Zoya tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.
Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai di alamat tujuan, hanya dua puluh menit sejak kendaraan itu mulai melaju. Zoya menurunkan barang-barangnya dan segera memasukkannya ke sebuah rumah kecil setelah menemui pemilik kontrakan.Kontrakan yang jauh lebih kecil dari rumah sebelumnya hanya memiliki dua kamar, satu ruang serbaguna dan sebuah dapur. Lingkungannya juga cukup bagus dan tidak terlalu jauh dari sekolah Elvio."Nggak ada ranjangnya," ucap Elvio pelan, berdiri di depan pintu salah satu kamar sebelum mengalihkan tatapnya pada sang ibu.Zoya mendekati putranya, seulas senyum terpatri ketika menyadari bahwa hanya ada sebuah tikar yang tergulung rapi di pojok ruangan."Malam ini kita tidur pakai tikar saja, ya? Mama akan keluarkan selimut dan jaket, jadi kita tidak akan kedinginan. Bagaimana menurutmu?""Ehm, oke, deh!"Zoya baru akan membuka salah satu koper ketika mendengar ketukan di pintu. Keningnya mengernyit heran."Mama akan lihat siapa yang datang," ucap Zoya sembari berdiri dan bergegas menuju pintu, berpikir kalau yang datang adalah pemilik kontrakan.Sayangnya, sosok yang dilihat Zoya begitu dia membuka pintu adalah orang lain. Wanita itu terpaku dengan wajah memucat melihat kehadiran Arvin di depan pintu. Bagaimana lelaki itu bisa langsung tahu tempat tinggal barunya?"Ada urusan apa ke sini? Kurasa tidak ada lagi yang harus kita bicarakan," tutur Zoya tajam, menatap tidak suka lelaki yang malah mendengus di depannya."Kupikir hidupmu lebih baik setelah bercerai," ucap Arvin seraya mendorong pelan tubuh mantan istrinya agar dirinya bisa masuk. Pemuda itu menatap ruangan kecil yang masih kosong tanpa barang apa pun. Keningnya berkerut dalam ketika melangkah menuju sebuah ruangan dan melihat seorang anak tengah kesulitan menggelar tikar.Elvio yang menyadari kehadiran orang lain langsung menoleh. Matanya mengerjap kaget dengan kehadiran ayah kandungnya."Setidaknya kalau kamu tidak mau berurusan denganku lagi, hiduplah dengan benar!" Arvin berbalik setelah menutup pintu ruangan di mana putranya berada, mendekat pada wanita yang sedang menatapnya dengan aura membunuh."Hidupku sangat benar, Tuan Kalandra. Tidak ada yang salah dengan kehidupan kami!""Tinggal di kandang ayam seperti ini yang kamu bilang benar?!" Arvin berbisik tajam setelah memojokkan Zoya ke tembok, tangannya merengkuh pinggang wanita yang masih menatapnya penuh permusuhan.Zoya mendongak, tidak mengalihkan tatapannya dari netra sekelam arang milik Arvin."Tempat yang kamu sebut kandang ayam ini seribu kali lebih baik dari pada rumahmu," bisik Zoya dengan gigi bergemeletak, menahan emosi yang sudah di ubun-ubun. "Kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk--!"Zoya menahan napas ketika pria yang tengah merengkuhnya menjatuhkan kepala di bahunya. Napasnya tercekat ketika merasakan embusan napas Arvin di lehernya."Love ....""Lepaskan aku!" Zoya mencoba mendorong tubuh besar Arvin, sedikit takut dengan reaksi tubuhnya sendiri saat mendengar lelaki itu membisikkan nama panggilannya.Hanya ada tiga orang yang Zoya perbolehkan memanggilnya dengan sebutan Love dan Arvin tidak termasuk di dalamnya. Dari mana pria itu tahu tentang nama kecilnya?!"Berhenti bermain-main dan lepaskan aku! Aku sudah menuruti keinginanmu dengan pergi sejauh mungkin, aku juga tidak menyusahkanmu lagi, jadi kumohon--!"Tubuh Zoya menegang tatkala merasakan bibir