Home / Romansa / Teman Istriku,Kekasihku / Api Yang Menyala Diam-diam

Share

Api Yang Menyala Diam-diam

Author: Nana
last update Last Updated: 2025-09-15 09:52:48

Hari-hari berikutnya, Ardi semakin sulit menyeimbangkan dirinya. Di satu sisi, ia masih suami Nisa, masih manajer yang harus menjaga wibawa di kantor. Tapi di sisi lain, Rani semakin sering menembus batas ruang pribadinya—bukan dengan tindakan terang-terangan, melainkan lewat hal-hal kecil yang justru membuat api itu menyala diam-diam.

***

Suatu siang, tim pemasaran sibuk menyiapkan presentasi untuk klien besar. Kantor riuh, semua orang berlari-lari menyiapkan materi. Ardi berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan pembagian tugas.

“Rani, kamu pegang bagian riset pasar. Pastikan datanya akurat.”

“Siap,” jawab Rani, matanya menatap Ardi lebih lama daripada seharusnya.

Tatapan itu singkat, tak ada yang menyadarinya selain mereka berdua. Namun, cukup untuk membuat jantung Ardi berdetak cepat.

Setelah rapat selesai, Ardi kembali ke ruangannya. Tak lama, pintu diketuk. Rani masuk, membawa map.

“Ini tambahan data yang mungkin berguna,” katanya sambil mendekat.

Saat ia menyerahkan map itu, jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh tangan Ardi. Hanya sepersekian detik, tapi percikan itu nyata. Ardi buru-buru menarik tangannya, pura-pura fokus membuka map.

“Terima kasih. Ini membantu,” ucapnya singkat.

Rani menatapnya, seakan ingin mengatakan sesuatu, lalu hanya tersenyum tipis sebelum berbalik.

Ardi menghela napas panjang begitu pintu tertutup. Ia tahu sentuhan kecil itu tak seharusnya berarti apa-apa, tapi tubuhnya justru mengingatnya terlalu jelas.

***

Malamnya, Ardi duduk di ruang kerja rumahnya. Laptop menyala, tapi pikirannya jauh. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan dari Rani masuk.

“Kamu udah makan malam?”

Ardi menatap layar lama sebelum membalas. “Udah. Kamu?”

Tak butuh lama, balasan datang. “Belum, lagi males masak. Kadang aku iri sama Nisa, punya kamu yang bisa jagain dia tiap hari.”

Ardi tercekat. Tangannya sempat berhenti di atas layar. Ia tahu pesan itu berbahaya, tapi hatinya melemah. “Nisa yang selalu jaga aku, Ran. Aku cuma beruntung.”

Balasan datang cepat. “Kalau aku bilang… aku juga ingin ada di posisi dia, gimana?”

Ardi menutup mata, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, seharusnya percakapan ini dihentikan.

Tapi jemarinya tetap menulis. “Ran, jangan bilang gitu.”

Namun Rani menjawab: “Aku cuma jujur. Aku nggak bisa pura-pura lagi.”

Ardi meletakkan ponsel, mencoba menjauh. Tapi beberapa menit kemudian, ia kembali menatap layar. Pesan itu masih ada, seolah menunggu jawabannya.

Akhirnya ia mengetik pelan. “Aku juga nggak bisa bohong kalau aku mikirin kamu.”

Pesan terkirim. Dan seketika, Ardi merasa melangkah lebih jauh ke dalam jurang.

***

Keesokan harinya, suasana di kantor terasa berbeda. Meski mereka tak banyak bicara, ada semacam rahasia yang hanya mereka tahu. Tatapan lebih lama, senyum tipis saat berselisih jalan, atau cara mereka berdiri sedikit terlalu dekat ketika membahas pekerjaan.

Di pantry, saat mereka berdua mengambil kopi, Rani berkata pelan tanpa menoleh, “Aku baca pesanmu tadi malam lebih dari sepuluh kali.”

Ardi terdiam, tangannya hampir gemetar saat menggenggam cangkir. Ia ingin berkata sesuatu, tapi langkah kaki rekan kerja lain masuk ke pantry, membuat percakapan terputus.

Mereka hanya saling melirik, lalu kembali ke meja masing-masing. Namun, dalam tatapan singkat itu, mereka berdua tahu api sudah terlanjur menyala.

***

Malam berikutnya, Ardi pulang lebih larut dari biasanya. Nisa sudah tertidur di kamar. Ia duduk di ruang tamu, lampu redup, mencoba menenangkan diri. Ponselnya kembali bergetar. Rani lagi.

“Aku nggak bisa tidur.”

Ardi mengetik cepat. “Kenapa?”

