Share

2 Dipecat Bos Galak

Satu bulan ini puluhan juta sudah ku keluarkan untuk membiayai operasi dan perawatan kakakku. Dia belum sadarkan diri juga setelah kecelakaan yang membuat kepalanya gegar otak karena melerai pertengkaran adikku dengan preman. Sekarang apa lagi?

Yang benar saja!

“Jangan keterlaluan!” Bentakku. “Kakak di rumah sakit belum sadarkan diri sampai sekarang juga karena ulahmu. Aku saja tidak tahu uang tabunganku cukup atau tidak untuk biaya rumah sakit sampai dia sadar nanti. Bisa-bisanya kamu–”

“Mau gimana lagi memangnya?” Dia malah balas membentak. “Kalau tidak segera dilunasi, mereka pasti melabrakku lagi.”

“Kamu–”

“Terus,” selanya lagi. “Utang itu… aku pakai sertifikat rumah Papa sebagai jaminannya. Kalau Kakak tidak ada uang, rumah Papa akan disita… dua hari lagi.”

***

Malam ini, sepulang dari tempat kerja, Aku bergegas menuju rumah sakit untuk menemani kakakku dengan pikiran yang begitu kacau. Suara adikku di telepon tadi menyebut nominal dua ratus juta dan kata “dua hari lagi” terus terngiang dalam ingatanku.

Sedangkan si bungsu brengsek itu entah kemana ketika aku sampai di rumah sakit. Padahal tangan ini sudah gatal ingin memukul kepalanya.

Hingga Dokter datang dan memberitahuku kalau belum ada perkembangan baik atas keadaan kakakku, hatiku kembali gusar.

Aku mendekat padanya dan membisikkan kalimat yang siapa tau bisa menggugah semangatnya untuk bangun. 

“Ayolah Kak, bangun … dunia sedang begitu jahat padaku. Apa kamu tidak ingin menemaniku? Seperti hari-hari sulit yang sudah kita taklukkan tanpa Papa Mama kemarin?” Air mataku menetes di punggung tangannya yang ku genggam.

Sungguh ini hari yang gila, aku lelah seharian di omeli raja neraka itu di kantor, sedih memikirkan keadaan kakakku, bingung memikirkan kemana harus cari uang, dan marah pada adik sialanku. 

Semua rasa ini bercampur dalam benakku. Begitu sulit untuk ku cerna.

Saat ini aku benar-benar merasa membutuhkan bahu seseorang untuk sekedar bersandar sebentar. 

Karena itu aku tak bisa lagi menahan diri, sambil melihat wajah kakakku yang cantik memejamkan mata dari sofa seberang tempat tidurnya, aku menelepon Mr. Bossy. 

Hanya saja, pikiranku tetap melayang entah ke mana saat mengobrol dengannya.

“Ily, sepertinya kamu agak lain hari ini.”

Aku terhenyak, “hah? Lain bagaimana?”

“Kamu lebih banyak diam, ada apa?”

“A-aku… Tidak.” Aku tergagap, panik karena emosiku terbaca oleh Mr. Bossy.

Jujur, aku takut dan malu untuk menceritakan masalah keluargaku pada Mr. Bossy karena ini lebih ke urusan uang. Bagaimanapun kami belum pernah bertemu, aku takut nanti dikira aku menjual cerita sedih dan mau meminta uang padanya.

Aku tidak mau dicap sebagai perempuan matre. 

Kenyataannya Aku hanya ingin ada seseorang di sampingku, itu saja. Mengenai masalahku, rasanya aku masih bisa menyelesaikannya sendiri. 

Seperti masalah ini, aku sudah menyiapkan rencana untuk menyelesaikannya. Besok aku akan coba mengajukan pinjaman di koperasi perusahaan saja untuk menebus sertifikat rumah Papa.

“Aku tidak apa-apa.” Mati, Aku belum menemukan topik lain untuk mengalihkan pembicaraan.

“Kamu mau mencoba berbohong padaku?”

Hah kok jadi gitu prasangkanya padaku?

“Tidak, tentu saja tidak begitu. Biasa… Aku sedang lelah saja karena dia!”

“Dia? Bos mu, kenapa lagi dia?” tanya pria di ujung ponsel dengan antusias.

“Aku lelah,” nada bicara ku begitu mewakili perasaanku sampai mau menangis lagi rasanya. “Setiap hari aku bangun pagi sekali untuk mengurus semua keperluannya, memastikan semua pekerjaanku sesuai standar dia. Huft…” Aku melenguh. “Tapi apa yang terjadi, kesalahan kecil saja bisa membuatnya memakiku sampai seperti tak punya harga diri.”

Rasanya aku sudah tidak tahu lagi hal mana yang lebih menyakitkan hati; mengingat omelan bosku atau kenyataan baha aku harus berjuang sendirian di sini.

Dadaku rasanya sesak. Kutatap langit-langit kamar rawat inap kakakku dengan pikiran berkecamuk.

