Home / Romansa / Tawanan Mafia Blackwood / Bab 6 - Bayang - bayang Rahasia

Share

Bab 6 - Bayang - bayang Rahasia

last update Last Updated: 2025-07-24 15:19:53

Malam itu terasa lebih panjang dari apa pun yang pernah Aurora lalui. Damian sudah pergi, meninggalkan suara pintu yang menutup seperti penghakiman.

Aurora duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap layar ponsel yang gelap. Email itu masih ada. Foto-foto, dokumen, nama-nama yang bisa mengguncang dunia. Ia menelan ludah. Apa ini jebakan? Atau kesempatan?

Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Aurora terlonjak, jantungnya berdetak liar. Ia mendekat perlahan dan membuka pintu sedikit. Seorang pria berdiri di ambang, berpakaian rapi dengan jas hitam. Sorot matanya tajam, dingin, tapi berbeda dari Damian.

“Bu Aurora,” ucapnya pelan, suaranya dalam dan kaku. “Saya Adrian. Tuan Damian meminta saya menjaga Anda selama ia pergi.”

Aurora menatap pria itu dalam diam, mencoba membaca wajahnya. Adrian terlihat profesional, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya itu bukan sekadar loyalitas, melainkan rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat.

“Damian bilang… kau harus tetap di kamar,” lanjut Adrian, nada suaranya seperti peringatan, bukan sekadar pesan.

Aurora menggenggam pintu lebih erat. “Dan kalau aku tidak mau?” tanyanya pelan, menguji.

Adrian menahan tatapan sejenak, lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Maka saya yang akan memastikan Anda tidak keluar.”

Pintu menutup pelan, meninggalkan Aurora dengan napas tercekat. Ini bukan hanya penjara emas—ini benteng yang dijaga oleh pria yang mungkin sama berbahayanya dengan Damian.

Aurora kembali ke ranjang, menatap ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, mengetik balasan ke email yang ia terima tadi.

[Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?]

Ia menekan kirim dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya malam ini, Aurora mengambil langkah kecil menuju sesuatu yang bisa menyelamatkannya… atau membunuhnya lebih cepat.

Notifikasi balasan muncul hanya beberapa detik kemudian.

[Kau ingin bebas? Mulailah dengan satu hal: jangan percaya siapa pun di rumah itu.]

Aurora menatap pesan itu dengan napas tercekat. Ia memejamkan mata, menyadari satu hal: permainan ini sudah dimulai, dan taruhannya adalah hidupnya sendiri.

***

Aurora duduk di kursi dekat jendela, menatap gelap malam yang membentang di luar. Pesan balasan itu masih terpatri di layar ponselnya:

[Jangan percaya siapa pun di rumah itu.]

Siapa pengirim ini? Dan kenapa dia tahu situasinya?

Aurora menggigit bibir. Ia harus tahu lebih banyak. Jemarinya mengetik pesan lagi.

[Kenapa aku tidak boleh percaya mereka? Siapa kau?]

Belum sempat ia menekan kirim, suara pintu terbuka membuatnya panik. Aurora buru-buru mengunci layar ponsel, menyelipkannya di bawah bantal.

Adrian berdiri di ambang pintu, membawa nampan dengan segelas anggur merah. Sorot matanya tenang, tapi Aurora bisa merasakan ketegangan di balik tatapan itu.

“Minumlah, Bu Aurora. Tuan Damian bilang Anda tidak boleh kelaparan.”

Aurora menatap anggur itu, lalu menatap Adrian. “Damian selalu memastikan semua orang patuh, ya?” nadanya datar, tapi mengandung sindiran.

Senyum tipis muncul di wajah Adrian, senyum yang lebih seperti teka-teki. “Patuh… atau hilang.” Ia meletakkan nampan di meja, lalu berdiri beberapa langkah dari Aurora. “Damian pria yang… kompleks. Kadang orang berpikir mengenalnya. Padahal tidak ada yang benar-benar tahu siapa dia.”

Aurora menahan napas, mencoba membaca kata-kata itu. “Termasuk kamu?”

Adrian menatapnya, lama. Senyumnya memudar. “Saya hanya tahu satu hal: orang-orang yang mencoba mengkhianatinya… tidak pernah punya kesempatan kedua.”

Diam. Tegangan di udara menebal. Aurora merasa seperti sedang berjalan di atas garis tipis di antara hidup dan mati.

Adrian berbalik, menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Tidurlah, Bu Aurora. Malam ini akan panjang.”

Pintu menutup. Aurora segera meraih ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Ia membuka kembali pesan yang belum terkirim, menekannya, dan mengirim.

Beberapa detik kemudian, balasan muncul.

[Karena di rumah itu… ada orang yang akan lebih berbahaya bagimu daripada Damian.]

Aurora menelan ludah, merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia memandang pintu kamar dengan napas tercekik, kata-kata Adrian dan pesan di ponsel bergema di kepalanya.

Siapa yang dimaksud? Adrian? Atau seseorang yang bahkan belum ia temui?

Dan untuk pertama kalinya, Aurora benar-benar merasa… ia tidak hanya menikahi lelaki kejam. Ia sedang hidup di sarang monster.

***

Jam sudah lewat tengah malam. Aurora masih duduk di tepi ranjang, matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Kata-kata di pesan terakhir terus berdengung di kepalanya.

[Ada orang yang lebih berbahaya daripada Damian.]

Siapa? Adrian? Atau… seseorang yang belum ia kenal?

Aurora menggenggam ponselnya erat, jemarinya berkeringat. Ia mengetik satu kalimat:

[Siapa yang kau maksud?]

Pesan terkirim. Tidak ada balasan.

Aurora berdiri pelan-pelan, gaun putihnya kini kusut, seperti saksi bisu kegelisahannya. Ia melangkah ke pintu, memutar kenop perlahan. Terkunci. Sial.

Ia menoleh, pandangannya menangkap balkon yang menghadap halaman belakang. Aurora mendekat, membuka pintu kaca perlahan. Udara dingin malam menyapa kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Dari sini, ia melihat gerbang tinggi yang dijaga dua pria bersenjata. Tidak ada jalan keluar… kecuali melalui mereka.

Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Aurora menoleh cepat. Adrian berdiri di ambang pintu kamar, tatapannya menusuk, seperti predator yang menangkap mangsanya basah-basah.

“Malam yang indah, bukan?” suaranya rendah, tenang, tapi mengandung sesuatu yang membuat Aurora ingin mundur.

Aurora menahan napas. “Kau… mengintai aku?”

Adrian melangkah masuk, menutup pintu dengan suara klik yang membuat udara semakin berat. “Tugas saya adalah memastikan Anda aman. Dan… patuh.”

Aurora menggenggam rel balkon, jantungnya berdetak liar. “Patuh? Atau mati, seperti yang kau katakan tadi?”

Adrian berhenti tepat di hadapannya, jarak mereka hanya satu langkah. Senyum samar muncul di bibirnya, tapi sorot matanya dingin seperti baja.

“Anda pintar, Bu Aurora. Jangan sampai kepintaran itu membuat Anda kehilangan segalanya.”

Aurora ingin membalas, tapi ponselnya bergetar di genggaman. Ia menunduk cepat, membuka layar. Pesan baru muncul.

[Kau benar-benar mau tahu? Lima tahun lalu… keluargamu mengkhianati Damian. Dan kau… adalah bagian dari itu.]

Aurora membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir. Lima tahun lalu? Ingatan yang kabur mulai menyeruak teriakan, suara tembakan, ayahnya berteriak menyebut nama Damian…

Adrian melirik ponsel di tangan Aurora, sorot matanya tajam. “Dengan siapa kau bicara?”

