Pintu suite menutup di belakang mereka, memutus Aurora dari dunia luar. Ruangan itu mewah, dengan tirai tebal dan cahaya lampu yang redup, tapi bagi Aurora, semua itu terasa seperti jeruji emas.
Damian melepaskan jasnya, gerakannya tenang namun penuh kuasa. Tatapannya tidak pernah lepas dari Aurora, seperti seekor serigala yang mengunci mangsanya. Aurora berdiri kaku di dekat pintu, jarinya mencengkeram gaun pengantinnya. Napasnya pendek, jantungnya berdetak liar. “Kalau ini bagian dari permainanmu, Damian… aku tidak akan ikut.” Damian tertawa pelan, rendah, nyaris seperti bisikan maut. Ia melangkah mendekat, setiap langkahnya membuat Aurora mundur hingga punggungnya menempel di dinding. “Kau pikir ini permainan?” Damian menahan kedua tangannya di sisi tubuh Aurora, mengurungnya tanpa menyentuh. Matanya dalam, hitam, menyala oleh sesuatu yang Aurora tidak bisa pahami apa ini obsesi, kemarahan, dan… luka? “Lima tahun aku menunggu ini,” ucapnya pelan, nadanya penuh intensitas. “Lima tahun, Aurora… sejak hari kau meninggalkanku di neraka itu.” Aurora terperanjat. “Apa yang kau bicarakan?” suaranya pecah, ketakutan bercampur bingung. Damian mendekat, jarak mereka nyaris lenyap. “Kau benar-benar lupa? Malam itu… ketika keluargamu memilih menyelamatkan nama mereka dan mengorbankan aku?” Aurora mengerjap, ingatan yang ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak. Suara teriakan. Api kesepakatan yang gagal. Ayahnya berteriak menyebut nama Damian, tapi tidak untuk menolongnya. Aurora menunduk, suaranya bergetar. “Itu… itu bukan salahku…” Damian mengangkat dagunya dengan ujung jarinya, memaksa matanya menatap ke dalam jurang tatapannya. “Mungkin bukan. Tapi sejak hari itu, aku bersumpah… kau akan kembali padaku. Dengan caraku.” Aurora merasakan napasnya tercekat. Ada amarah di mata Damian, tapi juga luka yang dalam, sesuatu yang menyeretnya ke jurang tak terhindarkan. Damian menurunkan tangannya, mengambil gelas anggur di meja, dan menyesapnya pelan. Lalu ia menoleh, suaranya dingin namun penuh kekuasaan. “Tidurlah, Aurora. Besok, kita mulai hidup baru.” Namun Aurora bergeming, Hidup baru? Baginya, ini bukan hidup… ini penjara yang berlapis emas. Damian sudah meninggalkan suite, meninggalkan keheningan yang menusuk. Aurora menatap pintu yang tertutup rapat, seakan berharap itu terbuka lagi, bukan karena ingin melihat Damian, tapi karena ingin kabur dari tempat ini. Dengan napas yang masih terengah, Aurora berjalan ke cermin. Gaun pengantin itu kini tampak seperti ironi. Gaun putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan… justru terasa seperti kain kafan untuk kebebasannya. Tring… Ponselnya bergetar di meja rias, membuat Aurora tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat melihat nomor tak dikenal. Dengan jemari gemetar, ia mengangkat panggilan itu. “Halo?” suaranya lirih, nyaris pecah. Hening. Lalu suara seorang pria terdengar, berat dan tajam, nyaris seperti bisikan maut. “Jika kau menikah dengan Damian Blackwood… kau sudah menandatangani kematianmu sendiri.” Aurora membeku. “Siapa kau?” Klik. Sambungan terputus. Aurora menatap layar ponsel dengan napas tercekat. Sebelum ia sempat berpikir, sebuah notifikasi baru masuk. Email. Subjeknya membuat darahnya berhenti mengalir. [Rahasia Damian] Aurora membuka email itu. Foto-foto terlampir oleh transaksi gelap, catatan rahasia, nama-nama yang bahkan ia kenal dari berita kriminal internasional. Semua mengarah pada satu fakta: Damian bukan sekadar pengusaha dingin. Ia mengendalikan sesuatu yang jauh lebih gelap. “Sedang apa kau?” Suara dalam itu menghantam udara, membuat Aurora hampir menjatuhkan ponselnya. Ia menoleh cepat. Damian berdiri di ambang