Lampu kristal menggantung angkuh di langit-langit ballroom, memantulkan cahaya emas yang berkilau di setiap sudut. Gaun-gaun mahal dan jas hitam bertebaran, para tamu tersenyum manis dengan mata yang penuh rahasia. Dunia ini berkilau… tapi Aurora hanya merasakan gelap.
Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa seperti belenggu. Setiap langkahnya di karpet merah seolah menjerat lebih dalam. Senyum yang ia pasang hanya topeng tipis, sementara di baliknya, napasnya tercekat. Sorot mata semua orang mengikuti. Mereka berbisik. Mereka menilai. Namun satu tatapan mengalahkan segalanya, tatapan Damian. Ia berdiri di ujung altar, jas hitamnya terpotong sempurna, dasi satin terikat rapi. Wajahnya… tenang, terlalu tenang, seperti predator yang baru saja memenangkan buruannya. Tatapannya terkunci pada Aurora, menelanjangi setiap keraguan yang berusaha ia sembunyikan. Aurora menahan napas ketika jarak mereka semakin dekat. Jantungnya berdegup tak karuan, bukan karena cinta, tapi karena rasa terkurung. Ia ingin lari. Ingin berteriak. Tapi kakinya melangkah juga, perlahan, seakan berada dalam mimpi buruk yang mewah. Damian menyambutnya di altar. Tangannya terulur, menyentuh punggung tangan Aurora dengan lembut… terlalu lembut hingga membuat darahnya berdesir ngeri. Ia membungkuk sedikit, mendekat ke telinganya, suaranya serak, nyaris seperti bisikan iblis. “Cantik sekali… bahkan lebih indah dari lima tahun lalu.” Aurora membeku. Kata-kata itu menusuk hatinya. Lima tahun lalu. Masa yang ingin ia kubur dalam-dalam, tapi Damian menariknya kembali dengan satu kalimat. Pendeta mulai mengucap janji pernikahan, suara itu melayang indah di udara. Tamu-tamu tersenyum bahagia, bertepuk tangan pelan. Namun bagi Aurora, setiap kalimat adalah rantai baru yang melilit tubuhnya. “Apakah Anda, Damian Blackwood, bersedia…?” “Aku bersedia.” Damian menjawab sebelum kalimat itu selesai. Tatapannya tidak pernah lepas dari mata Aurora, gelap, intens, dan berbahaya. Aurora menelan ludah. Saat gilirannya tiba, lidahnya kelu. Damian mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja altar, tekanan itu menyakitkan, membuatnya mendongak menatap pria itu. Senyum tipisnya membuat jantung Aurora berdegup kacau. “Aku… bersedia,” ucapnya nyaris tanpa suara. Damian tersenyum. Tidak lebar, hanya cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Bagi semua orang, senyum itu tampak hangat. Tapi bagi Aurora, senyum itu adalah peringatan: tidak ada jalan kembali. Ciuman pengantin yang seharusnya penuh cinta, berubah menjadi cap kepemilikan. Damian menunduk, menempelkan bibirnya ke pipi Aurora, dekat telinga, dan berbisik lirih, dingin menusuk: “Kau akhirnya kembali padaku… dan kali ini, tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu.” Aurora menutup mata. Air mata nyaris jatuh, tapi ia tahan. Ia tahu… inilah awal neraka yang sesungguhnya. ** Musik lembut mengalun di ballroom. Para tamu bersulang, tertawa, seakan ini pernikahan yang diberkati surga. Aurora berdiri di sisi Damian, senyum terpaksa menghiasi wajahnya. Setiap kilatan kamera terasa seperti belati. Lalu, ia melihat mereka. Ayah dan ibunya. Aurora menahan napas. Wajah ibunya tampak pucat, matanya bengkak karena menangis. Ayahnya berdiri kaku, rahangnya mengeras menahan sesuatu yang tak bisa ia tumpahkan. Aurora ingin menghampiri mereka, ingin berlari memeluk ibunya dan berkata ia baik-baik saja, tapi langkahnya tertahan oleh genggaman Damian. Jari-jari pria itu melingkari pinggangnya, lembut tapi mematikan. “Jangan coba-coba,” bisiknya di telinga Aurora, senyum tipis terukir di bibirnya. Dari jauh, ia tampak seperti pengantin bahagia. Tapi kalimatnya membuat napas Aurora membeku. Damian menariknya lebih dekat, lalu berbalik ke arah kedua orang tua Aurora. Senyumnya berubah ramah seketika. “Terima kasih sudah datang,” ucapnya dengan sopan, nadanya terdengar hangat bagi siapa pun yang mendengar… kecuali Aurora, yang tahu persis racun di balik nada itu. Ayah Aurora mengangguk kaku. “Aku… aku mohon, Damian. Jaga anakku.” Aurora menoleh cepat, matanya melebar. Ada harapan kecil di sana, seolah ayahnya bisa menghentikan ini. Tapi Damian hanya tertawa pelan, menatap lelaki itu dengan tatapan yang membuat darah membeku. “Tentu saja, Ayah,” ucapnya, suaranya manis seperti madu. “Aku akan menjaga istrimu… dengan sangat baik. Bahkan, tidak ada satu pun yang akan memisahkan kami.” Kalimat itu terdengar wajar bagi semua orang. Tapi Aurora merasakan tekanan di pinggangnya semakin kuat, hampir seperti peringatan: lihat? Kau tidak akan pergi ke mana pun. Ibunya mendekat, menggenggam tangan Aurora sekilas, matanya basah. Aurora hampir menangis, tapi Damian mencondongkan tubuh, senyumnya tak pernah luntur. “Jangan khawatir, Ibu. Aurora akan mendapatkan semua yang ia pantas dapatkan,” katanya ringan, sebelum menambahkan dalam bisikan halus yang hanya terdengar oleh Aurora, “dan lebih dari itu.” Aurora menggigit bibir, menahan isak yang mengancam pecah. Tak lama, Damian bertepuk tangan sekali. Musik berhenti, lampu meredup. “Waktunya mengantar pengantin ke kamarnya,” ucapnya dingin, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Aurora menoleh panik ke arah orang tuanya, tapi sebelum ia bisa bergerak, Damian sudah meraih tangannya, menariknya keluar ballroom. Suara tepuk tangan dan sorakan para tamu terdengar seperti ejekan di telinganya. Lorong menuju kamar terasa panjang dan sunyi. Jantung Aurora berdetak kencang. Ia tahu… saat pintu itu tertutup, ia sendirian dengan iblisnya. Damian membuka pintu suite pengantin, menoleh sebentar padanya dengan tatapan yang menusuk. “Malam ini milikku. Dan kau… tidak punya pilihan, Aurora.” Pintu tertutup dengan suara klik yang terdengar seperti kunci neraka. ***Mobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang