Lira menyunggingkan senyuman di sela-sela air mata yang berjatuhan. Aku menghela napas dan ikut tersenyum sebagai kekuatan untuknya."Pergilah, Sayang, aku izinkan. Doakan suamimu ini menemukan titik terang masalah ini," ucapku sambil menghapus air matanya. Jari jemari ini berada di pipi kanan dan kirinya."Aku doakan selalu untukmu, Mas. Mungkin ini salah satu bumbu dari rumah tangga kita yang selama ini adem, semoga setelah dihujani masalah akan muncul pelangi yang indah," ungkap Lira membuatku terenyuh. Seorang guru TK, buruh cuci, dan guru ngaji selama delapan bulan, ternyata begitu sejuk kata-katanya, ia sangat dewasa menyikapi ini semua.Aku terharu memiliki seorang istri yang begitu ikhlas, ia sangat kuat menghadapi ini semua seorang diri, tanpa aku yang seharusnya sebagai penanggung jawab.Lira mengulurkan tangannya, ia meminta tangan ibu dan mengecupnya tanpa dendam. Ia tidak marah pada ibu, justru masih berusaha hormat padanya.Kemudian, Mas Gani membawa istri dan anakku. Se
"Ada apa? Tentang uang yang ditransfer? Sore ini Marni ke sini bersama Sekar mau jelasin katanya, udah kamu tunggu mereka datang. Sekar lagi hamil tua loh rela datang ke sini," timpal ibu malah membuat aku berdecak kesal."Bu, Ibu sudah cerita ke Bulek Marni?" tanyaku heran. Kenapa sih tiap ada masalah keluarga, selalu saja ibuku cerita pada adiknya. Padahal orang yang kita percayai belum tentu amanah. Lagi pula ini masalah keluarga, meskipun ia adiknya seharusnya ibu nggak perlu bercerita sampai detail."Ibu kan ceritanya ke dia, kami sudah nggak punya orang tua, jadi harus saling berbagi, melengkapi, saling bertukar pikiran kalau ada masalah. Kalau kamu kan anak tunggal, jadi kalau bisa ya yang akur dengan Sekar dan Soleh, Dit," seru ibuku.Aku hanya tersenyum pasrah, tidak lagi bicara dengannya masalah tuduhanku terhadap Sekar. Sebab, ini pasti percuma, ditambah lagi Bulek Marni mau datang ke kota hanya untuk menjelaskan. Pasti ibu merasa adiknya ini adalah orang baik."Memang yang
Lira minta uang cash? Aku rasa Bulek Marni hanya membual supaya ibu percaya, tapi aku harus bagaimana meyakinkan ibu?"Lira nggak mungkin minta uang itu lagi, tunai pula," sahutku padanya.Mata Sekar mendadak basah. Suara sesegukan terdengar dari mulutnya. Kemudian, ibuku menghampiri Sekar."Dit, lihat tuh, kamu menyakiti sepupumu yang tengah hamil," celetuk ibuku."Nyakitin apa, Bu? Aku hanya nggak percaya istriku minta uang itu, melalui Sekar pula," cetusku sambil menyorot wajah Sekar. Namun, ia menunduk sambil mengeluarkan air mata, lalu memeluk ibuku."Bude, aku merasa Mas Adit ini tengah menuduhku, bagaimana perasaan Bude jika dituduh?" Sekar menghela napas sambil menyingkirkan air matanya."Dit, kamu minta maaf sama Sekar ya, sudahlah Dit, kita sudahi masalah ini, Bulekmu telah mengakui bahwa dia transfer Sekar, tapi kan uangnya dikasih ke Lira. Ibu pun sudah mendapatkan gantinya ya kan?" Ibu memberikan solusi terakhir yaitu melupakan masalah ini.Namun, masalah ini sudah terlan
"Ada apa, Bu?" tanya Lira juga. Meskipun sudah disakiti, ia tetap menghormati ibuku."Barusan tetangga di kampung telepon, katanya kemarin ada yang lihat-lihat rumah peninggalan Bapak, dan bilang rumah Ibu mau dijual Marni," terang ibu membuat Mas Gani sontak bertepuk tangan."Sekarang sudah jelas, kan? Bulek Marni itu yang menjadi biang kerok," cetus Mas Gani.Ibu menggelengkan kepalanya seraya tidak percaya."Ibu nggak percaya, ini pasti fitnah, ada yang tidak suka dengan Ibu dan Marni yang selalu akur dan saling percaya," jawab ibu."Bu, Lira juga tidak pernah kirim pesan ke Ibu, percayalah, yang kirim pesan pasti Sekar, uang yang dibilang Sekar diberikan secara tunai pun tak pernah aku terima, aku berani sumpah, Bu," lirih Lira kembali membicarakan tentang uang kiriman saat bapak terpeleset."Sudahlah, Lira, kan Ibu ke sini mau minta maaf, jangan bahas soal uang itu lagi ya, semua kita anggap selesai," pinta ibuku.Meskipun masih janggal di dada, tapi aku pun sudah enggan membahas