pintu, jasnya sudah dilepas, kemeja hitam membalut tubuhnya dengan lengan tergulung rapi. Tatapannya menusuk seperti belati yang menyelam ke dalam dada Aurora. Aurora buru-buru mengunci ponselnya dan meletakkannya di meja. “Aku… hanya—” Damian berjalan mendekat dengan langkah pelan tapi mematikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, senyum yang membuat darah Aurora membeku. Ia meraih ponsel di meja, menyalakan layarnya, membaca sekilas notifikasi email yang belum sempat dihapus. Senyumnya makin melebar. “Rahasia, hm?” suaranya dingin, tapi mengandung nada hiburan yang menakutkan. Ia menatap Aurora dalam-dalam. “Kau benar-benar punya keberanian untuk menyentuh sesuatu yang tidak kau mengerti.” Aurora ingin bicara, ingin membela diri, tapi kata-katanya menguap di udara. Damian menaruh ponsel kembali, menunduk sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan maut. “Tidurlah, Aurora. Besok… kita mulai permainan yang sebenarnya.” Damian melangkah keluar lagi, meninggalkan keheningan yang kali ini jauh lebih menakutkan. Aurora menatap pintu yang tertutup, tangannya bergetar. *** Aurora duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, pikirannya berputar liar. Kata-kata Damian terus terngiang, bercampur dengan suara pria asing di telepon. Kematianmu sendiri. Pintu terbuka lagi. Damian masuk dengan ekspresi tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menghancurkan dunia Aurora. Kemeja hitamnya masih rapi, tapi kini ia mengenakan mantel panjang. Aurora menatapnya, matanya menyala oleh tanya dan ketakutan. “Kau… mau ke mana?” suaranya lirih, nyaris tidak keluar. Damian berhenti di depan meja, meraih jam tangan mahalnya, lalu melirik Aurora sekilas. “Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Ia mengenakan jam itu dengan gerakan tenang, lalu menatap Aurora sepenuhnya. Tatapannya gelap, dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Kau ingin tahu seberapa dalam kau sudah masuk, Aurora?” Aurora menahan napas. Damian mendekat, hingga ia bisa merasakan aroma maskulin yang pekat menusuk indra. Jemarinya menyelipkan sehelai rambut Aurora ke belakang telinga, gerakan yang tampak lembut tapi mengandung dominasi penuh. “Ini bukan sekadar pernikahan,” bisiknya, nadanya seperti racun yang manis. “Ini kesepakatan… dan kau adalah bagian dari rencana yang jauh lebih besar dari yang bisa kau bayangkan.” Aurora berani membuka suara, walau gemetar. “Apa maksudmu?” Damian tersenyum tipis. Senyum yang membuat bulu kuduknya berdiri. “Ada orang-orang yang berpikir bisa menyentuhku. Ada yang mengira kau adalah kelemahanku. Istanbul malam ini… akan mengubah semuanya.” Aurora membelalak. Istanbul? Kata itu menggema di kepalanya. Apa maksudnya? Perdagangan gelap? Target pembunuhan? Atau sesuatu yang lebih kejam? Damian meraih dagunya, memaksa Aurora menatapnya. “Selama aku pergi, jangan coba-coba melakukan hal bodoh. Jangan keluar, jangan bicara dengan siapa pun. Karena jika kau melanggar… bukan hanya kau yang akan menyesal.” Aurora menelan ludah, rasa dingin menjalari tengkuknya. “Kau… mengancamku?” Damian menunduk sedikit, jarak mereka hanya sejengkal. “Bukan ancaman, Aurora. Ini janji.” Ia menempelkan bibirnya singkat di kening Aurora, seperti tanda kepemilikan, lalu berbalik mengambil mantel dan kunci mobil. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi. “Tidurlah. Besok, dunia kita berubah.” Pintu menutup dengan suara klik yang terdengar seperti kunci neraka mengunci lagi. Aurora duduk membeku, dadanya naik turun cepat. Ia tahu satu hal: kalau ia tidak menemukan jalan keluar… namanya akan tenggelam bersama kegelapan Damian. ***Mobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang