Bersambung... Bayangin mukanya Xavier yang kaget itu wkwk
Hazel menatap Xavier yang duduk bersandar santai di sofa, MacBook terpangku di pahanya. Sudah hampir setengah jam pria itu fokus pada layar, jarinya menari cepat di atas keyboard, seolah Hazel yang duduk hanya beberapa langkah darinya tak pernah ada."Kapan kamu akan menunjukkan Black Viper padaku?" suara Hazel memecah keheningan, sedikit meninggi karena tak sabar.Xavier berhenti mengetik, menoleh perlahan dengan alis terangkat, tatapannya tajam namun tenang. Belum sempat ia membuka mulut, Hazel sudah menyusul dengan nada mendesak."Kau pernah bilang, setelah kondisimu membaik, kau akan tunjukkan benda itu padaku. Sekarang, aku menagih janji itu."MacBook ia letakkan di meja. Sebuah senyum tipis, terbit di bibirnya. "Aku tahu kau penasaran, Hazel. Aku akan menunjukkannya… tapi bersabarlah.""Bagaimana aku bisa sabar kalau kau selalu bilang ‘bukan waktunya’? Kapan ‘waktu yang tepat’ itu, hmm?" Hazel menatapnya penuh tantangan.Xavier hanya mengangkat sudut bibirnya, senyum misterius y
Selesai sarapan, Xavier kembali melanjutkan olahraganya. Alat bantu yang dibuat khusus oleh Diego benar-benar bekerja dengan baik. Bukan hanya membuatnya bisa berdiri, tapi juga menopang beban tubuhnya dan alat gym yang berat tanpa membuatnya kehilangan keseimbangan.Bagi Xavier, ini adalah kemajuan besar. Ia bukan tipe pria yang betah duduk diam, dan kini ia bisa kembali beraktivitas dengan leluasa. Sementara itu, di sudut ruangan gym, Hazel sedang berjalan di atas treadmill. Namun, perhatiannya tidak benar-benar tertuju pada layar di depannya. Matanya justru sesekali melirik ke arah Xavier yang membelakanginya.Ucapan pria itu di meja makan tadi masih bergaung di kepalanya. Satu kalimat sederhana, namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar tanpa kendali."Bersama denganmu."Dan... anak.Hazel menelan ludah. Hanya mengingat kata itu saja sudah membuat perutnya terasa geli seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalamnya. Wajahnya memanas. Akhir-akhir ini, Xavier memang sering menying
Ketika Xavier tiba di hotel, ia sudah mendapati Hazel tertidur. Dengan jahil, Xavier menyentuh sisi pipi Hazel dengan ujung jarinya, namun Hazel tidak bangun dan seperti putri tidur yang membutuhkan ciuman seorang pangeran."Kau manis sekali saat tidur seperti ini." batin Xavier.**Langit pagi memancarkan sinar keemasan yang hangat, namun bagi Hazel, cahaya itu justru terasa menyilaukan. Ia mengerjap beberapa kali, kelopak matanya berat, hingga akhirnya terpaksa mengangkat tangan untuk menutupi sinar matahari yang menusuk penglihatannya.“Selamat pagi, Nyonya,” suara beberapa orang terdengar serentak, teratur, dan begitu dekat.Hazel sontak tersentak bangun, tubuhnya tegak di atas ranjang. Namun, keterkejutannya bertambah berkali lipat saat matanya menangkap pemandangan yang sama sekali tak masuk akal, lima orang pelayan berdiri berbaris rapi di kaki ranjangnya, menatapnya dengan penuh hormat.Apa… aku sedang bermimpi? pikirnya panik.Ia buru-buru mengusap wajah dan mengucek mata, ber
Setelah terbang beberapa saat melintasi langit New York, helikopter perlahan menurunkan ketinggian. Dari balik kaca, Hazel melihat hamparan gedung-gedung pencakar langit yang berkilau memantulkan cahaya matahari sore. Helikopter itu mendarat anggun di salah satu landasan pribadi di atap sebuah menara megah, gedung yang tampak seperti benteng modern dengan fasad kaca gelap dan sentuhan logam berkilat.Begitu pintu helikopter terbuka, angin dingin kota langsung menerpa wajah Hazel. Xavier melangkah turun lebih dulu, posturnya tegap, langkahnya mantap. Hazel menyusul, dan tanpa sadar matanya mengikuti setiap gerakan pria itu. Bukan hanya karena wibawanya, tapi karena ia sadar betul, Xavier kini berjalan tanpa tongkat penyangga. Tidak ada sedikitpun tanda bahwa ia pernah mengalami kesulitan berjalan.Pria itu kembali seperti dulu, tegas, berwibawa, dengan aura dominan yang nyaris menekan udara di sekitarnya. Bahkan ekspresi angkuh di wajahnya yang sering membuat lawan bicara menelan ludah
"Apa kau sedang bercanda?" tanya Hazel dengan alis terangkat, menatap Xavier yang terlihat terlalu serius untuk sebuah candaan.Xavier menatap matanya tanpa keraguan, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Hazel. Aku sungguh-sungguh. Hubungan kita sudah sejauh ini… dan aku rasa waktunya kita melangkah ke tahap selanjutnya. Aku ingin mengenal orang tuamu."Perut Hazel seketika terasa aneh, bukan lapar, bukan kenyang, tapi seperti ada kupu-kupu yang beterbangan tanpa arah. Ia menelan ludahnya, mencoba menenangkan debar jantung yang tak beraturan. Bukan karena ia tidak senang, justru sebaliknya, tapi ini datang terlalu cepat, dan ia belum menyiapkan dirinya."Kau tidak perlu buru-buru, Xavier…" ucapnya pelan. "Tapi… ya, akan ada waktunya nanti. Aku janji."Xavier tersenyum tenang, lalu meraih tangan Hazel dan mencoba menggenggamnya. Genggaman hangat itu menyalurkan perasaan aman yang tak bisa dijelaskan. Seolah semuanya akan baik-baik saja.Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di sebuah restor
Hazel terperanjat saat pintu kamar mandi terbuka tiba-tiba. Ia belum sempat melihat alat tes kehamilan tersebut saat pintu terbuka tanpa permisi.“X-Xavier?!” serunya panik, buru-buru berbalik dan menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.Tapi terlambat. Tatapan Xavier yang tajam langsung menangkap benda mungil di tangan Hazel. Wajah pria itu tidak menunjukkan amarah, hanya keseriusan, tapi cukup untuk membuat jantung Hazel berdetak tak karuan.“Apa itu yang kupikirkan?” tanya Xavier, nadanya rendah, penuh tekanan.Hazel berusaha tersenyum, tapi senyumnya goyah. “Aku... aku belum melihat hasilnya,” bisiknya jujur.Xavier mendekat, langkahnya perlahan namun tegas. Ia mengulurkan tangan, menatap Hazel lurus-lurus. “Tunjukkan padaku.”Gemetar, Hazel menyerahkan alat tes kehamilan itu ke Xavier. Di dalam dirinya, ada harapan kecil… bahwa mungkin, keajaiban sedang tumbuh. Bahwa mungkin, garis dua itu akan muncul dan mengubah segalanya.Xavier menatap alat itu lama, keningnya berkerut.“