"Bu, aku punya firasat nggak enak, tolong hubungi Bulek ya," suruhku.Ibu terdiam sejenak. Lalu melihat ke arah layar ponselnya."Ibu telepon, kalau diangkat itu artinya Bulek nggak ada niat jahat ya," usul ibu.Aku hanya mengangguk. Sebab, kalau langsung menuduh juga terkesan prasangka buruk pada adiknya ibu.Kemudian, ibu menghubungi Bulek Marni, dan masih diangkat olehnya. Ibuku hanya berpesan untuk menghubunginya kalau sudah tiba di kampung, sebagai alasan kenapa baru saja ditinggalkan sudah menelepon.Setelah ibu mematikan ponselnya. Ia berdecak kesal padaku dan Lira. "Heran sama kalian, kenapa curigaan terus sih?" Ibu merengut sambil masuk ke dalam kamarnya.Kemudian Lira memandangku dengan senyuman. "Prasangka buruk itu memang hasutan setan, Mas, kalau belum ada bukti, lebih baik diam," ucap Lira seraya menasihati.Ia menuntunku ke kamar, khawatir Andara sudah bangun dari tidurnya. Namun, anak kami masih tertidur pulas di atas ranjang.***Matahari sudah terbenam. Seperti biasa
Kemudian, suara ibu sudah tidak lagi terdengar setelah ada yang mengetuk pintu kamarnya. Kemungkinan Lira yang mengetuknya.Aku menutup laptop. Itu artinya istriku masih terancam jika satu atap dengan ibu. "Astaga, kenapa Ibu jadi seperti ini?" Aku menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan.Kemudian, aku berusaha tenang. Lalu kembali membuka laptop untuk mengecek cctv. Ibu dan Lira tampak bersenda gurau di dapur, mereka masak bersama, aku cari di mana lokasi Andara tidur, ia tertidur di ranjang kamar dengan dihalangi bantal.Aku menutup laptop kembali, kemudian bersiap-siap untuk meeting ke luar kantor. Itu artinya cemas akan selalu hadir. 'Sebaiknya aku telepon Mas Gani aja untuk bantu memantau isi rumah, kegiatan Lira dan ibuku saat tidak ada orang,' batinku memiliki ide.Aku ambil ponsel lalu menghubungi Mas Gani."Halo, Mas, sibuk nggak?" "Nggak, ada apa?" Mas Gani masih terdengar ketus saat menjawab panggilan masuk dariku.Aku menghela napas sambil berpikir bagaimana ca
[Hari ini aman.] Sontak mulut ini mengucapkan kalimat syukur. Aku menurunkan bahu ini seraya tenang. Pesannya hanya memberikan informasi. Bisa-bisanya aku jadi semakin parno sendiri. Padahal istriku di rumah bersama ibu kandungku. Hal yang pernah kuduga sebelum menikah akhirnya terjadi, perseteruan antara istri dan ibuku. ***Sepulangnya dari kantor, aku bertanya pada Lira juga, dan membuka cctv kembali dari pagi hingga sore hari. Tidak ada yang mencurigakan untuk hari pertama, hanya obrolan sensitif yang kudengar ibu bicara dengan Bulek Marni."Aku seneng, Mas, Ibu berubah, semoga seperti ini terus," ucap Lira dengan lekukan senyum di bibirnya.Andara yang berdiri di pangkuan Lira pun jingkrak-jingkrak seraya sangat bahagia."Aku ikut seneng, tapi Ibu masih bahas soal uang nggak? Atau nyuruh kamu bekerja gitu?" tanyaku padanya."Nggak sih, Mas. Kalau iya, pasti aku akan laporan padamu, Mas, kejadian kemarin membuatku tersadar bahwa kita tidak boleh saling merahasiakan," timpal Lira
"Kita ketemuan aja, sore ini pulang kerja aku ke rumah, biar kutanyakan langsung pada ibumu maunya sebenarnya apa," ucap Mas Gani. Kemudian, ia putus sambungan teleponnya padahal aku belum sempat menyetujui.Aku meletakkan ponsel di atas meja kerja. Beruntung hari ini tidak ada kerjaan yang menumpuk, aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Yang bersemayam di kepala hanya Lira dan ibu.Kemudian, aku bersandar sejenak, berpikir jernih dengan tindakan yang harus aku lakukan."Aku memang harus tegas pada Ibu, jangan sampai keluarga Lira jadi meragukan cintaku pada anaknya," ucapku bicara sendirian.Rasanya ini hal terberat untuk seorang laki-laki. Diantaranya karena pilihan yang sulit ini. "Pertama, aku harus benar-benar berikan Bulek peringatan, supaya tidak menghasut ibuku lagi, ya sebaiknya aku hubungi Bulek sekarang," gumamku bicara sendirian.Tangan ini dengan cepat meraih ponsel yang sudah terkunci layarnya. Kemudian mencari kontak Bulek Marni. Hanya menunggu beberapa kali panggilan