Aurora segera mengunci layar, menatap Adrian dengan keberanian yang dipaksakan. “Bukan urusanmu.”

Adrian tersenyum tipis, tapi tatapan matanya berubah. Lebih gelap. Lebih berbahaya.

“Oh, percayalah… mulai malam ini, semua yang kau lakukan adalah urusanku.”

Ia berbalik, meninggalkan Aurora dengan dada bergemuruh. Aurora menggenggam ponselnya erat, matanya menatap pesan itu sekali lagi.

Siapa pengirimnya? Dan… apakah Damian benar-benar menyimpan rahasia sebesar ini?

Dibalik pintu, Adrian menatap lurus ke koridor gelap, jarinya menyentuh earpiece kecil.

“Dia sudah tahu sebagian,” gumamnya datar. “Apa kita lanjut sesuai rencana, Tuan Blackwood?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 89

    Bab 89 Malam itu, mansion Blackwood akhirnya bisa bernafas lega setelah hari-hari penuh darah. Di ruang tamu, Aurora duduk di sofa panjang, menimang bayi mereka yang perlahan terlelap. Senyumnya lembut, meski kelelahan masih membayang di wajahnya. Damian berdiri di dekat perapian, diam menatap api yang berkelip, seolah mencari jawaban dalam kobaran itu.“Aku masih nggak percaya… kita bisa sampai di titik ini,” ucap Aurora pelan, tatapannya jatuh pada Damaro kecil yang tidur pulas.Damian berbalik, mendekat, lalu duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Aurora. “Damai ini… cuma di permukaan. Aku bisa rasa, badai masih menunggu di luar sana.”Aurora menarik napas panjang, lalu menatap Damian. “Tapi aku tahu kita nggak sendirian. Papa dulu sering cerita soal Gabriel Blackwood katanya dia orang keras, tapi setia sama keluarganya. Sahabat yang bisa diandalkan.” Aurora tersenyum tipis. “Aku nggak pernah sangka akhirnya aku

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 88

    Damian menghantam wajah Viktor berkali-kali, darah muncrat membasahi lantai gudang. Viktor masih berusaha melawan, tapi setiap gerakannya melambat. Pukulan terakhir Damian mendarat tepat di pelipis, membuat tubuh Viktor terkulai. Damian berdiri terhuyung, napasnya kasar, darahnya bercampur dengan darah Viktor di tangannya. Ia menatap tubuh musuh lamanya itu, lalu menggumam pelan, “Semua ini… untuk keluargaku.” Dengan sisa tenaga, Damian meraih pecahan besi tajam dan menancapkannya ke dada Viktor. Suara pekikan terakhir Viktor bergema di gudang, lalu hening. Di luar, suara langkah tergesa membuat Robert dan Raka menoleh. Lorenzo muncul bersama beberapa anak buahnya, mencoba menyerbu masuk untuk menyelamatkan Viktor. “Tahan mereka!” teriak Marcus, memberi isyarat ke Elias dan Clara. Baku tembak pun pecah. Dentuman peluru memecah keheningan malam. Robert bergerak cepat, senapannya menghantam dua anak buah Lorenz

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 87

    Damian meraih pecahan besi, lalu menyerbu. Viktor menyambutnya dengan hantaman popor senapan. Suara keras terdengar saat besi dan baja beradu. Tubuh Damian terlempar, namun ia bangkit lagi dengan mata penuh tekad.“Untuk Aurora… untuk anakku… dan untuk Ayahku,” gumam Damian, menggenggam senjata seadanya.Viktor menghantam keras, membuat Damian terdesak ke sudut. Senapan di tangannya terangkat, ujung moncongnya menempel di dahi Damian.“Sudah ku bilang, kau tak akan menang.”Jari Viktor mulai menekan pelatuk. Saat itu, peluru berdesing dari arah lain … srett! melesetkan senapan Viktor beberapa inci saja. Tembakannya melesat ke langit-langit.Damian terkejut. “Apa—?!”Viktor melotot, menoleh ke arah sumber tembakan. Tapi tak ada siapa-siapa, hanya kegelapan.Dari balik bayangan di atas, Gabriel menghela napas panjang, menurunkan pistolnya. “Kali ini… Ayah ikut campur sedikit. Bertahanlah, Damian.”Damian mera

  • Tawanan Mafia Blackwood   BAB 86

    Pertarungan di gudang itu makin liar. Tinju Damian mendarat di rahang Lorenzo, tapi lawannya juga bukan tipe yang gampang tumbang. Lorenzo balas meninju perut Damian hingga ia terhuyung. Nafas keduanya memburu, tubuh penuh keringat bercampur darah.Lorenzo terkekeh meski bibirnya pecah. “Lihat dirimu, Damian... mau mati demi seorang wanita dan bayi yang bahkan belum bisa memanggilmu ‘ayah’? Konyol.”Damian menyeringai, meski sudut bibirnya berdarah. “Justru karena mereka, aku tak akan kalah.”Dengan tenaga sisa, Damian menghantamkan kepala ke wajah Lorenzo. Suara tulang beradu membuat Lorenzo menjerit. Pistol yang tadi terlempar kini berada tak jauh dari jangkauan. Keduanya berebut meraihnya, merangkak di lantai berdebu.Saat Lorenzo hampir menyentuh gagangnya, Damian menendang keras. Senjata itu melayang ke kegelapan. Seketika ruangan kembali jadi arena baku hantam tangan kosong.Setiap pukulan terasa seperti taruhan nyawa. Damian tahu jika ia jatuh sekali saja, keluarganya tak akan

  • Tawanan Mafia Blackwood   Bab 85

    Hari mulai gelap. Angin malam berdesir pelan, membawa hawa dingin yang menambah kecemasan di hati Aurora. Di tempat persembunyian itu, ia duduk di ranjang kecil sambil memangku bayinya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah tak peduli badai yang sedang mengintai di luar sana.Mama Rania dan Velia sibuk membereskan barang-barang di sudut ruangan, mencoba membuat suasana terasa normal. Namun dari gerak-geriknya, Aurora tahu kalau Mama juga tidak kalah gelisah.“Apa menurutmu Damian baik-baik saja, Ma?” suara Aurora lirih, nyaris seperti bisikan.Mama Rania berhenti sejenak, menatap putrinya lalu tersenyum lembut. “Damian itu keras kepala sekaligus tangguh, Nak. Dia tahu apa yang dia lakukan. Jangan biarkan hatimu dibanjiri ketakutan.”Aurora menghela napas dalam, menunduk menatap bayinya. “Aku hanya takut... kalau aku harus membesarkan anak ini tanpa ayahnya.”Hening sejenak. Mama Rania mendekat, duduk di samping A

  • Tawanan Mafia Blackwood   84

    Di kamar yang tenang, Aurora berbaring di ranjang, menatap wajah damai putranya yang tertidur di sampingnya. Kelelahan pasca melahirkan masih terasa, namun kebahagiaan dan rasa syukur memenuhi hatinya. Ia mengulurkan tangannya, mengelus pipi lembut bayinya dengan penuh kasih sayang. Pintu kamar perlahan terbuka, dan Mama Rania masuk dengan senyum lembut. Di tangannya, tergenggam secangkir teh hangat. "Bagaimana perasaanmu, Nak?" tanya Mama Rania, mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Aku baik-baik saja, Ma," jawab Aurora, tersenyum. "Hanya sedikit lelah. Tapi melihatnya, semua rasa sakit hilang begitu saja." Mama Rania tersenyum dan menyerahkan cangkir teh kepada Aurora. "Minumlah ini," ujarnya. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik." Aurora menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan. Aroma teh yang menenangkan membuatnya merasa lebih rileks. "Dia sangat tampan," kata Mama Rania, menatap bayi itu dengan penuh kasih sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status