“Kamu ada di pikiran aku terus.”

Ardi menelan ludah. Ia membalas dengan jari bergetar. “Aku juga.”

Balasan datang: “Aku pengin ketemu. Bukan di kantor, bukan di rumah kamu. Di tempat lain. Sekali aja.”

Ardi menatap layar lama. Nafasnya berat, dadanya sesak. Ia tahu jika ia setuju, maka garis batas akan pudar. Tapi jika ia menolak, ia tak yakin bisa menahan diri lebih lama.

Akhirnya ia mengetik, “Besok kita bicara. Di luar kantor.”

Pesan terkirim. Dan malam itu, Ardi sadar, ia baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang tak bisa lagi ia kunci kembali.

***

Pagi berikutnya, saat sarapan, Nisa bercerita ceria tentang rencananya belanja keperluan rumah. Ia tak tahu apa-apa, wajahnya penuh senyum, penuh percaya.

“Mas, jangan lupa minggu depan kita ke Bandung, ya. Aku udah pesen hotel. Aku pengin kita refreshing bareng.”

Ardi hanya mengangguk, meski hatinya remuk. Bagaimana mungkin ia sanggup menatap istrinya, sementara di pikirannya hanya ada satu hal: pertemuan rahasia dengan sahabatnya sendiri.

Dan api itu, kini bukan lagi sekadar percikan. Ia sudah menjalar, menyala diam-diam, menunggu saat untuk membakar segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Istriku,Kekasihku   Hari pernikahan

    Langit pagi itu berwarna keemasan. Suara burung bercampur dengan aroma kopi dari dapur rumah Ardi. Meja makan dipenuhi map, daftar tamu, dan undangan yang sudah siap dibagikan.Nisa sibuk memeriksa vendor lewat telepon. “Halo, iya Mbak, tolong pastikan dekorasi di ruang tengah pakai nuansa putih gading, ya, bukan krem tua. Aku udah kirim referensinya kemarin sore.”Ardi hanya duduk di meja, menatap kosong ke arah jendela. Matanya lelah, pikirannya melayang entah ke mana.“Sayang, lo dengerin gue nggak?” tegur Nisa sambil menutup telepon.Ardi tersadar. “Hm? Iya, sorry. Gue lagi mikirin rundown aja.”Nisa mendesah kecil tapi tersenyum. “Tenang, semuanya udah gue handle. Lo tinggal fokus ke hari H. Aku pengen semuanya sempurna.”Ardi mengangguk, lalu berdiri untuk mengambil map yang tergeletak di atas lemari. Saat membuka laci bawah, tangannya tanpa sengaja menyenggol sesuatu—sebuah amplop usang berwarna cokelat muda, terselip di antara tumpukan buku catatan kuliah.Ia menatapnya lama.

  • Teman Istriku,Kekasihku   Wisuda

    Hari itu, aula kampus penuh oleh warna. Toga, bunga, tawa, dan kilatan kamera bercampur jadi satu. Musik wisuda mengalun lembut, menciptakan suasana yang hampir sempurna—nyaris seperti bab akhir dari perjuangan panjang.Rani berdiri di antara barisan wisudawan, tersenyum ke arah orang tuanya yang duduk di barisan tamu. Ia merasa lega. Semua kerja keras, begadang, dan tumpukan tugas akhirnya terbayar.Di sebelahnya, Nisa tidak berhenti berceloteh.“Ran, sumpah ya, toga ini bikin gue berasa kayak penyihir. Tinggal bawa tongkat, gue siap buka Hogwarts cabang Bekasi.”Rani tertawa kecil. “Yang ada lo ngelindes kucing, Nis.”“Eh, jangan jahat lo. Nih lihat Ardi, toga-nya aja rapi banget. Cowok kayak gitu mah susah dicari. Kalau bukan temen gue, udah gue rebut, sumpah.”Ardi yang berdiri beberapa langkah di depan mereka menoleh sambil tertawa. “Kalian berdua ribut mulu dari semester satu sampai sekarang, nggak berubah.”“Ya kalau nggak ada kita, wisuda ini kaku, Di!” sahut Nisa sambil menun

