/ Romansa / Tawanan Mafia Blackwood / Bab 4 - Malam Sebelum Neraka

공유

Bab 4 - Malam Sebelum Neraka

last update 최신 업데이트: 2025-07-16 13:17:23

Lampu kristal menggantung angkuh di langit-langit ballroom, memantulkan cahaya emas yang berkilau di setiap sudut. Gaun-gaun mahal dan jas hitam bertebaran, para tamu tersenyum manis dengan mata yang penuh rahasia. Dunia ini berkilau… tapi Aurora hanya merasakan gelap.

Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa seperti belenggu. Setiap langkahnya di karpet merah seolah menjerat lebih dalam. Senyum yang ia pasang hanya topeng tipis, sementara di baliknya, napasnya tercekat.

Sorot mata semua orang mengikuti. Mereka berbisik. Mereka menilai. Namun satu tatapan mengalahkan segalanya, tatapan Damian.

Ia berdiri di ujung altar, jas hitamnya terpotong sempurna, dasi satin terikat rapi. Wajahnya… tenang, terlalu tenang, seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya. Tatapannya terkunci pada Aurora, menelanjangi setiap keraguan yang berusaha ia sembunyikan.

Aurora menahan napas ketika jarak mereka semakin dekat. Jantungnya berdegup tak karuan, bukan karena cinta, tapi karena rasa terkurung. Ia ingin lari. Ingin berteriak. Tapi kakinya melangkah juga, perlahan, seakan berada dalam mimpi buruk yang mewah.

Damian menyambutnya di altar. Tangannya terulur, menyentuh punggung tangan Aurora dengan lembut… terlalu lembut hingga membuat darahnya berdesir ngeri. Ia membungkuk sedikit, mendekat ke telinganya, suaranya serak, nyaris seperti bisikan iblis.

“Cantik sekali… bahkan lebih indah dari lima tahun lalu.”

Aurora membeku. Kata-kata itu menusuk hatinya. Lima tahun lalu. Masa yang ingin ia kubur dalam-dalam, tapi Damian menariknya kembali dengan satu kalimat.

Pendeta mulai mengucap janji pernikahan, suara itu melayang indah di udara. Tamu-tamu tersenyum bahagia, bertepuk tangan pelan. Namun bagi Aurora, setiap kalimat adalah rantai baru yang melilit tubuhnya.

“Apakah Anda, Damian Blackwood, bersedia…?”

“Aku bersedia.” Damian menjawab sebelum kalimat itu selesai. Tatapannya tidak pernah lepas dari mata Aurora, gelap, intens, dan berbahaya.

Aurora menelan ludah. Saat gilirannya tiba, lidahnya kelu. Damian mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja altar, tekanan itu menyakitkan, membuatnya mendongak menatap pria itu. Senyum tipisnya membuat jantung Aurora berdegup kacau.

“Aku… bersedia,” ucapnya nyaris tanpa suara.

Damian tersenyum. Tidak lebar, hanya cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Bagi semua orang, senyum itu tampak hangat. Tapi bagi Aurora, senyum itu adalah peringatan: tidak ada jalan kembali.

Ciuman pengantin yang seharusnya penuh cinta, berubah menjadi cap kepemilikan. Damian menunduk, menempelkan bibirnya ke pipi Aurora, dekat telinga, dan berbisik lirih, dingin menusuk:

“Kau akhirnya kembali padaku… dan kali ini, tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu.”

Aurora menutup mata. Air mata nyaris jatuh, tapi ia tahan. Ia tahu… inilah awal neraka yang sesungguhnya.

**

Musik lembut mengalun di ballroom. Para tamu bersulang, tertawa, seakan ini pernikahan yang diberkati surga. Aurora berdiri di sisi Damian, senyum terpaksa menghiasi wajahnya. Setiap kilatan kamera terasa seperti belati.

Lalu, ia melihat mereka. Ayah dan ibunya.

Aurora menahan napas. Wajah ibunya tampak pucat, matanya bengkak karena menangis. Ayahnya berdiri kaku, rahangnya mengeras menahan sesuatu yang tak bisa ia tumpahkan. Aurora ingin menghampiri mereka, ingin berlari memeluk ibunya dan berkata ia baik-baik saja, tapi langkahnya tertahan oleh genggaman Damian.

Jari-jari pria itu melingkari pinggangnya, lembut tapi mematikan.

“Jangan coba-coba,” bisiknya di telinga Aurora, senyum tipis terukir di bibirnya. Dari jauh, ia tampak seperti pengantin bahagia. Tapi kalimatnya membuat napas Aurora membeku.

Damian menariknya lebih dekat, lalu berbalik ke arah kedua orang tua Aurora. Senyumnya berubah ramah seketika.

