Ketika melihat Wirya mendekat, Amita hanya memberikan anggukan singkat, seolah tidak ada yang terjadi antara mereka. “Kita akan membagi pasukan menjadi tiga tim. Wirya, kau akan memimpin tim penyusup.”Wirya mengamati cara Amita bersikap profesional, dan itu justru membuat hatinya semakin bimbang. “Baik. Di mana informasi terakhir tentang lokasi mereka?”“Di gua-gua perbatasan barat,” jawab Amita singkat sambil menunjuk peta. “Tapi hati-hati, daerah itu dipenuhi perangkap alam.”Saat mereka berdiskusi strategi, sesekali pandangan mereka tak sengaja bertemu, dan ada percikan yang hanya mereka berdua yang mengerti. Namun keduanya dengan cepat mengalihkan pandangan, kembali fokus pada misi yang jauh lebih penting.Pertemuan strategi pun berakhir. Para prajurit segera bubar untuk mempersiapkan perlengkapan mereka. Amita berbalik untuk pergi, namun Wirya dengan sigap menahan lengannya.“Amita, tunggu,” bisiknya, suaranya rendah agar tak terdengar yang lain.Amita berhenti, namun tidak men
“Panglima... Saya... saya mohon maaf!” kata prajurit itu dengan suara gemetar, namun matanya tidak bisa berpaling dari Wirya.Amita segera menutupi tubuhnya dengan cepat, wajahnya memancarkan kemarahan. “Keluar!” hardiknya.Namun prajurit wanita itu tidak segera pergi. Sorot matanya justru penuh dengan rasa ingin tahu yang aneh, bahkan... kekaguman. “Saya... saya hanya ingin memastikan keamanan,” ujarnya, namun pandangannya tetap tertambak pada Wirya.Wirya sendiri merasa bingung dengan reaksi prajurit wanita itu. Cincin di tubuhnya masih terasa hangat, seolah memancarkan daya tarik misterius yang mempengaruhi siapa saja di sekitarnya.“Pergilah,” kata Wirya kali ini, suaranya tegas meski masih terdengar berat. “Ini bukan tempat untukmu.”Prajurit wanita itu akhirnya mengangguk patuh, tapi sebelum pergi, dia masih menyematkan satu pandangan terakhir yang penuh arti pada Wirya.Setelah mereka sendirian lagi, Amita menarik napas dalam. “Kita harus berhenti, Wirya. Aku takut... kalau ada
“Apakah tidak masalah jika kita melakukan hal seperti ini?” bisiknya, suara parau terbata. Sorot matanya, biasanya begitu tajam dan penuh keyakinan, kini berbinar dengan kerentanan yang tak pernah Wirya sangka ada di dalam diri sang prajurit.Wirya menatapnya, melihat bagaimana sinar matahari menari-nari di wajah Amita, menerangi setiap keraguan dan keinginan yang berkecamuk di sana. “Di tengah semua kekacauan ini,” jawabnya, suaranya rendah namun tegas, “mungkin yang kita butuhkan hanyalah satu momen kejujuran, satu momen untuk menjadi diri sendiri, bukan apa yang diharapkan dari kita.”Dia memimpin tangan Amita untuk menyentuh cincin perak yang selalu melingkar di tongkatnya. “Aku sudah tak bisa menahan hasrat,” aku Wirya. “Karena benda ini seperti mendorongku untuk melampiaskannya.”Tanpa sepatah kata pun, Amita mendekatkan wajahnya. Memberikan sebuah kecupan yang lembut. Berbeda dengan ciuman liar yang diberikan Wirya sebelumnya.Wirya membeku sejenak, terkejut oleh kelembutan ya
“Maaf, Amita. Aku tidak bermaksud...” Wirya mulai merasa tidak nyaman.“Jangan meminta maaf,” potong Amita, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan dirinya kembali. Wajahnya perlahan kembali ke ekspresi tegasnya, meski semburat merah di pipinya masih tersisa. “Ini... ini hanya bukti bahwa ilmu warisan Joko Loyo lebih kompleks dari yang kita kira. Kita harus memetakan titik-titik mana yang aman untuk digunakan dalam pertempuran.”Dia mengambil pedang kayunya lagi, tetapi kali ini menjaga jarak yang sedikit lebih jauh dari Wirya. “Coba titik lainnya. Tapi... mungkin yang lebih jelas efek lumpuhnya.”Wirya mengangguk, berusaha mengesampingkan rasa bingungnya. Dia mengangkat pedang kayu dan menyerang. Namun, Amita masih jauh lebih cepat dan terampil. Dengan gerakan-gerakan tangkas, dia menangkis setiap serangan Wirya tanpa kesulitan. Tak! Tak! Suara benturan pedang kayu menggema di taman yang sepi.“Konsentrasi, Wirya! Jangan ragu-ragu!” teriak Amita saat dia dengan mudah mengalir
“Jangan memikirkan kekuatanmu!” teriak Amita, mengoreksi sikapnya. “Pikirkan akurasi!”Wirya mengangguk, berkeringat. Dia mengayunkan pedang kayu itu ke arah bahu boneka latihan. Sebuah tusukan pendek dan tepat ke area yang dia tahu adalah persendian utama.Thok.Suaranya biasa saja. Boneka itu hanya bergoyang. Kegagalan terpancar jelas di wajahnya.Amita menghela napas. “Coba lagi, Wirya. Konsentrasi!”Saat Wirya akan mencoba untuk kedua kalinya, Ambarani mendekat. Wajahnya penuh kebingungan, sama sekali tidak menunjukkan pemahaman tentang titik-titik tekanan.“Apakah ada masalah?” tanya Ambarani, matanya beralih antara Wirya yang gugup dan Amita yang tampak frustrasi. “Aku pikir ilmu warisan Joko Loyo itu... lebih dahsyat. Ini tampaknya seperti teknik dasar saja.”Wirya merasa makin tertekan. Ambarani benar-benar tidak tahu apa-apa. Dia mengira ilmu sakti Joko Loyo adalah semacam kesaktian yang langsung bisa melumpuhkan lawan.“Aku... aku masih berusaha menguasainya, Ambarani,” jaw
Ratu Arunya berdiri tegak, wajahnya yang sempat menunjukkan kepanikan kini berubah menjadi keteguhan yang membaja. “Amita benar. Ini adalah undangan untuk bertempur, dan kita akan datang—tapi dengan cara kita sendiri.”Dia menoleh ke Ambarani. “Kau yang paling mengenal cara berpikir Candra. Di mana dia mungkin membawa mereka?”Ambarani mengerutkan kening, mengingat-ingat. “Dia selalu menyukai tempat-tempat yang memiliki hubungan dengan sejarah. Tempat dimana Pasukan Bulan pertama kali dibentuk—di sekitar hutan ilusi.”"Hutan ilusi," gumam Wirya. "Itu tempat dimana Joko Loyo berada."Kesamaan itu membuat mereka semua merinding. Sepertinya segala sesuatu terhubung dengan cara yang tidak mereka sangka."Kita akan menyusun rencana," ucap Ratu Arunya, suara penuh wibawa. "Amita, kumpulkan pasukan terbaik kita. Ambarani, buat peta serangan. Wirya..." Dia memandang Wirya dengan keyakinan penuh. "Kau adalah kunci dalam pertempuran ini, Wirya.”Wirya, yang seumur hidupnya lebih familiar deng