Malam itu terasa lebih panjang dari apa pun yang pernah Aurora lalui. Damian sudah pergi, meninggalkan suara pintu yang menutup seperti penghakiman.
Aurora duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap layar ponsel yang gelap. Email itu masih ada. Foto-foto, dokumen, nama-nama yang bisa mengguncang dunia. Ia menelan ludah. Apa ini jebakan? Atau kesempatan? Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Aurora terlonjak, jantungnya berdetak liar. Ia mendekat perlahan dan membuka pintu sedikit. Seorang pria berdiri di ambang, berpakaian rapi dengan jas hitam. Sorot matanya tajam, dingin, tapi berbeda dari Damian. “Bu Aurora,” ucapnya pelan, suaranya dalam dan kaku. “Saya Adrian. Tuan Damian meminta saya menjaga Anda selama ia pergi.” Aurora menatap pria itu dalam diam, mencoba membaca wajahnya. Adrian terlihat profesional, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya itu bukan sekadar loyalitas, melainkan rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat. “Damian bilang… kau harus tetap di kamar,” lanjut Adrian, nada suaranya seperti peringatan, bukan sekadar pesan. Aurora menggenggam pintu lebih erat. “Dan kalau aku tidak mau?” tanyanya pelan, menguji. Adrian menahan tatapan sejenak, lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Maka saya yang akan memastikan Anda tidak keluar.” Pintu menutup pelan, meninggalkan Aurora dengan napas tercekat. Ini bukan hanya penjara emas—ini benteng yang dijaga oleh pria yang mungkin sama berbahayanya dengan Damian. Aurora kembali ke ranjang, menatap ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, mengetik balasan ke email yang ia terima tadi. [Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?] Ia menekan kirim dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya malam ini, Aurora mengambil langkah kecil menuju sesuatu yang bisa menyelamatkannya… atau membunuhnya lebih cepat. Notifikasi balasan muncul hanya beberapa detik kemudian. [Kau ingin bebas? Mulailah dengan satu hal: jangan percaya siapa pun di rumah itu.] Aurora menatap pesan itu dengan napas tercekat. Ia memejamkan mata, menyadari satu hal: permainan ini sudah dimulai, dan taruhannya adalah hidupnya sendiri. *** Aurora duduk di kursi dekat jendela, menatap gelap malam yang membentang di luar. Pesan balasan itu masih terpatri di layar ponselnya: [Jangan percaya siapa pun di rumah itu.] Siapa pengirim ini? Dan kenapa dia tahu situasinya? Aurora menggigit bibir. Ia harus tahu lebih banyak. Jemarinya mengetik pesan lagi. [Kenapa aku tidak boleh percaya mereka? Siapa kau?] Belum sempat ia menekan kirim, suara pintu terbuka membuatnya panik. Aurora buru-buru mengunci layar ponsel, menyelipkannya di bawah bantal. Adrian berdiri di ambang pintu, membawa nampan dengan segelas anggur merah. Sorot matanya tenang, tapi Aurora bisa merasakan ketegangan di balik tatapan itu. “Minumlah, Bu Aurora. Tuan Damian bilang Anda tidak boleh kelaparan.” Aurora menatap anggur itu, lalu menatap Adrian. “Damian selalu memastikan semua orang patuh, ya?” nadanya datar, tapi mengandung sindiran. Senyum tipis muncul di wajah Adrian, senyum yang lebih seperti teka-teki. “Patuh… atau hilang.” Ia meletakkan nampan di meja, lalu berdiri beberapa langkah dari Aurora. “Damian pria yang… kompleks. Kadang orang berpikir mengenalnya. Padahal tidak ada yang benar-benar tahu siapa dia.” Aurora menahan napas, mencoba membaca kata-kata itu. “Termasuk kamu?” Adrian menatapnya, lama. Senyumnya memudar. “Saya hanya tahu satu hal: orang-orang yang mencoba mengkhianatinya… tidak pernah punya kesempatan kedua.” Diam. Tegangan di udara menebal. Aurora merasa seperti sedang berjalan di atas garis tipis di antara hidup dan mati. Adrian