Home / Romansa / Tawanan Mafia Blackwood / Bab 3 – Perang Sunyi

Share

Bab 3 – Perang Sunyi

last update Last Updated: 2025-07-16 12:54:50

Aurora menatap Damian tajam, mencoba menahan gemetar pada suaranya. Ia mendekat, berbisik tajam di antara ketegangan udara.

“Pernikahan ini hanya akan menjadi pernikahan di atas kertas. Kau tidak menyentuhku, tidak menuntut hal-hal yang kau pikir bisa kau miliki.”

Damian diam beberapa detik, tatapannya menelusuri wajah Aurora, lalu tiba-tiba tawa pelan lolos dari bibirnya. Tawa yang dingin, menohok, cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri.

“Kau benar-benar lucu, Aurora,” ucapnya akhirnya, sorot matanya berubah lebih gelap. “Kau pikir kau bisa menetapkan aturan dalam permainan yang kumulai?”

Aurora tidak bergeming. Ia balas menatap, matanya menyala penuh perlawanan. “Kalau kau tidak setuju, Damian… aku keluar sekarang juga.”

Hening.

Damian tidak marah. Sebaliknya, ia melangkah mendekat dengan gerakan tenang, begitu dekat hingga Aurora bisa merasakan hangat napasnya. Tangannya terulur, tidak menyentuh, hanya menggantung di udara.

Aurora menatap tangan itu lama, sebelum akhirnya menjabatnya.

Dalam genggaman itu, ia tahu satu hal: permainan ini akan mengubah hidup mereka berdua.

Damian melepaskan genggaman itu perlahan, menatap Aurora dengan senyum tipis yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena cinta… tapi karena ancaman yang tak kasatmata.

“Besok pukul delapan malam,” suaranya serak, dingin, dan mematikan. “Pernikahan kita.”

Aurora terbelalak. “Besok?!”

Damian memasukkan tangannya ke dalam saku, melangkah menuju pintu tanpa menoleh. “Siapkan dirimu. Aku tidak suka menunggu.”

Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar seperti palu godam di kepala Aurora. Napasnya tercekat. Besok. Semua ini akan benar-benar terjadi besok.

Ia meremas rok gaunnya, mencoba mengatur napas. Tapi bayangan foto-foto di map hitam tadi kembali muncul di kepalanya. Foto ayahnya, foto rumahnya yang hancur, dan… foto dirinya lima tahun lalu. Damian tidak hanya mengikatnya dengan kontrak. Ia sudah mengikatnya sejak dulu, bahkan sebelum ia sadar.

Permainan ini baru saja dimulai.

***

Aurora masih terpaku di kursi lama setelah Damian pergi. Kata-kata pria itu bergema di kepalanya seperti mantra yang menakutkan.

Besok pukul delapan malam. Pernikahan kita.

Tangan Aurora mengepal di atas pahanya. Ia ingin berteriak, ingin membalikkan meja itu dan pergi sejauh mungkin. Tapi setiap kali ia memikirkan keluarganya… dan map hitam di atas meja… tubuhnya terasa lumpuh.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Damian: “Jangan mencoba kabur. Aku selalu tahu di mana kau berada.”

Aurora merasakan napasnya tercekat. Ia menoleh ke jendela, seakan seseorang mengawasinya. Dan, entah mengapa, ia yakin Damian benar-benar sedang melihatnya.

Ia bangkit, menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Aku tidak akan kalah kali ini. Tidak akan.

Namun bayangan masa lalu menyelinap begitu saja. Suara ayahnya berteriak, suara ibunya menangis. Malam itu lima tahun lalu, ketika satu keputusan menghancurkan segalanya. Dan di tengah kekacauan itu, Damian berdiri… dingin, tanpa emosi, menatap mereka seperti dewa penentu takdir.

Aurora menutup mata rapat-rapat, menahan sesak di dadanya. Lima tahun lalu, dia sudah merenggut segalanya. Apa sekarang dia ingin merenggut aku juga?

Ponsel bergetar lagi.

Damian: “Kau punya waktu dua puluh empat jam, Aurora. Jangan buat aku datang menjemputmu.”

Aurora melempar ponsel ke sofa, tubuhnya gemetar. Ia tahu satu hal pasti: pria itu tidak main-main. Dan ketika Damian mengatakan ia akan menjemput… itu berarti tidak ada tempat yang cukup jauh untuk bersembunyi.

