuliah, tapi kagak dapat kerjaan terus.”
“Kenapa Lo nggak nyoba untuk buka persewaan alat-alat gunung. Lumayan koleksi Lo kalo di komersilin.”
Rio menghela nafasnya dan menatap Juna dengan pandangan malas.
“Tanpa Lo ngomong juga gue sudah buka dari jaman kuliah dulu. Kalo enggak gimana bisa gue mencukupi kebutuhan harian gue.”
Kini Juna menaruh cangkir kopi stainless steel-nya di tanah dan menatap Rio dengan tatapan penuh menganalisa. Riosandi Gumilang, sosok kaki-laki yang Juna kenal sejak masih berada di bangku kuliah semester 3 dan kini ia telah menyelesaikan pendidikan strata duanya dan mendapatkan gelar sarjana seni. Walau tidak tergolong lulusan cumlaude, Rio cukup berotak. Sayangnya jurusan yang Rio ambil tentu tidak dibutuhkan di perusahan miliknya sehingga Juna tidak bisa mengajak Rio untuk bergabung bersamanya. Padahal Rio juga masih memiliki tugas untuk menyelesaikan kuliah administrasi bisnis sesuai keinginan orangtuanya. Bahkan Juna cukup salut ketika melihat Rio bisa santai tanpa terlihat stress karena masalah tuntutan kelulusan di jurusan administrasi bisnis dari orangtuanya. Karena bagaimanapun kuliah di jurusan yang tidak sesuai dengan pilihan hati tentulah berat untuk dijalani.
“Asal job wedding sama prewedding lancar aja, Bro. Ingat ya, kerja itu nggak harus kantoran dan berdasi yang penting dompet Lo kagak pernah kempes," kata Prima pada Rio.
“Kempes nggak masalah selagi saldo di ATM nya nggak berseri kaya mas Juna,” kata Manda yang membuat Juna hanya tersenyum dan teman-teman pendakiannya kali ini tertawa cekikikan.
“Ya iya lah, kalo duitnya kempes kaya gue, gimana bisa ikutin gaya hidup Mbak Nada dan geng-nya? Bayangin tas yang ditenteng bininya mas Juna aja bisa buat beli rumah satu tipe 36 masih sisa dapat mobil sebiji,” Kata Rio disela sela tawanya.
“Gue doain bini Lo besok kaya raya, biar Lo tinggal ongkang-ongkang dirumah.”
“Aamiin,” kata Rio sambil mengelap mukanya dengan kedua tangan.
***
Walau sudah sering kali naik turun gunung dan tak terhitung jumlahnya sejak ia masih SMP tetap saja badan Rio remuk redam dan kakinya pegal-pegal setelah melakukan pendakian. Kalo ada yang bilang mendaki itu tidak membuat lelah dan tetap strong, tolong dicek saja, mungkin yang ia naiki adalah gunung kembar yang menggantung dengan sempurna dan indah di tubuh seorang wanita bukan gunung sungguhan.
Siang ini Rio turun dari Jeep Gladiator Rubicon milik Juna dengan wajah lesu dan yang ingin ia lakukan adalah tidur. Kini uang di dompetnya hanya tersisa gambar Kapitan Pattimura. Tentu saja itu tidak akan cukup untuk membeli sebungkus nasi angkringan.
“Thanks ya, Mas, Lo sudah mau antar gue sampai kost. Nggak mampir dulu, Mas?”
“Sama-sama. Nggak usah soalnya bini gue lagi pergi sama Mama. Kasian Papa jagain sikembar sendirian. Gue duluan ya? Bye.”
“Bye, Mas.”
Kini Rio berjalan menuju kamar kostnya yang berada di paling belakang bangunan kost dua lantai ini. Saat sampai di depan kamarnya ia melihat Mika, adik angkatannya di jurusan administrasi bisnis.
“Mas Rio,” sapa Mika ramah.
Rio hanya tersenyum. Ya, Mika adalah sosok perempuan incaran laki-laki di kampus karena cantik, seksi dan tentunya berasal dari affluent society. Berbeda dengan dirinya yang berasal dari middle class.
“Kok Lo bisa ada di kost gue siang-siang begini?” tanya Rio tanpa basa basi pada Mika.
“Iya, Mas. Sebenarnya pingin ngajakin nonton, Mas Rio, mau?”
