Mag-log inSejak malam makan bersama di rumah, Ardi tidak bisa lagi berpura-pura. Bayangan Rani terus muncul dalam pikirannya—senyumnya, tatapannya yang samar tapi penuh arti, bahkan nada suaranya yang seakan berbisik hanya untuknya.
Hari Senin, kantor kembali sibuk dengan rutinitas. Ardi berusaha mengubur rasa gelisah itu dengan tenggelam dalam laporan dan presentasi. Namun, setiap kali ia berjalan melewati meja Rani, jantungnya kembali berdetak tak beraturan. “Pak Ardi, eh… Ardi,” suara Rani memanggilnya siang itu, membuatnya berhenti. “Aku sudah revisi draft yang kemarin. Bisa dicek sekarang?” Ardi menunduk, menerima berkas. “Ya, taruh di ruanganku saja. Nanti aku lihat.” Namun, tatapan mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu di balik mata Rani—sebuah pesan yang tak diucapkan. Ardi buru-buru memalingkan wajah, melangkah cepat ke ruangannya. *** Menjelang sore, kantor mulai sepi. Beberapa staf sudah pulang, menyisakan hanya segelintir orang. Ardi masih di ruangannya, memeriksa laporan, ketika terdengar ketukan pelan di pintu. “Masuk,” ucapnya tanpa menoleh. Rani muncul, membawa laptop. “Aku nggak yakin dengan desain kampanye ini. Bisa kita lihat bareng?” Ardi menghela napas. Ia tahu, seharusnya menunda. Tapi ia mengangguk. “Baik, duduklah.” Rani duduk di kursi seberang meja, membuka laptop. Mereka membahas desain dengan serius, awalnya. Rani menunjukkan ide-ide baru, sementara Ardi memberi masukan. Namun, jarak meja yang memisahkan mereka terasa semakin tidak berarti. Saat Rani mencondongkan tubuhnya, memperlihatkan detail layar, bahunya hampir menyentuh milik Ardi. Suasana hening sesaat, hanya suara kipas laptop yang terdengar. Ardi menelan ludah, mencoba fokus pada layar. “Desainnya… cukup bagus. Tapi coba ubah font judul, biar lebih tegas.” Rani mengangguk, jarinya mengetik cepat. Lalu ia berhenti, menatap Ardi. “Ardi… aku boleh jujur?” Ardi mengangkat wajah, hati-hati. “Tentu. Ada apa?” Tatapan Rani tajam, tapi juga rapuh. “Sejak aku masuk sini… aku merasa aneh. Bukan cuma soal kerja. Tapi… soal kamu.” Jantung Ardi berdegup keras. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa itu hanya perasaan sepihak. Tapi kenyataannya, ia juga merasakan hal yang sama. Ia menarik napas dalam. “Rani, kita harus hati-hati. Kamu tahu siapa kamu di hidupku, kan? Kamu sahabat istriku. Dan sekarang… kamu bawahanku.” Rani menunduk, senyumnya pahit. “Aku tahu. Justru itu yang bikin aku bingung. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak merasakan apa-apa.” Keheningan kembali mengisi ruangan. Ardi menatapnya lama, lalu berdiri. Ia berjalan ke jendela, menatap langit senja yang memerah di luar. “Aku juga merasakannya, Ran. Tapi kita nggak boleh…” Suara Rani memotong lirih, nyaris seperti bisikan. “Kadang hati nggak kenal kata boleh atau nggak, Ardi.” Ardi menutup mata. Kata-kata itu menusuk dalam. Ia tahu, mereka berada di tepi jurang yang sama. Satu langkah saja bisa mengubah segalanya. Saat ia menoleh kembali, Rani sudah berdiri. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tersenyum. “Aku pulang dulu. Besok kita lanjutkan desainnya.” Ardi menahan langkahnya, tapi akhirnya hanya mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Rani melangkah keluar, meninggalkan ruangan yang kini terasa kosong namun penuh gejolak. *** Malam itu, di rumah, Nisa bercerita panjang tentang rencana liburan singkat ke Bandung akhir bulan. Ia tampak bersemangat, matanya berbinar. “Mas, gimana kalau kita ajak Rani juga? Dia pasti seneng bisa jalan bareng. Sekalian aku bisa habisin waktu lebih lama sama dia,” ujar Nisa polos. Ardi tercekat. Ia hanya menjawab singkat, “Ya, nanti kita lihat.” Di balik senyumnya, hatinya semakin kacau. Ia tahu, semakin sering bersama, semakin sulit baginya menjaga jarak. *** Keesokan harinya, suasana kantor