berbalik, menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Tidurlah, Bu Aurora. Malam ini akan panjang.” Pintu menutup. Aurora segera meraih ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Ia membuka kembali pesan yang belum terkirim, menekannya, dan mengirim. Beberapa detik kemudian, balasan muncul. [Karena di rumah itu… ada orang yang akan lebih berbahaya bagimu daripada Damian.] Aurora menelan ludah, merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia memandang pintu kamar dengan napas tercekik, kata-kata Adrian dan pesan di ponsel bergema di kepalanya. Siapa yang dimaksud? Adrian? Atau seseorang yang bahkan belum ia temui? Dan untuk pertama kalinya, Aurora benar-benar merasa… ia tidak hanya menikahi lelaki kejam. Ia sedang hidup di sarang monster. *** Jam sudah lewat tengah malam. Aurora masih duduk di tepi ranjang, matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Kata-kata di pesan terakhir terus berdengung di kepalanya. [Ada orang yang lebih berbahaya daripada Damian.] Siapa? Adrian? Atau… seseorang yang belum ia kenal? Aurora menggenggam ponselnya erat, jemarinya berkeringat. Ia mengetik satu kalimat: [Siapa yang kau maksud?] Pesan terkirim. Tidak ada balasan. Aurora berdiri pelan-pelan, gaun putihnya kini kusut, seperti saksi bisu kegelisahannya. Ia melangkah ke pintu, memutar kenop perlahan. Terkunci. Sial. Ia menoleh, pandangannya menangkap balkon yang menghadap halaman belakang. Aurora mendekat, membuka pintu kaca perlahan. Udara dingin malam menyapa kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Dari sini, ia melihat gerbang tinggi yang dijaga dua pria bersenjata. Tidak ada jalan keluar… kecuali melalui mereka. Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Aurora menoleh cepat. Adrian berdiri di ambang pintu kamar, tatapannya menusuk, seperti predator yang menangkap mangsanya basah-basah. “Malam yang indah, bukan?” suaranya rendah, tenang, tapi mengandung sesuatu yang membuat Aurora ingin mundur. Aurora menahan napas. “Kau… mengintai aku?” Adrian melangkah masuk, menutup pintu dengan suara klik yang membuat udara semakin berat. “Tugas saya adalah memastikan Anda aman. Dan… patuh.” Aurora menggenggam rel balkon, jantungnya berdetak liar. “Patuh? Atau mati, seperti yang kau katakan tadi?” Adrian berhenti tepat di hadapannya, jarak mereka hanya satu langkah. Senyum samar muncul di bibirnya, tapi sorot matanya dingin seperti baja. “Anda pintar, Bu Aurora. Jangan sampai kepintaran itu membuat Anda kehilangan segalanya.” Aurora ingin membalas, tapi ponselnya bergetar di genggaman. Ia menunduk cepat, membuka layar. Pesan baru muncul. [Kau benar-benar mau tahu? Lima tahun lalu… keluargamu mengkhianati Damian. Dan kau… adalah bagian dari itu.] Aurora membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir. Lima tahun lalu? Ingatan yang kabur mulai menyeruak teriakan, suara tembakan, ayahnya berteriak menyebut nama Damian… Adrian melirik ponsel di tangan Aurora, sorot matanya tajam. “Dengan siapa kau bicara?” Aurora segera mengunci layar, menatap Adrian dengan keberanian yang dipaksakan. “Bukan urusanmu.” Adrian tersenyum tipis, tapi tatapan matanya berubah. Lebih gelap. Lebih berbahaya. “Oh, percayalah… mulai malam ini, semua yang kau lakukan adalah urusanku.” Ia berbalik, meninggalkan Aurora dengan dada bergemuruh. Aurora menggenggam ponselnya erat, matanya menatap pesan itu sekali lagi. Siapa pengirimnya? Dan… apakah Damian benar-benar menyimpan rahasia sebesar ini? Dibalik pintu, Adrian menatap lurus ke koridor gelap, jarinya menyentuh earpiece kecil. “Dia sudah tahu sebagian,” gumamnya datar. “Apa kita lanjut sesuai rencana, Tuan Blackwood?” ***Mobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang