Share

Bab 121

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-09-16 20:53:38

Pintu kamar Wirya tiba-tiba terbuka lagi sebelum dia sempat memproses pertemuan dengan Adiwidya. Kali ini, yang muncul adalah sosok yang sangat berbeda.

Seorang wanita muda dengan gaun sutra berwarna lavender yang sederhana namun elegan. Rambutnya yang hitam legam terurai panjang hingga pinggang, dan matanya—besar, berwarna coklat madu—langsung menemukan Wirya.

“Wirya!” serunya, suaranya seperti lonceng yang gemerincing.

Sebelum Wirya sempat bereaksi atau bahkan membungkuk, Putri Dewi Kirani sudah berlari dan merangkulnya erat-erat. Tubuhnya yang ramping dan wangi seperti bunga melati menyergap Wirya, wajahnya terkubur di bahunya.

“Akhirnya kau kembali,” bisiknya, suara bergetar antara lega dan emosi. “Aku begitu khawatir... Ketika mereka bilang kau diculik, aku...”

Wirya berdiri kaku, tangan setengah terangkat, tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak menyangka sambutan yang begitu... intim dari putri yang seharusnya dia layani dalam ritual aneh kerajaan ini.

“Dewi Kirani, aku—“ Wirya
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 150

    “AAAKHHHH!”Teriakan Luna yang memekakkan memecah kesunyian pagi. Wirya terkejut bangun, kepalanya masih pusing. Dia melihat Luna berdiri di tengah pos, wajahnya pucat pasi, menunjuk ke arah empat prajurit yang terbaring tak bergerak.“Tuan... mereka tidak bernapas!” teriak Luna, suaranya gemetar.Wirya segera bangun dan mendekat. Benar, keempat prajurit itu sudah tak bernyawa. Kulit mereka membiru, dan wajah mereka membeku dalam ekspresi yang tenang, seolah mati dalam tidur.“Apa yang terjadi, Luna?” tanya Wirya, suaranya tegang. “Apa kau melakukan sesuatu pada mereka, Luna?”Luna menggeleng cepat, matanya dipenuhi ketakutan. “Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan! Saya baru saja masuk dan melihat mereka seperti ini!”Wirya segera memeriksa tubuh para prajurit. Di setiap leher mereka, dia menemukan duri kecil berwarna hitam yang hampir tak terlihat, menancap tepat di pembuluh darah utama.“Ada duri di leher mereka,” gumam Wirya sambil mencabut satu duri untuk diperiksa.Dia teringat kej

  • Tawanan yang Menawan   Bab 149

    “Kita akan berhenti di pos penjagaan tua di depan,” ucap Wirya, menunjuk ke arah bangunan kayu sederhana yang terlihat di kejauhan. “Kita bermalam dan isi perbekalan air.”Sesampainya di pos penjagaan, para prajurit mulai melepas beban mereka. Bangunan kayu yang sudah lapuk itu masih memiliki atap yang cukup untuk melindungi mereka. Beberapa prajurit langsung duduk di lantai kayu, yang lain mengambil air dari sungai kecil di dekat sana. Suasana sore yang tenang kontras dengan ketegangan yang mereka rasakan.Luna mendekati Wirya yang sedang berdiri di ambang pintu pos, memandangi matahari yang mulai berwarna jingga. “Pemandangan yang indah untuk situasi yang berbahaya,” ujarnya dengan suara lembut.Wirya mengangguk, matanya masih tertambat di cakrawala. “Keindahan sering kali menyembunyikan bahaya, Luna. Seperti malam ketika kita...”Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Luna mengerti. “Kadang yang kita anggap bahaya justru membawa keindahan tersendiri, Tuan.”Malam pun tiba deng

  • Tawanan yang Menawan   Bab 148

    Ketika melihat Wirya mendekat, Amita hanya memberikan anggukan singkat, seolah tidak ada yang terjadi antara mereka. “Kita akan membagi pasukan menjadi tiga tim. Wirya, kau akan memimpin tim penyusup.”Wirya mengamati cara Amita bersikap profesional, dan itu justru membuat hatinya semakin bimbang. “Baik. Di mana informasi terakhir tentang lokasi mereka?”“Di gua-gua perbatasan barat,” jawab Amita singkat sambil menunjuk peta. “Tapi hati-hati, daerah itu dipenuhi perangkap alam.”Saat mereka berdiskusi strategi, sesekali pandangan mereka tak sengaja bertemu, dan ada percikan yang hanya mereka berdua yang mengerti. Namun keduanya dengan cepat mengalihkan pandangan, kembali fokus pada misi yang jauh lebih penting.Pertemuan strategi pun berakhir. Para prajurit segera bubar untuk mempersiapkan perlengkapan mereka. Amita berbalik untuk pergi, namun Wirya dengan sigap menahan lengannya.“Amita, tunggu,” bisiknya, suaranya rendah agar tak terdengar yang lain.Amita berhenti, namun tidak men

  • Tawanan yang Menawan   Bab 147

    “Panglima... Saya... saya mohon maaf!” kata prajurit itu dengan suara gemetar, namun matanya tidak bisa berpaling dari Wirya.Amita segera menutupi tubuhnya dengan cepat, wajahnya memancarkan kemarahan. “Keluar!” hardiknya.Namun prajurit wanita itu tidak segera pergi. Sorot matanya justru penuh dengan rasa ingin tahu yang aneh, bahkan... kekaguman. “Saya... saya hanya ingin memastikan keamanan,” ujarnya, namun pandangannya tetap tertambak pada Wirya.Wirya sendiri merasa bingung dengan reaksi prajurit wanita itu. Cincin di tubuhnya masih terasa hangat, seolah memancarkan daya tarik misterius yang mempengaruhi siapa saja di sekitarnya.“Pergilah,” kata Wirya kali ini, suaranya tegas meski masih terdengar berat. “Ini bukan tempat untukmu.”Prajurit wanita itu akhirnya mengangguk patuh, tapi sebelum pergi, dia masih menyematkan satu pandangan terakhir yang penuh arti pada Wirya.Setelah mereka sendirian lagi, Amita menarik napas dalam. “Kita harus berhenti, Wirya. Aku takut... kalau ada

  • Tawanan yang Menawan   Bab 146

    “Apakah tidak masalah jika kita melakukan hal seperti ini?” bisiknya, suara parau terbata. Sorot matanya, biasanya begitu tajam dan penuh keyakinan, kini berbinar dengan kerentanan yang tak pernah Wirya sangka ada di dalam diri sang prajurit.Wirya menatapnya, melihat bagaimana sinar matahari menari-nari di wajah Amita, menerangi setiap keraguan dan keinginan yang berkecamuk di sana. “Di tengah semua kekacauan ini,” jawabnya, suaranya rendah namun tegas, “mungkin yang kita butuhkan hanyalah satu momen kejujuran, satu momen untuk menjadi diri sendiri, bukan apa yang diharapkan dari kita.”Dia memimpin tangan Amita untuk menyentuh cincin perak yang selalu melingkar di tongkatnya. “Aku sudah tak bisa menahan hasrat,” aku Wirya. “Karena benda ini seperti mendorongku untuk melampiaskannya.”Tanpa sepatah kata pun, Amita mendekatkan wajahnya. Memberikan sebuah kecupan yang lembut. Berbeda dengan ciuman liar yang diberikan Wirya sebelumnya.Wirya membeku sejenak, terkejut oleh kelembutan ya

  • Tawanan yang Menawan   Bab 145

    “Maaf, Amita. Aku tidak bermaksud...” Wirya mulai merasa tidak nyaman.“Jangan meminta maaf,” potong Amita, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan dirinya kembali. Wajahnya perlahan kembali ke ekspresi tegasnya, meski semburat merah di pipinya masih tersisa. “Ini... ini hanya bukti bahwa ilmu warisan Joko Loyo lebih kompleks dari yang kita kira. Kita harus memetakan titik-titik mana yang aman untuk digunakan dalam pertempuran.”Dia mengambil pedang kayunya lagi, tetapi kali ini menjaga jarak yang sedikit lebih jauh dari Wirya. “Coba titik lainnya. Tapi... mungkin yang lebih jelas efek lumpuhnya.”Wirya mengangguk, berusaha mengesampingkan rasa bingungnya. Dia mengangkat pedang kayu dan menyerang. Namun, Amita masih jauh lebih cepat dan terampil. Dengan gerakan-gerakan tangkas, dia menangkis setiap serangan Wirya tanpa kesulitan. Tak! Tak! Suara benturan pedang kayu menggema di taman yang sepi.“Konsentrasi, Wirya! Jangan ragu-ragu!” teriak Amita saat dia dengan mudah mengalir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status