“Terima kasih sudah datang,” ucapnya dengan sopan, nadanya terdengar hangat bagi siapa pun yang mendengar… kecuali Aurora, yang tahu persis racun di balik nada itu.

Ayah Aurora mengangguk kaku. “Aku… aku mohon, Damian. Jaga anakku.”

Aurora menoleh cepat, matanya melebar. Ada harapan kecil di sana, seolah ayahnya bisa menghentikan ini. Tapi Damian hanya tertawa pelan, menatap lelaki itu dengan tatapan yang membuat darah membeku.

“Tentu saja, Ayah,” ucapnya, suaranya manis seperti madu. “Aku akan menjaga istrimu… dengan sangat baik. Bahkan, tidak ada satu pun yang akan memisahkan kami.”

Kalimat itu terdengar wajar bagi semua orang. Tapi Aurora merasakan tekanan di pinggangnya semakin kuat, hampir seperti peringatan: lihat? Kau tidak akan pergi ke mana pun.

Ibunya mendekat, menggenggam tangan Aurora sekilas, matanya basah. Aurora hampir menangis, tapi Damian mencondongkan tubuh, senyumnya tak pernah luntur.

“Jangan khawatir, Ibu. Aurora akan mendapatkan semua yang ia pantas dapatkan,” katanya ringan, sebelum menambahkan dalam bisikan halus yang hanya terdengar oleh Aurora, “dan lebih dari itu.”

Aurora menggigit bibir, menahan isak yang mengancam pecah.

Tak lama, Damian bertepuk tangan sekali. Musik berhenti, lampu meredup. “Waktunya mengantar pengantin ke kamarnya,” ucapnya dingin, tanpa memberi ruang untuk bantahan.

Aurora menoleh panik ke arah orang tuanya, tapi sebelum ia bisa bergerak, Damian sudah meraih tangannya, menariknya keluar ballroom. Suara tepuk tangan dan sorakan para tamu terdengar seperti ejekan di telinganya.

Lorong menuju kamar terasa panjang dan sunyi. Jantung Aurora berdetak kencang. Ia tahu… saat pintu itu tertutup, ia sendirian dengan iblisnya.

Damian membuka pintu suite pengantin, menoleh sebentar padanya dengan tatapan yang menusuk.

“Malam ini milikku. Dan kau… tidak punya pilihan, Aurora.”

Pintu tertutup dengan suara klik yang terdengar seperti kunci neraka.

***

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 89

    Bab 89 Malam itu, mansion Blackwood akhirnya bisa bernafas lega setelah hari-hari penuh darah. Di ruang tamu, Aurora duduk di sofa panjang, menimang bayi mereka yang perlahan terlelap. Senyumnya lembut, meski kelelahan masih membayang di wajahnya. Damian berdiri di dekat perapian, diam menatap api yang berkelip, seolah mencari jawaban dalam kobaran itu.“Aku masih nggak percaya… kita bisa sampai di titik ini,” ucap Aurora pelan, tatapannya jatuh pada Damaro kecil yang tidur pulas.Damian berbalik, mendekat, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Aurora. “Damai ini… cuma di permukaan. Aku bisa rasa, badai masih menunggu di luar sana.”Aurora menarik napas panjang, lalu menatap Damian. “Tapi aku tahu kita nggak sendirian. Papa dulu sering cerita soal Gabriel Blackwood katanya dia orang keras, tapi setia sama keluarganya. Sahabat yang bisa diandalkan.” Aurora tersenyum tipis. “Aku nggak pernah sangka akhirnya aku

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 88

    Damian menghantam wajah Viktor berkali-kali, darah muncrat membasahi lantai gudang. Viktor masih berusaha melawan, tapi setiap gerakannya melambat. Pukulan terakhir Damian mendarat tepat di pelipis, membuat tubuh Viktor terkulai. Damian berdiri terhuyung, napasnya kasar, darahnya bercampur dengan darah Viktor di tangannya. Ia menatap tubuh musuh lamanya itu, lalu menggumam pelan, “Semua ini… untuk keluargaku.” Dengan sisa tenaga, Damian meraih pecahan besi tajam dan menancapkannya ke dada Viktor. Suara pekikan terakhir Viktor bergema di gudang, lalu hening. Di luar, suara langkah tergesa membuat Robert dan Raka menoleh. Lorenzo muncul bersama beberapa anak buahnya, mencoba menyerbu masuk untuk menyelamatkan Viktor. “Tahan mereka!” teriak Marcus, memberi isyarat ke Elias dan Clara. Baku tembak pun pecah. Dentuman peluru memecah keheningan malam. Robert bergerak cepat, senapannya menghantam dua anak buah Lorenz