Ia meraih map hitam yang tadi Damian tinggalkan. Foto-foto itu kembali menatapnya. Foto masa lalunya. Foto keluarganya. Foto dirinya, diambil dari sudut-sudut yang membuat darahnya membeku.

Aurora meremas kertas itu sampai hancur di tangannya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

Kalau ini perang, Damian… aku akan melawanmu. Dengan cara apa pun.

***

Aurora sedang mencoba menenangkan diri ketika suara ketukan pintu terdengar. Jantungnya langsung meloncat ke tenggorokan. Ia menahan napas sebelum perlahan membuka pintu.

Seorang pelayan hotel berdiri di sana dengan kotak hitam elegan. “Untuk Nona Aurora. Pengiriman khusus.”

Aurora mengernyit. “Siapa yang mengirim?”

Pelayan itu hanya tersenyum sopan. “Tidak disebutkan nama, Nona.”

Aurora mengambil kotak itu dengan tangan gemetar, menutup pintu perlahan. Ia meletakkannya di atas meja, menatapnya seakan benda itu bisa meledak kapan saja. Dengan napas terhenti, ia membuka kotak itu.

Di dalamnya, terlipat rapi sebuah gaun pengantin putih, begitu mewah hingga matanya perih. Namun bukan itu yang membuat darahnya membeku. Di atas gaun itu, tergeletak sebuah foto… dirinya, diambil dari kamera tersembunyi, hanya beberapa jam yang lalu, saat ia duduk di kafe hotel, mencoba mencari cara keluar.

Aurora menatap foto itu dengan tangan bergetar. Ada tulisan singkat di belakangnya:

“Tidak ada jalan keluar. Pakailah gaun ini. Aku akan menjemputmu.”

Tinta hitam itu seakan membakar kulitnya. Napas Aurora tercekat. Matanya terpejam, air mata menetes tanpa bisa ditahan.

Dia selalu tahu. Dia selalu ada.

Aurora meremas foto itu hingga sobek, tubuhnya jatuh ke lantai bersama gaun yang kini terasa seperti rantai emas.

Pernikahan ini… seperti penjara.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 89

    Bab 89 Malam itu, mansion Blackwood akhirnya bisa bernafas lega setelah hari-hari penuh darah. Di ruang tamu, Aurora duduk di sofa panjang, menimang bayi mereka yang perlahan terlelap. Senyumnya lembut, meski kelelahan masih membayang di wajahnya. Damian berdiri di dekat perapian, diam menatap api yang berkelip, seolah mencari jawaban dalam kobaran itu.“Aku masih nggak percaya… kita bisa sampai di titik ini,” ucap Aurora pelan, tatapannya jatuh pada Damaro kecil yang tidur pulas.Damian berbalik, mendekat, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Aurora. “Damai ini… cuma di permukaan. Aku bisa rasa, badai masih menunggu di luar sana.”Aurora menarik napas panjang, lalu menatap Damian. “Tapi aku tahu kita nggak sendirian. Papa dulu sering cerita soal Gabriel Blackwood katanya dia orang keras, tapi setia sama keluarganya. Sahabat yang bisa diandalkan.” Aurora tersenyum tipis. “Aku nggak pernah sangka akhirnya aku

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 88

    Damian menghantam wajah Viktor berkali-kali, darah muncrat membasahi lantai gudang. Viktor masih berusaha melawan, tapi setiap gerakannya melambat. Pukulan terakhir Damian mendarat tepat di pelipis, membuat tubuh Viktor terkulai. Damian berdiri terhuyung, napasnya kasar, darahnya bercampur dengan darah Viktor di tangannya. Ia menatap tubuh musuh lamanya itu, lalu menggumam pelan, “Semua ini… untuk keluargaku.” Dengan sisa tenaga, Damian meraih pecahan besi tajam dan menancapkannya ke dada Viktor. Suara pekikan terakhir Viktor bergema di gudang, lalu hening. Di luar, suara langkah tergesa membuat Robert dan Raka menoleh. Lorenzo muncul bersama beberapa anak buahnya, mencoba menyerbu masuk untuk menyelamatkan Viktor. “Tahan mereka!” teriak Marcus, memberi isyarat ke Elias dan Clara. Baku tembak pun pecah. Dentuman peluru memecah keheningan malam. Robert bergerak cepat, senapannya menghantam dua anak buah Lorenz

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 87

    Damian meraih pecahan besi, lalu menyerbu. Viktor menyambutnya dengan hantaman popor senapan. Suara keras terdengar saat besi dan baja beradu. Tubuh Damian terlempar, namun ia bangkit lagi dengan mata penuh tekad.“Untuk Aurora… untuk anakku… dan untuk Ayahku,” gumam Damian, menggenggam senjata seadanya.Viktor menghantam keras, membuat Damian terdesak ke sudut. Senapan di tangannya terangkat, ujung moncongnya menempel di dahi Damian.“Sudah ku bilang, kau tak akan menang.”Jari Viktor mulai menekan pelatuk. Saat itu, peluru berdesing dari arah lain … srett! melesetkan senapan Viktor beberapa inci saja. Tembakannya melesat ke langit-langit.Damian terkejut. “Apa—?!”Viktor melotot, menoleh ke arah sumber tembakan. Tapi tak ada siapa-siapa, hanya kegelapan.Dari balik bayangan di atas, Gabriel menghela napas panjang, menurunkan pistolnya. “Kali ini… Ayah ikut campur sedikit. Bertahanlah, Damian.”Damian mera

  • Tawanan Mafia Blackwood   BAB 86

    Pertarungan di gudang itu makin liar. Tinju Damian mendarat di rahang Lorenzo, tapi lawannya juga bukan tipe yang gampang tumbang. Lorenzo balas meninju perut Damian hingga ia terhuyung. Nafas keduanya memburu, tubuh penuh keringat bercampur darah.Lorenzo terkekeh meski bibirnya pecah. “Lihat dirimu, Damian... mau mati demi seorang wanita dan bayi yang bahkan belum bisa memanggilmu ‘ayah’? Konyol.”Damian menyeringai, meski sudut bibirnya berdarah. “Justru karena mereka, aku tak akan kalah.”Dengan tenaga sisa, Damian menghantamkan kepala ke wajah Lorenzo. Suara tulang beradu membuat Lorenzo menjerit. Pistol yang tadi terlempar kini berada tak jauh dari jangkauan. Keduanya berebut meraihnya, merangkak di lantai berdebu.Saat Lorenzo hampir menyentuh gagangnya, Damian menendang keras. Senjata itu melayang ke kegelapan. Seketika ruangan kembali jadi arena baku hantam tangan kosong.Setiap pukulan terasa seperti taruhan nyawa. Damian tahu jika ia jatuh sekali saja, keluarganya tak akan

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 85

    Hari mulai gelap. Angin malam berdesir pelan, membawa hawa dingin yang menambah kecemasan di hati Aurora. Di tempat persembunyian itu, ia duduk di ranjang kecil sambil memangku bayinya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah tak peduli badai yang sedang mengintai di luar sana.Mama Rania dan Velia sibuk membereskan barang-barang di sudut ruangan, mencoba membuat suasana terasa normal. Namun dari gerak-geriknya, Aurora tahu kalau Mama juga tidak kalah gelisah.“Apa menurutmu Damian baik-baik saja, Ma?” suara Aurora lirih, nyaris seperti bisikan.Mama Rania berhenti sejenak, menatap putrinya lalu tersenyum lembut. “Damian itu keras kepala sekaligus tangguh, Nak. Dia tahu apa yang dia lakukan. Jangan biarkan hatimu dibanjiri ketakutan.”Aurora menghela napas dalam, menunduk menatap bayinya. “Aku hanya takut... kalau aku harus membesarkan anak ini tanpa ayahnya.”Hening sejenak. Mama Rania mendekat, duduk di samping A

  • Tawanan Mafia Blackwood   84

    Di kamar yang tenang, Aurora berbaring di ranjang, menatap wajah damai putranya yang tertidur di sampingnya. Kelelahan pasca melahirkan masih terasa, namun kebahagiaan dan rasa syukur memenuhi hatinya. Ia mengulurkan tangannya, mengelus pipi lembut bayinya dengan penuh kasih sayang. Pintu kamar perlahan terbuka, dan Mama Rania masuk dengan senyum lembut. Di tangannya, tergenggam secangkir teh hangat. "Bagaimana perasaanmu, Nak?" tanya Mama Rania, mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Aku baik-baik saja, Ma," jawab Aurora, tersenyum. "Hanya sedikit lelah. Tapi melihatnya, semua rasa sakit hilang begitu saja." Mama Rania tersenyum dan menyerahkan cangkir teh kepada Aurora. "Minumlah ini," ujarnya. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik." Aurora menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan. Aroma teh yang menenangkan membuatnya merasa lebih rileks. "Dia sangat tampan," kata Mama Rania, menatap bayi itu dengan penuh kasih sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status