  • Teman Istriku,Kekasihku   Tunangan

    Hujan baru saja berhenti sore itu, meninggalkan udara dingin dan aroma tanah basah yang lembap di sekitar gedung pascasarjana. Mahasiswa-mahasiswa baru berdatangan, sebagian sibuk mencari kelas, sebagian lagi duduk di tangga sambil menyeruput kopi.Rani berjalan cepat sambil merapikan tote bag-nya. Ia baru saja pindah ke kota itu untuk melanjutkan studi S2 setelah dua tahun bekerja. Rasanya campur aduk—deg-degan, gugup, dan sedikit semangat.“Semester baru, hidup baru,” gumamnya sambil tersenyum kecil.Di dalam kelas, dosen baru sedang mempersilakan mahasiswa memperkenalkan diri satu per satu. Saat giliran Rani tiba, ia berdiri dengan tenang.“Halo, saya Rani Putri, latar belakang saya dari bidang manajemen proyek. Saya tertarik melanjutkan studi ini untuk mendalami strategi pengembangan bisnis berkelanjutan.”“Bagus sekali, Rani,” ujar dosen. “Silakan duduk.”Belum sempat ia menarik kursi, seseorang masuk ke ruangan.“Permisi, Pak. Maaf agak terlambat. Jalanan macet banget.”Rani men

  • Teman Istriku,Kekasihku   Jejak yang hilang (fakshback 3)

    Masa itu, dunia terasa lebih ringan. Rani dan Ardi sering bertemu di kampus, bukan karena janjian, tapi entah kenapa langkah mereka selalu saja bertemu di lorong, kantin, atau bahkan di halte tempat menunggu angkot. Semuanya terasa alami, seolah mereka memang ditakdirkan untuk sering berada di tempat yang sama.Hari itu, Rani sedang duduk di bangku taman kampus sambil mengetik sesuatu di laptop. Tiba-tiba bayangan seseorang menutupi layar.“Lah, ngerjain apa? Hack NASA?” suara Ardi terdengar dengan nada menggoda.Rani menoleh, memutar bola mata. “Iya, gue lagi coba nerbangin satelit sendiri. Lo mau ikut jadi astronot?”Ardi terkekeh, lalu duduk tanpa izin di sebelahnya. “Boleh sih, asal nanti di luar angkasa ada indomie goreng. Gue nggak bisa hidup tanpa itu.”“Yaelah, minta indomie di luar angkasa. Lo pikir warung burjo ada franchise di Mars?” balas Rani sambil menahan tawa.Mereka berdua terbahak, menarik perhatian beberapa mahasiswa lain yang lewat. Obrolan mereka selalu ringan, ta

  • Teman Istriku,Kekasihku   Benih kecurigaan

    Malam itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Detak jam dinding terdengar begitu jelas, sesekali suara kendaraan melintas di jalan depan rumah. Nisa duduk di sofa ruang tamu, ponselnya masih di tangan, tapi tatapannya kosong. Ia berpura-pura sibuk scrolling media sosial, padahal pikirannya melayang ke hal-hal yang sejak beberapa minggu terakhir mengganggu hatinya.Ardi keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan meneteskan air, hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek. Dengan handuk di bahunya, ia berjalan santai lalu menjatuhkan diri ke sofa di sebelah Nisa.“Kok bengong, Sayang?” tanya Ardi sambil menatapnya, senyum kecil tersungging di bibirnya.Nisa mengangkat wajah, lalu tersenyum tipis. “Enggak. Cuma lihat-lihat aja, banyak temen upload foto-foto zaman kuliah. Jadi nostalgia gitu.”“Oh, iya ya. Seru pasti kalau lihat foto lama.” Ardi meletakkan handuknya, kemudian bersandar. “Eh, besok aku lembur lagi ya. Project kantor belum kelar, deadline udah mepet banget.”

  • Teman Istriku,Kekasihku   Flasback 2

    Hujan deras mengguyur kampus sore itu. Suasana yang biasanya ramai mendadak jadi seperti pasar malam yang bubar mendadak. Mahasiswa berlarian ke teras gedung, ada yang menutup kepala pakai buku, ada juga yang pasrah basah kuyup.Di depan gedung perpustakaan, Rani berdiri dengan wajah sebal. Rambutnya sudah agak lepek, jaket tipisnya jelas tak bisa menahan dingin.“Ya Allah, kayaknya hujan ini emang konspirasi semesta deh biar aku nggak jadi anak rajin,” gumamnya.Tiba-tiba dari samping terdengar suara khas yang bikin Rani langsung mendengus.“Kalau kamu butuh jasa payung berjalan, sini aku kebetulan masih single.”Rani menoleh, menemukan Ardi dengan payung hitam besar dan senyum usil.“Ardi…” Rani mendengus. “Kamu tuh ya, setiap muncul pasti kayak iklan YouTube, ngeselin tapi nggak bisa di-skip.”Ardi terkekeh. “Ih, berarti aku penting dong. Kan iklan itu sumber penghasilan.”Rani menatapnya sambil lipat tangan. “Penghasilan apaan? Penghasilan dosa gara-gara bikin orang kesel.”Ardi p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status