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 87

    Damian meraih pecahan besi, lalu menyerbu. Viktor menyambutnya dengan hantaman popor senapan. Suara keras terdengar saat besi dan baja beradu. Tubuh Damian terlempar, namun ia bangkit lagi dengan mata penuh tekad.“Untuk Aurora… untuk anakku… dan untuk Ayahku,” gumam Damian, menggenggam senjata seadanya.Viktor menghantam keras, membuat Damian terdesak ke sudut. Senapan di tangannya terangkat, ujung moncongnya menempel di dahi Damian.“Sudah ku bilang, kau tak akan menang.”Jari Viktor mulai menekan pelatuk. Saat itu, peluru berdesing dari arah lain … srett! melesetkan senapan Viktor beberapa inci saja. Tembakannya melesat ke langit-langit.Damian terkejut. “Apa—?!”Viktor melotot, menoleh ke arah sumber tembakan. Tapi tak ada siapa-siapa, hanya kegelapan.Dari balik bayangan di atas, Gabriel menghela napas panjang, menurunkan pistolnya. “Kali ini… Ayah ikut campur sedikit. Bertahanlah, Damian.”Damian mera

  • Tawanan Mafia Blackwood   BAB 86

    Pertarungan di gudang itu makin liar. Tinju Damian mendarat di rahang Lorenzo, tapi lawannya juga bukan tipe yang gampang tumbang. Lorenzo balas meninju perut Damian hingga ia terhuyung. Nafas keduanya memburu, tubuh penuh keringat bercampur darah.Lorenzo terkekeh meski bibirnya pecah. “Lihat dirimu, Damian... mau mati demi seorang wanita dan bayi yang bahkan belum bisa memanggilmu ‘ayah’? Konyol.”Damian menyeringai, meski sudut bibirnya berdarah. “Justru karena mereka, aku tak akan kalah.”Dengan tenaga sisa, Damian menghantamkan kepala ke wajah Lorenzo. Suara tulang beradu membuat Lorenzo menjerit. Pistol yang tadi terlempar kini berada tak jauh dari jangkauan. Keduanya berebut meraihnya, merangkak di lantai berdebu.Saat Lorenzo hampir menyentuh gagangnya, Damian menendang keras. Senjata itu melayang ke kegelapan. Seketika ruangan kembali jadi arena baku hantam tangan kosong.Setiap pukulan terasa seperti taruhan nyawa. Damian tahu jika ia jatuh sekali saja, keluarganya tak akan

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 85

    Hari mulai gelap. Angin malam berdesir pelan, membawa hawa dingin yang menambah kecemasan di hati Aurora. Di tempat persembunyian itu, ia duduk di ranjang kecil sambil memangku bayinya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah tak peduli badai yang sedang mengintai di luar sana.Mama Rania dan Velia sibuk membereskan barang-barang di sudut ruangan, mencoba membuat suasana terasa normal. Namun dari gerak-geriknya, Aurora tahu kalau Mama juga tidak kalah gelisah.“Apa menurutmu Damian baik-baik saja, Ma?” suara Aurora lirih, nyaris seperti bisikan.Mama Rania berhenti sejenak, menatap putrinya lalu tersenyum lembut. “Damian itu keras kepala sekaligus tangguh, Nak. Dia tahu apa yang dia lakukan. Jangan biarkan hatimu dibanjiri ketakutan.”Aurora menghela napas dalam, menunduk menatap bayinya. “Aku hanya takut... kalau aku harus membesarkan anak ini tanpa ayahnya.”Hening sejenak. Mama Rania mendekat, duduk di samping A

  • Tawanan Mafia Blackwood   84

    Di kamar yang tenang, Aurora berbaring di ranjang, menatap wajah damai putranya yang tertidur di sampingnya. Kelelahan pasca melahirkan masih terasa, namun kebahagiaan dan rasa syukur memenuhi hatinya. Ia mengulurkan tangannya, mengelus pipi lembut bayinya dengan penuh kasih sayang. Pintu kamar perlahan terbuka, dan Mama Rania masuk dengan senyum lembut. Di tangannya, tergenggam secangkir teh hangat. "Bagaimana perasaanmu, Nak?" tanya Mama Rania, mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Aku baik-baik saja, Ma," jawab Aurora, tersenyum. "Hanya sedikit lelah. Tapi melihatnya, semua rasa sakit hilang begitu saja." Mama Rania tersenyum dan menyerahkan cangkir teh kepada Aurora. "Minumlah ini," ujarnya. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik." Aurora menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan. Aroma teh yang menenangkan membuatnya merasa lebih rileks. "Dia sangat tampan," kata Mama Rania, menatap bayi itu dengan penuh kasih sa

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status