Rio hanya tersenyum tipis, jangankan untuk nonton, yang di dompetnya saja tinggal seribu rupiah. Mungkin untuk makan nanti ia harus menyembelih celengan ayam miliknya.
“Sorry ya, Mik, bukannya gue nggak mau, tapi gue capek. Lagipula pengangguran kaya gue gini harus selektif ngeluarin duit.”
“Mas Rio kan masih belum wisida, jadi ya wajar belum dapat kerja.”
Rio paling malas menerangkan kepada orang lain bahwa ia sudah pernah diwisuda bahkan dua kali, sayangnya bukan di jurusan administrasi bisnis. Ia lebih memilih disebut mahasiswa abadi karena ia pernah mengambil cuti dua semester untuk menyelesaikan tesisnya.
“Mending Lo bantuin gue cari kerja aja. Nanti kalo gue sudah dapat gaji pertama, gue traktir nonton.”
Mika yang memang sudah naksir Rio sejak pertama kali bertemu dengannya tentu saja tersenyum bahagia mendengar perkataan Rio ini.
“Serius, Mas?”
“Iya.”
“Kriteria kerjaan yang Mas Rio cari itu apa aja? Coba sebutin?”
Pertanyaan yang bagi Rio sangat lucu dan itu membuatnya tersenyum sambil memandang Mika. Mika yang dipandang Rio seperti itu sudah panas dingin. Seorang Riosandi Gumilang menatapnya dengan senyum teduhnya, hmm, Mika jadi makin salah tingkah dibuatnya.
“Gue nggak punya kriteria harus apa. Selagi pekerjaan itu halal, tidak melanggar hukum dan gajinya cukup untuk bayar kost beserta makan harian aja sudah Alhamdulillah. Nggak perlu kantoran apalagi milih-milih kerjaan.”
“Berarti soal gaji nggak masalah nih kalo UMR?"
“Nggak masalah. Buat gue yang penting berpenghasilan.”
“Okay. Gue bantu Mas Rio cari kerjaan.”
Rio hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan.
“Kalo gitu sekarang Lo bisa pulang dulu ya? Gue mau istirahat habis naik ke Merbabu soalnya.”
“Okay, Mas," jawab Mika singkat namun senyum tidak hilang dari wajahnya. Demi menjadi pacar Rio, ia rela menurunkan ego-nya. Apalagi Rio anak mapala, tentu saja perempuan manja mungkin tidak akan diliriknya.
Setelah itu Mika langsung tancap gas menggunakan Honda HRV putihnya untuk menuju ke salah satu Mall di Jogja. Seperti biasa ia akan kongkow bersama teman-temannya. Sepeninggal Mika, Rio memasuki kamarnya dan meletakkan tas gunung berukuran 80 liter itu di pojokan tembok. Ia langsung merebahkan dirinya di kasur dan tidur. Baginya, mendaki adalah cara untuk menghilangkan insomnia, pikiran yang melantur bahkan melupakan masalahnya dengan kedua orangtuanya. Kini Rio harus segera memikirkan, apakah ia rela di drop out dari kampus jurusan administrasi bisnis sebagai kampus pilihan orangtuanya atau tetap berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya bahwa ia akan tetap menjadi seorang fotografer dan bisa bekerja untuk majalah-majalah fashion suatu hari nanti. Sayangnya mata Rio sulit terpejam kali ini, apalagi jika memikirkan uangnya yang sudah sangat menipis untuk kebutuhan hidupnya ditambah seminggu lagi ia harus membayar kostnya. Tidak mungkin ia mau meminta kepada orangtuanya yang masih juga menyekolahkan sang adik di jurusan kedokteran. Tentu saja biaya pendidikan sang adik cukup besar dan Rio tidak tega memberatkan orangtuanya.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda seorang wanita cantik dengan tubuh sintal sedang menatap pemandangan butik batik miliknya. Dialah Tri Retno Wahani, seorang wanita berusia 39 tahun yang masih tetap cantik jelita dengan payudara berukuran 38B. Ia biasa di panggil Retno. Selama menjanda Retno termasuk wanita yang tetap memiliki gairah sex aktif. Ia tetap melakukan hubungan sex walau ia harus membeli para partnernya. Baginya belum ada yang mengalahkan keperkasaan seroang Ervin Aditya, salah satu mantan gigolo yang pernah ia sewa bahkan menjadi langganannya. Sayangnya ia tidak bisa memakai jasa Ervin lagi karena ia memilih meninggalkan profesi gelapnya ini setelah menikah dengan Kaluna Maharani Atmaji Putri. Wanita yang Ervin nikahi adalah mantan calon istri dari Handi yang tidak lain adalah mantan suami Retno sendiri. Retno menikahi Handi tentu saja karena ia mencintai Handi pada awalnya, namun kesibukan keduanya di bisnis mereka masing-masing membuat mereka sudah tidak memiliki waktu untuk satu sama lain. Ternyata itu membuat mereka mencari kepuasan di luar rumah. Tanpa perselisihan akhirnya mereka berdua sepakat bercerai setelah menikah hampir 6 tahun lamanya tanpa kehadiran anak. Ya, bagaimana Retno mau hamil jika Handi saja belum tentu sekali seminggu menyentuh serta menjamahnya.
Kini pandangan Retno terfokus pada dua orang wanita yang tidak asing baginya. Dialah istri Wisnuaji Widiatmaja dan sang menantu, Nada. Mereka berada di butik Retno tentu saja karena butik milik Retno adalah salah satu butik terbaik yang menyediakan motif batik lengkap dari seluruh Nusantara. Sebagai seorang owner yang baik, Retno menghampiri Nada dan Samira.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu," tanya Retno ramah.
Walau Nada tidak menyukai Retno karena ia pernah mencoba merusak rumah tangga sepupunya bahkan pernah mencoba genit kepada sang Papa mertua ketika ia masih menduda, namun tetap saja Nada berusaha ramah di hadapan Retno. Apalagi ada sang ibu mertua disini. Jangan sampai ia mencoreng nama baik keluarga Widiatmaja.
“Siang Mbak Retno, saya sama Mama mau nyari setelan batik nih buat keluarga. Butuh 5 biji ya yang dewasa. Buat Mama, Papa, Eyang, aku sama suami."
“Okay, kalo begitu biar dibantu sama karyawan saya ya?”
Nada dan Samira hanya menganggukkan kepalanya. Kini Retno memangil karyawannya dan meminta mereka melayani Nada serta Samira. Retno langsung pamit untuk menuju ke ruang kerjanya. Disana ia segera mengecek design yang akan dipilih untuk dibawa sebagai contoh bagi para buyers dari Jepang. Ia memilih contoh mana saja yang akan dibawa. Andai ia boleh mengeluh, sebenarnya dirinya merasakan lelah setelah sang supir mengajukan pengunduran diri tiga bulan lalu karena di diagnosa mengidap jantung koroner. Ditubuhnya bahkan sudah terpasang ring sebanyak dua cincin. Sejak kesehatan sang supir terganggu dan ia mengajukan pengunduran diri, praktis Retno menyupir sendiri kemana-mana tanpa bantuan orang lain.
“Nasib, nasib, gini amat hidup aku. Apa sih yang aku kejar? Buat siapa aku kerja keras sampai seperti ini?” Kata Retno dalam hati sambil menatap berbagai contoh kain batik di depan meja kerjanya.
Hampir satu jam Retno berada di dalam ruang kerja dan ia akhirnya keluar. Ketika ia keluar, matanya masih menangkap dua sosok wanita cantik yaitu Samira dan Nada yang masih sibuk dengan aktivitas mereka berbelanja batik. Retno memilih jalan ke halaman samping butik dan duduk disana seorang diri. Beberapa saat ia duduk disana, ia mendengar suara wanita sibuk bertelepon ria di dekat kamar mandi dan ia masih bisa mendengar obrolan wanita tersebut.
“Tumben Lo Inget gue, ada apaan? Sudah pulang Lo dari Merbabu sama suami gue?”
“…”
“Cariin Lo kerja?”
“…”
“Lo lulusan strata dua seni. Masih belum juga Lo calon sarjana administrasi bisnis, kok bisa Lo sampai begini? Jadi model ajalah, Lo kan lumayan tu ganteng ada darah luarnya kaya laki gue.”
“…”
Retno hanya tersenyum mendengar obrolan Nada ditelepon. Mungkin dirinya tidak seberuntung kebanyakan wanita diluar sana yang memiliki suami setia dan sudi menemani dalam segala kondisi. Merasa bahwa dirinya sudah cukup hari ini berada di butik, ia memilih bangkit berdiri dan segera menuju ke halaman depan, tempat mobilnya berada.
Saat perjalanan pulang kerumah, sang keponakan yang bernama Mika meneleponnya dan memintanya untuk datang ke rumah orangtuanya.
“Ada apa, Mik sampai kamu telepon Tante?”
“Disuruh Eyang mampir ke rumah.”
Retno hanya menghela nafas dan menatap jalan didepannya yang sedang macet dengan pandangan malas.
“Tumben nyariin Tante, ada apa dirumah?”
“Nggak tau, Tan. Aku aja lagi mau on the way ke rumah Eyang.”
“Kamu dari mana?”
“Kost gebetan tadi, terus diusir secara halus, akhirnya aku terdampar di Mall sama anak-anak tapi sayangnya baru asyik ngobrol, Kanjeng Eyang telepon. Ya sudah aku cabut, daripada dicoret dari daftar ahli waris," kata Mika yang membuat Retno tertawa. Memang keluarga mereka berasal dari affluent society.
Retno cukup mengetahui bagaimana pergaulan keponakannya yang satu itu. Ia tidak buta dan cukup tau bahwa sang keponakan terbilang memiliki pegaulan yang bebas. Hampir setiap weekend ia habiskan keluar masuk club' malam. Belum lagi hoby shopping dan menghambur hamburkan uang. Mungkin itu adalah efek karena ia kesepian di rumah, orangtuanya cukup sibuk dengan pekerjaan mereka. Apalagi sejak lahir hingga menyelesaikan bangku SMA-nya sang keponakan berada di kota metropolitan.
“Mik," panggil Retno.
“Ya, Tan?”
“Jangan terlalu memaksakan sesuatu. Kalo dia nggak bisa meluangkan waktunya untuk kamu, tandanya kamu nggak special dan berarti untuk dia."
“Duh, Tante Retno, kita ini cuma senasib beda status di KTP doang. Aku sama Tante sama-sama berharap segera dihalalin. Ya sudah ya, Tan, ini dah hijau lampunya. Aku matiin ya teleponnya. Bye.”
“Bye.”
Setelah menutup teleponnya Retno kembali fokus pada kemudinya dan melajukan mobilnya kearah Condong Catur tempat rumah orangtuanya berada. Saat sampai disana ia sudah melihat HR-V putih milik Mika ada di halaman. Ia segera turun dan memasuki rumah. Retno memasuki rumah orangtuanya yang sudah ia tempat sejak lahir. Kini ia harus menahan tawa ketika mendengar orangtuanya sedang menasehati sang cucu yang bagi Mika adalah sebuah omelan.
“Mikhaila Ameera Violeta, sudah berapa kali Eyang bilang sama kamu, kalo kamu harus segera lulus biar bisa bantu Papa dan Mama kamu di perusahaan?"
“Aku bantuin Tante Retno aja. Lebih enak di butik daripada di kantor.”
“Kamu itu kuliahnya apa? Kok mau bantuin Tante Retno.”
Retno melihat Mika menghela nafas dan terlihat sudah hampir kehilangan kesabaran.
“Jaman sekarang itu nggak harus kok kerja sesuai dengan jurusannya, Eyang.”
Kedua Eyang Mika yang melihat sang Anak datang langsung bangkit berdiri dan meninggalkan Mika untuk menyambut anak perempuannya. Anak perempuannya yang masih betah menjanda selama beberapa tahun ini. Walau mereka sering mendengar selentingan tentang kelakuan Retno di luar rumah yang suka jajan gigolo, namun mereka mengesampingkannya. Mereka belum mau mempercayai hal tersebut sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri.
***
"Sebenarnya beberapa waktu lalu Kaelie menawari aku untuk menjadi pacar dia selama empat bulan."Mata Retno langsung membelalak ketika mendengar penuturan Rio ini. Perempuan gila mana yang melakukan hal gila semacam ini? Baiklah, ia bisa mengerti jika yang Kaelie tawari adalah gigolo atau laki-laki yang benar-benar mau memainkan cerita setingan dengan dirinya di depan media, tapi ini Rio, laki-laki biasa yang tidak tahu dunia aneh-aneh semacam itu.Retno mencoba menutup bibirnya rapat- walau ia ingin protes. Toh, ia sudah berjanji kepada Rio untuk mendengarkan semuanya hingga selesai tanpa memotongnya."Imbalannya jika aku mau menerima semua tawaran itu adalah uang lima ratus juta."Satu detik ...
Retno duduk di atas ranjang tempat tidurnya sambil memikirkan perdebatannya dengan Mikha yang baru saja terjadi pagi ini. Rasanya ingin dirinya tidak percaya dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, sayangnya tidak bisa. Saat ini yang ada mau tidak mau hanya pernyataan Mikha yang masih masuk di akal logikanya."Mikha, coba kamu ceritakan apa yang sebenarnya Tante tidak ketahui sampai saat ini?""Masa Tante Retno enggak tahu tentang semua ini?""Maka dari itu, Tante tanya sama kamu. Cuma kamu yang Tante harapkan untuk bisa jujur tentang semuanya tanpa ada yang ditutupi lagi.""Okay, aku akan kasih tahu semuanya."Kini Retno memilih diam dan menunggu k
Ceklek.....Retno kembali menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia cukup terkejut melihat Mikha yang masuk ke ruangan ini bersama sahabatnya. Cepat-cepat Retno mengakhiri sambungan video call-nya bersama Wulan."Pagi, Tante Retno," sapa Maureen ramah sambil berjalan mendekati Retno."Pagi, Reen. Kapan kalian sampai di Jogja?""Baru aja. Gimana keadaan Tante?""Alhamdulillah, sudah lebih baik."Walau ia menjawab pertanyaan Maureen, namun mata Retno sudah fokus mengikuti ke mana Mikha memilih duduk tanpa harus menyapanya. Akhirnya Retno mencoba bertanya kepada Maureen dengan gerakan bibir tanpa adan
"Sumpah, Mik... lo ngeselin banget jadi orang. Masih jam empat pagi dan lo minta kita balik ke Jogja. Siangan dikit kenapa? Kupon breakfast kita mubazir.""Kasian Tante Retno di rumah sakit sendirian, Reen.""Alhamdulillah, akhirnya sifat keras dan sulit lo ini berkurang juga. Gimanapun juga Tante Retno itu sudah seperti Mama buat lo daripada emak kandung lo sendiri.""Iya, Lo benar juga. Tante Retno sudah seperti pengganti Mama gue sejak gue bayi. Sekarang gue malah enggak tega andai Tante Retno tahu kenyataan yang sebenarnya.""Perihal apa?""Tuntutannya Eyang ke Mas Rio. Karena Tante Retno pacarannya udah kelewat batas, Eyang maunya Mas Rio segera m
Malam ini Rio terbangun ketika ia mendengar suara deringan handphone miliknya. Ketika ia akan mengambil handphone untuk melihat siapa yang menelepon dirinya, tetapi yang ada justru telepon itu sudah ditutup begitu saja. Kini Rio mengucek kedua matanya dan ia menguap. Ternyata yang baru saja meneleponnya adalah Kaelie.Rio melirik ke arah jam dinding yang ada di dekat sudut kamar kostnya. Matanya membelalak lebar ketika melihat ini sudah pukul dua belas malam. Cepat-cepat Rio bangun dan menuju ke kamar mandi. Ia basuh wajahnya agar tidak mengantuk. Setelah itu ia pipis terlebih dahulu daripada nanti ia harus mencari SPBU nanti. Belum tentu juga ia akan menemukan SPBU yang buka 24 jam jika tidak melewati tol.Selesai melakukan apa yang ingin dia lakukan, Rio segera keluar dari dalam kamar mandi. Ia buka handphone miliknya dan i
Siang ini Rio duduk di hadapan Kaelie. Ada rasa sedikit gugup dan bingung bagaimana ia harus alih profesi menjadi "mucikari" dadakan saat ini. Ia tidak pernah mengiklankan barang selain jasa fotonya, tapi kini ia harus mengiklankan sosok Nico kepada Kaelie. Berkali-kali di dalam hatinya, Rio mengatakan kata maaf di kepada Nico. Semua ini terpaksa ia lakukan demi masa depan hubungannya dengan Retno.Kaelie yang melihat Rio diam saja sejak tadi hanya bisa tersenyum. Ia tahu kenapa Rio seperti ini. Tapi toh ia mencoba memilih untuk menunggu, 'kan Rio yang mengajaknya untuk bertemu, bukan dirinya. Jadi ia sebaiknya mendengarkan apa yang akan Rio sampaikan kepadanya."Kae?" Panggil Rio setelah sebentar lagi akan terjadi lebaran gajah saking sudah lamanya mereka sama-sama diam. Mendengar panggilan ini, akhirnya Kaelie menghela napa