kembali padat. Namun, ada sesuatu yang berubah antara Ardi dan Rani. Tatapan mereka kini berbeda—lebih lama, lebih dalam, seakan membawa rahasia yang hanya mereka berdua tahu. Saat rapat selesai dan semua orang beranjak pergi, Rani menahan langkah Ardi. “Aku mau ngomong sebentar. Bisa di pantry?” Di ruang pantry yang sepi, hanya suara kulkas berdengung. Rani berdiri di dekat jendela, tangannya menggenggam gelas air. “Aku nggak tidur semalam,” katanya pelan. “Aku terus mikirin kata-kata kamu. Tentang ‘nggak boleh’. Tapi aku…” ia berhenti, menatap Ardi dengan mata yang bergetar. “Aku takut kehilangan perasaan ini kalau aku pura-pura nggak ada apa-apa.” Ardi mendekat, jaraknya hanya satu langkah. Ia bisa merasakan aroma parfumnya, bisa melihat kilau matanya yang penuh gejolak. Tangannya nyaris terangkat, ingin menyentuh, tapi ia menahan diri. “Rani… kita harus kuat,” ucapnya lirih. “Kalau kita jatuh, bukan cuma kita yang hancur. Nisa… dia akan terluka.” Rani menunduk, air mata hampir jatuh. “Aku tahu. Tapi kenapa rasanya… aku justru lebih hidup kalau dekat kamu?” Ardi terdiam. Kata-kata itu menusuk dalam, membangkitkan sesuatu yang selama ini ia kubur. Ia tahu, mereka sudah terlalu jauh untuk mundur, tapi belum cukup berani untuk melangkah lebih jauh. Akhirnya, ia hanya berkata pelan, “Mungkin… kita harus cari cara agar ini tetap rahasia. Setidaknya, sampai kita benar-benar tahu apa yang harus dilakukan.” Tatapan Rani menguat, meski masih basah. “Rahasia dalam tatapan, ya?” Ardi mengangguk, menahan gejolak yang hampir meledak. “Iya. Hanya tatapan. Untuk sekarang.” Namun, keduanya tahu, rahasia itu bisa kapan saja pecah.Langit pagi itu berwarna keemasan. Suara burung bercampur dengan aroma kopi dari dapur rumah Ardi. Meja makan dipenuhi map, daftar tamu, dan undangan yang sudah siap dibagikan.Nisa sibuk memeriksa vendor lewat telepon. “Halo, iya Mbak, tolong pastikan dekorasi di ruang tengah pakai nuansa putih gading, ya, bukan krem tua. Aku udah kirim referensinya kemarin sore.”Ardi hanya duduk di meja, menatap kosong ke arah jendela. Matanya lelah, pikirannya melayang entah ke mana.“Sayang, lo dengerin gue nggak?” tegur Nisa sambil menutup telepon.Ardi tersadar. “Hm? Iya, sorry. Gue lagi mikirin rundown aja.”Nisa mendesah kecil tapi tersenyum. “Tenang, semuanya udah gue handle. Lo tinggal fokus ke hari H. Aku pengen semuanya sempurna.”Ardi mengangguk, lalu berdiri untuk mengambil map yang tergeletak di atas lemari. Saat membuka laci bawah, tangannya tanpa sengaja menyenggol sesuatu—sebuah amplop usang berwarna cokelat muda, terselip di antara tumpukan buku catatan kuliah.Ia menatapnya lama.
Hari itu, aula kampus penuh oleh warna. Toga, bunga, tawa, dan kilatan kamera bercampur jadi satu. Musik wisuda mengalun lembut, menciptakan suasana yang hampir sempurna—nyaris seperti bab akhir dari perjuangan panjang.Rani berdiri di antara barisan wisudawan, tersenyum ke arah orang tuanya yang duduk di barisan tamu. Ia merasa lega. Semua kerja keras, begadang, dan tumpukan tugas akhirnya terbayar.Di sebelahnya, Nisa tidak berhenti berceloteh.“Ran, sumpah ya, toga ini bikin gue berasa kayak penyihir. Tinggal bawa tongkat, gue siap buka Hogwarts cabang Bekasi.”Rani tertawa kecil. “Yang ada lo ngelindes kucing, Nis.”“Eh, jangan jahat lo. Nih lihat Ardi, toga-nya aja rapi banget. Cowok kayak gitu mah susah dicari. Kalau bukan temen gue, udah gue rebut, sumpah.”Ardi yang berdiri beberapa langkah di depan mereka menoleh sambil tertawa. “Kalian berdua ribut mulu dari semester satu sampai sekarang, nggak berubah.”“Ya kalau nggak ada kita, wisuda ini kaku, Di!” sahut Nisa sambil menun
Hujan baru saja berhenti sore itu, meninggalkan udara dingin dan aroma tanah basah yang lembap di sekitar gedung pascasarjana. Mahasiswa-mahasiswa baru berdatangan, sebagian sibuk mencari kelas, sebagian lagi duduk di tangga sambil menyeruput kopi.Rani berjalan cepat sambil merapikan tote bag-nya. Ia baru saja pindah ke kota itu untuk melanjutkan studi S2 setelah dua tahun bekerja. Rasanya campur aduk—deg-degan, gugup, dan sedikit semangat.“Semester baru, hidup baru,” gumamnya sambil tersenyum kecil.Di dalam kelas, dosen baru sedang mempersilakan mahasiswa memperkenalkan diri satu per satu. Saat giliran Rani tiba, ia berdiri dengan tenang.“Halo, saya Rani Putri, latar belakang saya dari bidang manajemen proyek. Saya tertarik melanjutkan studi ini untuk mendalami strategi pengembangan bisnis berkelanjutan.”“Bagus sekali, Rani,” ujar dosen. “Silakan duduk.”Belum sempat ia menarik kursi, seseorang masuk ke ruangan.“Permisi, Pak. Maaf agak terlambat. Jalanan macet banget.”Rani men
Masa itu, dunia terasa lebih ringan. Rani dan Ardi sering bertemu di kampus, bukan karena janjian, tapi entah kenapa langkah mereka selalu saja bertemu di lorong, kantin, atau bahkan di halte tempat menunggu angkot. Semuanya terasa alami, seolah mereka memang ditakdirkan untuk sering berada di tempat yang sama.Hari itu, Rani sedang duduk di bangku taman kampus sambil mengetik sesuatu di laptop. Tiba-tiba bayangan seseorang menutupi layar.“Lah, ngerjain apa? Hack NASA?” suara Ardi terdengar dengan nada menggoda.Rani menoleh, memutar bola mata. “Iya, gue lagi coba nerbangin satelit sendiri. Lo mau ikut jadi astronot?”Ardi terkekeh, lalu duduk tanpa izin di sebelahnya. “Boleh sih, asal nanti di luar angkasa ada indomie goreng. Gue nggak bisa hidup tanpa itu.”“Yaelah, minta indomie di luar angkasa. Lo pikir warung burjo ada franchise di Mars?” balas Rani sambil menahan tawa.Mereka berdua terbahak, menarik perhatian beberapa mahasiswa lain yang lewat. Obrolan mereka selalu ringan, ta
Malam itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Detak jam dinding terdengar begitu jelas, sesekali suara kendaraan melintas di jalan depan rumah. Nisa duduk di sofa ruang tamu, ponselnya masih di tangan, tapi tatapannya kosong. Ia berpura-pura sibuk scrolling media sosial, padahal pikirannya melayang ke hal-hal yang sejak beberapa minggu terakhir mengganggu hatinya.Ardi keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan meneteskan air, hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek. Dengan handuk di bahunya, ia berjalan santai lalu menjatuhkan diri ke sofa di sebelah Nisa.“Kok bengong, Sayang?” tanya Ardi sambil menatapnya, senyum kecil tersungging di bibirnya.Nisa mengangkat wajah, lalu tersenyum tipis. “Enggak. Cuma lihat-lihat aja, banyak temen upload foto-foto zaman kuliah. Jadi nostalgia gitu.”“Oh, iya ya. Seru pasti kalau lihat foto lama.” Ardi meletakkan handuknya, kemudian bersandar. “Eh, besok aku lembur lagi ya. Project kantor belum kelar, deadline udah mepet banget.”
Hujan deras mengguyur kampus sore itu. Suasana yang biasanya ramai mendadak jadi seperti pasar malam yang bubar mendadak. Mahasiswa berlarian ke teras gedung, ada yang menutup kepala pakai buku, ada juga yang pasrah basah kuyup.Di depan gedung perpustakaan, Rani berdiri dengan wajah sebal. Rambutnya sudah agak lepek, jaket tipisnya jelas tak bisa menahan dingin.“Ya Allah, kayaknya hujan ini emang konspirasi semesta deh biar aku nggak jadi anak rajin,” gumamnya.Tiba-tiba dari samping terdengar suara khas yang bikin Rani langsung mendengus.“Kalau kamu butuh jasa payung berjalan, sini aku kebetulan masih single.”Rani menoleh, menemukan Ardi dengan payung hitam besar dan senyum usil.“Ardi…” Rani mendengus. “Kamu tuh ya, setiap muncul pasti kayak iklan YouTube, ngeselin tapi nggak bisa di-skip.”Ardi terkekeh. “Ih, berarti aku penting dong. Kan iklan itu sumber penghasilan.”Rani menatapnya sambil lipat tangan. “Penghasilan apaan? Penghasilan dosa gara-gara bikin orang kesel.”Ardi p