Arvin di leher jenjangnya. Embusan napas dan lidah yang mulai menginvasi titik sensitifnya membuat Zoya menggigit bibir, masih berusaha memberontak tanpa hasil. Jelas, pria ini gila!"Lepaskan aku ... kumohon ...," pinta Zoya dengan suara tercekat. Wanita itu menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya dengan susah payah.Arvin memberikan gigitan kecil hingga terdengar lenguhan wanita di pelukannya, sebelum mengangkat kepala dan menatap netra coklat jernih yang tampak akan menangis."Aku tidak ingat pernah menyentuhmu, jadi bagaimana anak itu bisa hadir di perutmu? Keluarga Aldara melakukan sesuatu padamu?"Pertanyaan yang dilayangkan Arvin membuat Zoya semakin gemetar. Ia memang sudah menyangka Arvin tidak mengingat apa pun, tapi mendengarnya langsung dari mulut pria itu membuat Zoya kembali terluka."Bagus kalau kamu tidak ingat karena dia memang bukan anakmu! Kamu hanya menyumbang sedikit DNA untuknya, tidak lebih!" Zoya kembali mendorong tubuh Arvin, tatapannya menajam seiring dengan hatinya yang kembali teguh."Kamu benar," ucap Arvin pelan, satu alisnya terangkat. "Tapi, dia tidak akan pernah ada di dunia ini kalau bukan karenaku. Sebaiknya kamu pikirkan tawaran yang akan kuberikan."Zoya menelan ludah, tatapannya sedikit goyah melihat keseriusan di wajah Arvin. Dia tahu Arvin akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan menghancurkan kebahagiaannya dan Elvio saat ini."Menikahlah denganku lagi, Love."Zoya memang sempat berpikir jika mantan suaminya gila, tapi perkataan lelaki itu yang seenak jidat menawarkan pernikahan membuatnya menyadari jika Arvin harus pergi ke rumah sakit jiwa."Aku tidak sudi!" ujar Zoya sembari mendorong Arvin menjauh, tatapannya menajam ketika pria di hadapannya malah terkekeh."Kenapa? Kamu bisa mendapatkan apa pun jika menikah denganku. Kurasa hubungan ranjang kita juga tidak akan buruk," ucap Arvin pelan, menatap intens wanita yang tengah melototinya."Pergi dari rumahku sekarang jika tidak ada yang ingin Anda bicarakan, Tuan Kalandra. Jangan membuat keributan," ucap Zoya tajam, matanya menantang tanpa rasa takut.Arvin berdecak malas. "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Tapi, aku akan kembali untuk menagih jawabannya. Pastikan kamu memberikan jawaban yang memuaskan, Zoya.""Jawabanku tidak akan pernah berubah! Aku tidak sudi menginjakkan kaki di rumahmu lagi!" ujar Zoya penuh emosi, napasnya tidak beraturan seiring dengan dadanya yang naik turun.Pria di hadapan Zoya hanya menaikkan satu alis sebelum berbalik, tatapannya bertemu dengan netra jernih Elvio yang juga melototinya, menyeringai ketika menyadari jika anak itu benar-benar kopian dirinya."Kita akan bertemu lagi cepat atau lambat," ucap Arvin sesaat sebelum membuka pintu, keluar dari kontrakan sang mantan istri.Zoya yang baru menyadari keberadaan putranya langsung mengubah ekspresi wajahnya dan tersenyum lembut. "Maaf, apa kamu menunggu lama?" tanyanya sembari meraih tangan kecil Elvio, menuntunnya untuk kembali ke kamar."Pintunya, Ma!" peringat Elvio saat sang ibu tampak linglung meski sudah memaksakan sebuah senyum."Ah ... ya, pintunya lupa dikunci!" Zoya terkekeh pelan, mendekat pada pintu dan segera menguncinya. Perasaannya berkecamuk saat mencium aroma maskulin milik Arvin yang tertinggal.Zoya menggigit bibir, menahan air matanya yang siap tumpah kapan saja.'Kenapa kamu harus datang lagi, Arvin?!'Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it