Beberapa waktu telah berlalu sejak Hazel datang ke kapal pesiar itu.
Ia menyusuri setiap sudutnya seorang diri, menyatu dalam hiruk pikuk para tamu yang bersenang-senang. Tapi pikirannya tidak pernah tenang. Matanya terus bergerak, mencari satu sosok yang membuat langkahnya tak kunjung berhenti.
Sesekali, ia bertanya pada dirinya sendiri, Apakah aku sudah terlalu jauh mencampuri urusan Jacob?
Tapi jujur saja, ia juga tidak pernah terpaksa untuk membantu saudaranya itu karena sebenarnya pria itu tak pernah meminta bantuanya secara langsung untuk mengawasi Luna seperti ini. Hazel sendiri yang ingin membuat Jacob segera menikah, dan Luna adalah pilihan yang tepat.
"Semoga saja jalan yang aku pilih ini tidak salah, karena orang yang harus aku singkirkan adalah Xavier, pria kejam itu tidak mudah untuk dikalahkan." gumamnya sambil melewati koridor panjang.
Namun langkahnya terhenti mendadak.
Hazel membelalak saat melihat dari kejauhan Jacob menggandeng Luna, bergegas melewati lorong dengan ekspresi panik. Tapi bukan itu yang membuat nafasnya tercekat.
Di belakang mereka… Xavier.
Pria itu mengejar dengan langkah cepat dan sorot mata penuh amarah. Seperti binatang buas yang melihat mangsanya kabur.
Tanpa pikir panjang, Hazel berlari dan memotong jalan, berdiri tepat di hadapan Xavier. Jantungnya berdetak seperti genderang perang, namun ia tidak bergeming.
"Menyingkirlah," desis Xavier tajam, dingin, seperti pisau yang menggores udara.
Hazel menelan ludah. Tubuhnya ingin mundur, tapi ia justru tidak bergerak. Tidak satu senti pun sampai ia memastikan Jacob dan Luna sudah pergi jauh.
“Minggir!” Xavier kehilangan kesabaran dan mendorong Hazel ke samping.
Namun Hazel tetap di tempat. Bahkan ketika Xavier hendak melangkah kembali, Hazel meraih lengan Xavier dan menariknya sekuat tenaga hingga pria itu berbalik menghadapnya.
Tanpa pikir panjang, Hazel berjinjit, menutup matanya, dan melakukan hal paling gila dalam hidupnya. Semua ini Hazel lakukan demi menyelamatkan Jacob dan Luna.
Ia… mencium pria yang paling ia benci.
Hazel pikir Xavier akan langsung menepisnya. Mendorongnya. Memaki. Tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
Tangan pria itu mencengkeram pinggangnya, rahangnya disentuh, dan tanpa aba-aba ... Xavier membalas ciumannya. Dengan liar. Dengan panas. Dengan penuh penguasaan seolah ia memegang kendali penuh atas dunia.
Hazel membelalak. Nafasnya tercekik. Ciuman ini... terlalu berbahaya.
Ini adalah sesuatu yang tak seharusnya terjadi.
Jantung Hazel berdetak gila. Ia nyaris lupa alasannya mencium pria itu. Dan saat akhirnya ia berhasil melepaskan diri, matanya bertemu dengan milik Xavier yang penuh hasrat, dan… sesuatu yang bahkan Hazel tak sanggup jelaskan.
Dalam kepanikan yang berusaha ia sembunyikan, Hazel hanya bisa berkata dalam hati.
Ya Tuhan… apa yang baru saja kulakukan?
Belum sempat Hazel mengatur ulang detak jantungnya yang masih berdebar akibat ciuman gila barusan, tiba-tiba jemari kuat Xavier mencengkram rahangnya. Tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Hazel menengadah, menatap tepat ke arah mata pria itu yang menyala dengan kesenangan mencurigakan.
“Percobaan yang bagus untuk memulai menggoda pria sepertiku, Nona,” ucap Xavier pelan, sementara senyum sinisnya merayapi wajahnya.
Hazel menelan ludah, nyaris tersedak dengan dirinya sendiri. Jarak mereka terlalu dekat. Nafas Xavier terasa menyapu pipinya, terlalu hangat dan berbahaya.
“Aku tidak menggodamu,” dalihnya, karena memang niatnya untuk mengalihkan perhatian Xavier yang mengejar Jacob dengan Luna.
Pria itu tertawa pelan, nyaris seperti desahan yang menggoda. “Oh, benarkah? Karena dari caraku menciummu tadi… rasanya seperti kau ingin sekali tahu seperti apa rasanya ranjangku.”
Hazel membelalak. Kata-kata pria itu menghantam kesadarannya seperti tamparan panas di tengah dinginnya udara laut malam itu. Tanpa pikir panjang, ia mendorong dada Xavier sekuat tenaga hingga genggaman di rahangnya terlepas.
“Brengsek!” hardiknya. “Tak pernah sekalipun aku berpikir untuk menggoda pria menjijikkan sepertimu, apalagi naik ke ranjangmu!”
Alih-alih tersinggung, Xavier hanya menaikkan kedua alisnya. Tatapannya tampak menjelaskan ia tertarik dengan ketegasan Hazel. Ia suka gadis pemberontak daripada gadis yang hanya patuh menerima tekanan, dan ia mendapatkan gadis pemberontak itu, dia ... ada di depannya.
Saat Hazel memutar tubuh dan bersiap pergi, Xavier kembali bertindak cepat, meraih lengannya dan menariknya kembali ke hadapannya.
“Pergi kemana, hah?” bisiknya dingin namun intens.
Hazel menepis tangannya dengan kasar, penuh amarah dan jijik. Tatapan matanya tajam bagai pisau yang siap menusuk.
“Lepaskan aku. Anggap saja tadi itu kesalahan fatalku. Jadi kau tidak perlu bermimpi lebih jauh.” Ia berkata dengan suara tajam, sekeras tekadnya untuk tidak membiarkan Xavier menumbuhkan satupun benih ego di dalam hatinya.
Hazel pun kembali melangkah pergi, kali ini dengan cepat dan pasti, meninggalkan Xavier di belakang. Kali ini pria itu tidak menghentikannya dan membiarkan Hazel pergi.
Xavier hanya berdiri disana, menyeringai. Tatapannya mengikuti Hazel, sebelum perempuan itu benar-benar menghilang di pembelokan koridor, Xavier berkata dengan kalimat yang membuat amarah dalam diri Hazel semakin panas.
“Kalau suatu saat kau ingin tahu seperti apa rasanya ranjangku, kau tahu harus kemana, Nona.”
Hazel tak menoleh. Tak membalas. Tapi langkahnya makin cepat, makin tajam, nyaris seperti pelarian. Ia tahu jika ia berbalik, ia akan melakukan sesuatu yang lebih gila.
Sementara itu, Xavier berdiri di tempatnya, mata menyipit penuh kepuasan.
“Liar, keras kepala, dan menarik.” batinnya. “Lihat saja, aku pasti akan menaklukkan kucing liar ini.”
Ternyata ruang bawah tanah yang Xavier tunjukkan pada Hazel bukan hanya sekedar bunker gelap tak terurus, melainkan labirin tersembunyi yang mengarah jauh lebih dalam. Sebuah lorong panjang bercabang membawanya menuju ujung yang tak terduga, berakhir di sebuah celah rahasia yang langsung menghadap ke laut terbuka.Di mulut lorong itu, tanaman liar menjalar liar dan lebat, membentuk tirai alami yang menyamarkan keberadaannya. Hazel memandangi pemandangan itu dengan takjub, di balik semak liar dan reruntuhan batu, terdapat keindahan alam yang tak tersentuh dan menenangkan.“Jadi... saat semua kekacauan itu terjadi, kau dan ibumu sempat bersembunyi di sini?” tanya Hazel saat mereka kembali ke ruang utama bawah tanah.Xavier yang tengah membongkar isi peti kayu tua menoleh sekilas. Cahaya remang memantul di wajahnya, menciptakan bayangan tegas di rahangnya yang kaku.“Kami bersembunyi di sini saat semuanya mulai hancur. Aku masih remaja waktu itu. Setelah ibuku meninggal, aku kabur... ke
Pagi itu, udara Italia menyambut dengan kehangatan yang menenangkan. Laut berkilau, mentari memeluk pelan kulit bumi yang masih lembab sisa embun malam. Hazel membuka jendela kamarnya yang semalam tidak ia tutup dengan gorden, dengan penuh perasaan ia menghirup dalam-dalam udara laut yang segar.Hari ini, ia telah merencanakan liburan kecil untuk dirinya sendiri. Sebuah yacht pribadi, laut tenang, dan waktu untuk menikmati segalanya... sendirian. Ya, hanya dirinya dan lautan. Tak ada gangguan. Tak ada keributan. Tak ada...dia.Dengan semangat, Hazel melangkah menuju dermaga, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, senyum menggantung tipis di wajah. Ia sudah menyewa sebuah yacht untuk menikmati udara tenang dan hangat ini tanpa gangguan, ya begitulah rencana awalnya, sampai kekecewaan yang akhirnya Hazel dapatkan.Senyum itu langsung pudar begitu ia melihat sosok menyebalkan itu berdiri santai di atas dek yacht, tangan bersandar pada pagar kapal, dan tentu saja senyum angkuh menghi
Hazel akhirnya tiba kembali di penginapan, tanpa gangguan dari Xavier, tanpa suara langkah yang mengintai, hanya kesunyian malam yang menggantung di udara. Ia menutup pintu kamarnya perlahan, seolah takut suara berderit bisa memicu masalah lain.Dengan langkah lesu, ia menjatuhkan diri ke atas ranjang. Punggungnya menyentuh kasur dingin, dan sebuah helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka menatap langit-langit yang tak menawarkan jawaban apa pun."Ini benar-benar di luar nalar," batinnya. "Aku pergi jauh-jauh ke Italia demi menjauh dari Xavier, untuk menikmati hidup santai meski sejenak. Tapi ternyata aku justru datang ke tempat asalnya, seolah semesta sedang mempermainkanku."Hazel menggigit bibir bawahnya, perasaan frustasi dan lelah bergumul di dadanya. "Setiap kali aku berada di tempat yang sama dengannya... selalu ada yang tidak beres. Selalu ada yang berbahaya. Dan aku lelah."Ia hendak kembali memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapu
Angin malam Italia berhembus lembut, membawa aroma sungai Arno yang mengalir tenang di bawah cahaya bulan. Hazel berdiri di balkon kecil hotel tempatnya menginap, membiarkan semilir udara segar menyapu rambut dan wajahnya yang masih menyimpan sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang.Matanya mengamati panorama kota Firenze yang menyala hangat oleh lampu jalan dan sinar dari jendela toko-toko tua. Di kejauhan, kubah-kubah bangunan klasik berdiri megah, seolah menyambutnya ke dalam kisah lain yang akan segera dimulai.Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Hazel merasa sedikit bebas. Tidak ada bayangan yang membuntuti, tidak ada suara langkah tergesa di belakangnya, dan tidak ada darah. Hanya ketenangan... setidaknya begitu yang ia harapkan.Ia mengenakan mantel tipis, lalu melangkah keluar dari hotel. Tujuannya sederhana, mencari makan malam dan menikmati malam di negeri asing ini. Langkahnya menyusuri jalanan berbatu khas kota tua, hingga matanya menangkap sebuah restoran k
Hazel tidak pulang ke apartemennya malam itu. Setelah kejadian gila yang datang tak diundang, ia memilih mengikuti Nico ke apartemen pria itu. Begitu pintu tertutup rapat di belakang mereka, Hazel menjatuhkan tubuhnya ke sofa, lelah, dingin, dan penuh kekacauan. Nafasnya masih belum stabil, dan rambutnya berantakan menempel di wajah yang pucat.Nico berdiri sejenak di dekat pintu, memeriksa ulang kuncinya sebelum matanya menatap Hazel yang tampak jauh dari biasanya. Penuh luka kecil, tanpa sepatu, dan terbalut gaun pesta yang kini tampak seperti sisa dari medan perang.“Bagaimana kau bisa ada di tempat itu?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan. “Beberapa menit sebelumnya, bukankah kau masih di pesta?”Hazel hanya menoleh sambil menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tatapannya kosong. “Setelah kau meneleponku tadi… aku keluar, dan semuanya berantakan dalam hitungan menit.”Nico melangkah lebih dekat, kali ini nada
Gaun biru laut membalut tubuh Hazel dengan anggun, mengalir lembut mengikuti langkah kakinya yang mantap memasuki ballroom megah yang dipenuhi cahaya keemasan. Di wajahnya, topeng hitam elegan menyembunyikan identitasnya, menyatu sempurna dengan atmosfer pesta topeng yang memancarkan kesan eksklusif dan rahasia. Namun Hazel tidak datang sendiri, secara kebetulan, ia bertemu Nico di perjalanan, dan tanpa banyak bicara, menyeret lelaki itu bersamanya.Nico yang berjalan di sampingnya tampak tak nyaman, bibirnya menekan kesal. “Apa kau sudah gila?” gumamnya pelan namun tajam.Hazel menyeringai santai. “Kau juga tidak sibuk, kan? Apa salahnya kalau kau menemaniku datang ke pesta?”“Kita tidak sedekat itu. Hanya karena Luna menikah dengan kakakmu, sekarang kau malah memanfaatkan diriku,” sahut Nico ketus.Hazel hanya terkekeh ringan, tak menanggapi lebih jauh. Ia tahu Nico tidak akan pernah bisa benar-benar menolaknya jika ia sudah memaksa. Tapi demi menjaga mood pesta tetap nyaman, ia memb