Sore harinya, Hazel baru saja menginjakkan kaki ke dalam apartemen ketika ia menoleh melihat Xavier sudah berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, tubuhnya tegap seperti patung penjaga yang siap menginterogasi siapa pun yang masuk.Hazel menoleh sekilas. “Kau kenapa?” tanyanya santai, seolah tak menyadari sorot mata tajam yang menguncinya sejak tadi. Ia melewati Xavier tanpa gentar dan meletakkan ponselnya di atas meja."Aku masih menunggu jawaban," ujar Xavier datar, namun tekanan dari nadanya tak bisa diabaikan. "Sekarang kita hanya berdua, jadi katakan... siapa Tristan sebenarnya?"Hazel berbalik perlahan, membalas dengan tatapan polos yang tentu saja tidak sepenuhnya polos. “Astaga, Xavier. Aku kira kau sudah melupakannya. Kenapa masih mengungkit itu?”“Aku tidak melupakan apapun yang menyangkut dirimu,” sahut Xavier cepat. “Jelaskan padaku bagaimana kau bisa mengenalnya, dan kenapa kalian begitu dekat.”Hazel menarik nafas panjang, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi s
Langkah kaki Hazel terhenti di depan sebuah kolam air yang dikelilingi batu-batu kecil dan tumbuhan hias. Kolam itu tampak biasa saja, tapi banyak orang berkumpul di sekitarnya, melemparkan koin sambil memejamkan mata dan membisikkan harapan. Sebuah tradisi lama yang dipercaya akan mengabulkan permohonan sederhana hingga yang mustahil.Xavier yang berjalan satu meter di belakang, memperhatikan Hazel tanpa suara. Ada sesuatu tentang caranya menatap air yang membuat waktu seolah melambat.Hazel mulai meraba saku baju… kosong. Pindah ke saku celana… tetap nihil.Ia memutar tubuh dan menghadap Xavier dengan ekspresi nyaris memelas."Kau punya uang koin?"Xavier mengerutkan dahi tipis. "Aku tidak pernah menyimpan uang receh."Hazel mendesah dramatis sambil mencibir kecil. Tapi daripada menyerah, ia malah mengeluarkan sesuatu yang tak terduga, kartu bank miliknya. Dengan penuh keseriusan aneh, ia menggesekkan ujung kartu itu ke permukaan air.Xavier mengangkat alis tinggi, tak percaya denga
Angin musim semi berhembus lembut, membawa aroma kopi dan croissant dari kedai kecil di sudut jalan. Di bawah payung putih yang bergoyang pelan tertiup angin, Hazel dan Xavier duduk berhadapan, menikmati sarapan sederhana dengan pemandangan kota Milan yang mulai sibuk.Meski wajah mereka tampak tenang, percakapan yang mereka bangun mengalir dalam nada waspada."Bagaimana hubunganmu dengan Christina setelah semua yang terjadi?" tanya Hazel sambil mengaduk pelan teh hangatnya. Suaranya ringan, tapi matanya menatap tajam, mencari celah kebenaran dalam respons Xavier.Xavier meletakkan cangkir kopinya dan mengangkat bahu."Lebih baik dari yang kau bayangkan."Hazel mengangkat alis. "Kau yakin? Maksudku… wanita yang pernah menodongkan pistol ke kepalamu, dan sekarang kalian hanya… berdamai?"Xavier tersenyum tipis, matanya menerawang jauh ke arah langit yang mendung ringan."Christina bukan tidak akan membunuhku. Dia hanya... seseorang yang terluka dan dipenuhi kebencian yang salah arah. Se
Akhirnya, Xavier membawa Hazel ke sebuah tempat yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya, kediamannya di Milan. Sebuah apartemen mewah, tersembunyi di balik sistem keamanan yang ketat dan pemandangan kota yang menawan.Xavier turun lebih dulu dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Hazel. Tanpa banyak kata, ia mengisyaratkan agar Hazel mengikutinya. Begitu pintu apartemen terbuka, Hazel langsung disambut aroma ruangan bersih yang bercampur dengan wangi khas maskulin Xavier. Pemandangan interior apartemen itu luas dan elegan, dengan jendela setinggi langit-langit yang menyajikan panorama malam kota Milan yang berkilau.Hazel menoleh ke sekeliling, matanya menyapu dinding marmer, sofa kulit hitam, dan meja kerja yang tertata rapi."Jadi… kau tinggal di sini sekarang?" tanyanya pelan, seolah tak percaya. Pantas saja ia tidak bisa menemukan Xavier di lokasi sebelumnya karena ternyata Xavier sudah pindah ke daerah Milan.Xavier berdiri di balik punggungnya, menatap ke luar jendela sambil
Kulit mereka saling bersentuhan, setiap gesekan menciptakan melodi yang hanya bisa mereka rasakan. Hubungan ini seakan seperti jebakan yang memerangkap kehidupan mereka, dalam waktu singkat semuanya tidak lagi sama.Hazel memejamkan mata, menyerahkan diri pada badai sensasi yang melanda. Setiap tarikan nafas, setiap desahan rendah Xavier yang menggema di telinganya, setiap gerakan yang mengguncang kesadarannya, semuanya ia simpan dalam memori, seperti harta karun yang tak akan pernah lapuk.Dan ketika matanya terbuka, dunia seakan berhenti berputar. Xavier tampak mempesona bagai dewa yang turun dari khayalan, rambutnya basah oleh keringat yang mengkilat di bawah cahaya redup, bibirnya menggoda dalam setengah rintih, wajahnya memancarkan hasrat yang tak terbendung."Akh, Xavier..." desis Hazel, suaranya parau oleh nafsu yang menggunung. Jari-jarinya mencengkram lengan Xavier dengan kekuatan yang mengisyaratkan keputusasaan, sementara tangan satunya meremas sprei hingga berkerut, seakan
Cukup lama Hazel berada dalam dekapan Xavier, setiap kata dan kalimat yang pria ini ucapkan bagaikan pisau yang menusuknya lebih dalam. Secara harfiah, Xavier tidak ingin ia terluka. Xavier hanya ingin ia menjauh dari bahaya, tapi entah kenapa itu malah membuatnya sulit melepaskan.Dengan berat hati, Hazel mengurai pelukan itu. Ia mendongak sedikit, menatap wajah Xavier dari jarak dekat, berusaha menangkap sisa-sisa kejujuran yang tersembunyi di balik tatapan dingin dan keras yang begitu familiar."Apa kau benar-benar baik-baik saja dengan semua ini?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Xavier menatapnya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Aku sudah terbiasa. Dunia yang kutinggali memang tidak mengenal damai, Hazel. Kekacauan adalah sarapanku setiap pagi."Hazel menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Tapi ia tak bisa menahan satu pertanyaan yang sejak lama terpendam."Setelah George tahu bahwa… bahwa kau yang membunuh Tyler, apa kau mendapat sanksi darinya?"Senyuman tipis terukir d