Hari-hari berikutnya, Araya merasa seolah dirinya hidup dalam rumah kaca. Tidak ada gerak-gerik kecil yang luput dari perhatian Adrien. Setiap langkahnya, setiap tatapan matanya, bahkan cara ia bernapas seakan selalu berada di bawah lensa pembesar. Adrien tidak selalu hadir secara fisik, tapi bayangannya menyelusup ke dalam ruang-ruang kosong, menjelma menjadi rasa gentar yang menempel di kulit Araya.
Namun yang paling berbahaya bukanlah pengawasan itu sendiri, melainkan bagaimana Adrien mulai menggeser batas antara kenyataan dan permainan.Suatu sore, Araya tengah membersihkan vas kaca di ruang tamu. Adrien duduk tak jauh, tampak santai membaca dokumen. Tak ada kata yang terucap, hanya keheningan tegang. Hingga tiba-tiba ia berkata, tanpa mengangkat kepala:“Kau marah padaku.”Araya terhenti, tangannya kaku. “Apa?”“Kemarahanmu begitu jelas, Araya,” lanjut Adrien tenang. “Dari cara kau menggosok kaca, dari tarikan napasmu yang lebih cepaAraya duduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar tanpa alasan yang jelas. Di luar, hujan turun deras, membasahi jendela dengan irama monoton. Namun yang membuatnya tak bisa bernapas bukanlah suara hujan—melainkan gema tatapan Adrien semalam di balkon, tatapan yang terus menghantui.Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. “Aku gila,” bisiknya. “Aku benar-benar gila.”Satu sisi dirinya ingin lari sejauh mungkin, ingin menjerit dan merobek semua ikatan. Tapi sisi lain… sisi lain justru mencari-cari kehadiran Adrien, merindukan jeda rapuh yang ia lihat, merindukan suara rendah yang hanya keluar ketika topeng kekuasaan pria itu runtuh.Araya menunduk, menggigit bibir sampai perih. Ia merasa seperti seseorang yang diikat pada tali panjang: semakin keras ia menarik untuk bebas, semakin kencang simpul itu menjerat lehernya.Hari berikutnya, Adrien pulang larut. Araya semula berniat menghindar, tapi ketika mendengar langkahnya di lorong, hatinya just
Araya berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangan diri yang kian asing. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tampak lelah, tapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Yang menghantamnya adalah sorot matanya sendiri—seakan ada sesuatu yang retak di dalam sana.Ia masih mengulang mantranya: Aku membencinya. Aku harus membencinya.Namun kata-kata itu terasa hambar. Setiap kali bibirnya mengucap, jantungnya justru memukul lebih kencang, dan wajah Adrien muncul di kepalanya—tatapan rapuh yang dilihatnya di ruang gelap, suara serak ketika berkata dunia terlalu berat, dan sentuhan singkat di lorong ketika lilin hampir jatuh.Araya meremas pinggiran meja, berusaha menahan gemetar tangannya. Ia muak pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia yang selama ini menolak, justru kini dihantui oleh sisi manusia Adrien?Hari itu, Adrien pulang lebih cepat dari biasanya. Hujan baru saja reda, dedaunan di taman masih meneteskan air. Ia masuk ke
Malam itu Araya terbangun oleh suara pintu terbuka. Ia menahan napas, jantungnya berdegup kencang, pikirannya langsung dipenuhi kemungkinan terburuk. Namun langkah kaki itu pelan, tidak menggedor lantai dengan amarah seperti biasanya.Ketika ia menoleh, Adrien berdiri di ambang pintu. Rambutnya berantakan, kemejanya tidak terkancing sempurna, wajahnya terlihat letih. Bukan Adrien yang ia kenal: penuh kuasa, penuh ancaman. Kali ini, pria itu tampak… manusia.“Kenapa kau di sini?” suara Araya lirih, hampir tercekat.Adrien tidak menjawab. Ia hanya melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berdiri bersandar pada dinding. Sejenak, hanya ada suara napas mereka.“Aku tidak bisa tidur,” ucapnya akhirnya.Araya menelan ludah. “Itu bukan urusanku.”Adrien tersenyum tipis, tapi tidak ada ejekan di sana. Lebih seperti senyum kosong seseorang yang kelelahan. “Mungkin bukan. Tapi entah kenapa kakiku membawaku ke sini.”Araya menggen
Pagi itu matahari menembus tirai tipis, meninggalkan jejak cahaya lembut di lantai kayu. Araya duduk di meja makan, menunduk sambil menyendok bubur yang sudah dingin. Adrien ada di seberangnya, membaca koran dengan wajah tenang.Biasanya, setiap kali mereka duduk berdua, suasana selalu tegang—penuh tatapan menusuk dan kalimat sinis. Namun hari ini berbeda. Ada hening yang tidak menakutkan, melainkan… aneh.Araya mencuri pandang. Adrien tampak serius membaca, tapi jemarinya mengetuk meja pelan, ritmis, seolah pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Ada lingkar gelap di bawah matanya, tanda kurang tidur.“Kenapa kau menatapku?” suara Adrien tiba-tiba memecah keheningan, membuat Araya tersentak.“A-aku tidak menatapmu,” Araya buru-buru menunduk, wajahnya memanas.Adrien menurunkan koran, menatapnya lekat. Senyum tipis muncul, tapi bukan senyum menghina. “Kau masih buruk dalam berbohong.”Araya meremas sendok di tangannya. “Kau sela
Malam itu hujan turun deras, menghantam atap rumah seperti ribuan jarum yang menusuk satu per satu. Araya terjaga, duduk di tepi ranjang sambil meremas jemari tangannya sendiri. Ia merasa gelisah, bukan hanya karena suara hujan, tapi karena perasaan aneh yang sejak beberapa hari terakhir terus mengganggu.Sejak percakapan terakhir, Adrien terlihat berbeda. Ia masih menguasai, masih menusuk dengan kata-kata, tapi sesekali, di balik tatapan tajamnya, Araya menangkap sesuatu: sekilas kosong, sekilas perih, seolah ada luka lama yang terbuka.Namun begitu ia mencoba meyakinkan dirinya, Araya selalu menepis: mungkin itu hanya khayalannya. Adrien tidak mungkin rapuh. Adrien adalah penjara itu sendiri.Ketika Araya menuruni tangga untuk mengambil air, ia menemukan Adrien duduk sendirian di ruang tamu. Lampu utama tidak menyala, hanya cahaya kecil dari lampu meja yang redup.Adrien duduk membungkuk, kedua sikunya bertumpu pada lutut, dan tanganny
Malam itu, Araya duduk di tepi ranjang dengan tangan memeluk lutut. Lampu redup kamar hanya memberi cahaya samar, membuat bayangannya di dinding tampak panjang dan rapuh. Udara dingin merayap masuk dari celah jendela, namun rasa dingin itu tidak sebanding dengan kengerian yang menggerogoti dadanya.Ia menatap cermin kecil di seberang ranjang. Bayangannya kembali menatapnya, namun semakin lama ia menatap, semakin ia merasa pantulan itu bukan dirinya. Ada sesuatu di balik mata itu—samar, gelap, seperti sebuah bayangan yang menunggu kesempatan untuk keluar.“Bukan aku…” bisiknya lirih, menutup wajah dengan kedua tangan.Tetapi suara lain di kepalanya membisikkan hal berbeda: Atau mungkin itu bagian dirimu yang kau sembunyikan. Bagian yang Adrien sudah lihat sejak lama.Araya mengguncang kepalanya keras-keras. “Tidak! Itu hanya kata-katanya… Itu hanya permainan dia.”Namun semakin ia mencoba menepis, se