Tanpa sadar, aku terisak.

“Lhoh, kok nangis?” Sepertinya Mr Bossy  mendengar isak ku. Ah, sial. Tapi kenapa aku justru merasa, nada suaranya seperti sedang menahan tawa?  

“Tapi dia tidak melukaimu kan?” Imbuhnya.

“Tidak, harga diriku saja yang terlukai.” Jawabku kesal sambil menghirup ingus ku sendiri.

Tawa Mr. Bossy terdengar lebih jelas, “tunggu, aku selesaikan dulu tertawaku. Ahahaha…” Dia memang receh, cerita sederhanaku setiap hari seolah sudah cukup untuk membuatnya tertawa.

“Ah~ Aku benar-benar lelah, kenapa kamu malah ketawa?” Aku semakin kesal padanya, dia seperti tidak serius menanggapi ceritaku.

“Lalu bagaimana?”

“Lanjutkan saja tertawanya, setidaknya aku dapat pahala dengan membuat orang bahagia malam ini.” sarkas ku.

“Bagaimana kalau kamu bekerja dengan saya saja?” Tiba-tiba nada bicaranya berubah jadi serius. “Akan kupastikan kamu puas, baik secara fisik, mental dan emosional.”

Akhirnya aku tahu kemana arah pembicaraan dia ketika aku mendengar kata “puas”.

“Dapet nafkah lahir batin ya?” Senyumku pun sedikit terulas menimpa kesedihanku. Emosiku sepertinya membaik. 

“Ah… Mr. Bossy. Aku selalu bermimpi bisa bertemu denganmu.” Di Atas sofa rumah sakit, Aku merubah posisi rebahan ku dari terlentang menjadi tengkurap. “Lalu, kapan kita ketemu?”

“Nanti pasti ada saatnya kita bertemu.” Jawab cepat Mr. Bossy dengan nada tenang.

“Ah! Selalu saja begitu jawabannya.”

Mr. Bossy hanya tertawa kecil.

Satu tahun yang lalu, Aku mengenal Pria dengan user name Mr. Bossy dari aplikasi kencan online dan selama setahun belakangan, Mr. Bossy berhasil menjadi support system bagiku. Berkat Pria yang bahkan Aku tidak tahu nama aslinya ini. Aku berhasil melewati hari-hari sulitku di kantor melalui nasehat dan semangatnya. 

Namun, entah kenapa kami belum bisa bertemu juga meski sudah berkenalan selama itu. Jujur, aku ingin sekali bisa bertemu dengannya.

***

Adamindo Tower, lantai 34.

“Selesaikan materi syuting dengan G TV pukul 11 ini, lalu geser jadwal meeting pukul 9 nanti ke pukul 2 siang. Siapkan juga setelan jas warna navy yang bergaris. Tidak, yang polos saja! Atur rapat pengecekan stock pukul 1 siang”

Di koridor, Aku berjalan cepat berusaha menyesuaikan langkah cepat atasanku itu sambil mencatat. Namun aku kewalahan dan akhirnya menginterupsi.

“Pak, maaf bisa lebih lambat, saya terlambat mencatat.”

Pak Harvey pun menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku  yang berdiri di belakangnya.

“Pukul berapa rapat stok nya Pak?” Tubuhnya yang tinggi membuatku mendongak. Aku menunggu kalimat keluar dari bibirnya, sambil bersiap mencatat.

Namun, Pak Harvey tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku, membuatku terkejut dan reflek sedikit mundur. 

“Pukul berapa?” tanyanya seperti mengintimidasi.

“Y-Ya, Pak.” 

Aku gugup sekali. Asli, wajahnya begitu dekat saat ini, aku sampai bisa melihat pori-porinya yang lebih halus dari pori-pori wajahku. Wajahnya mulus sih, tapi angker.

“Tebak saja sendiri.” Ucap Pak Harvey dengan segera melanjutkan langkahnya. “Kalau tau tidak pintar setidaknya belajar mencatat dengan cepat,” gerutunya meninggalkan ku yang masih tertegun.

Sementara Pak Harvey kembali ke ruangannya, Aku segera menghampiri mejaku untuk mencetak bahan rapat yang harus segera ku serahkan ke Pak Harvey.

Aku hanya bisa membuang napas besar. Lagi-lagi sepagi ini aku sudah dibuat begitu tertekan dengan perlakuan Si Raja neraka. Tapi apa boleh buat, aku hanya bisa bersabar sekuat tenaga dan menyemangati diriku sendiri dalam hati.

Beberapa saat kemudian, ketika aku mengantarkan dokumen rapat yang dimintanya, Pak Harvey segera membacanya dan...

BRAK!

Dia membanting file itu dari tangannya ke meja dengan kasar.

“Jarak dari sisi-sisi kertasnya harus 2,5 cm! Bukan dua cm! Kamu buat pembahasan rapat atau menulis novel? Kamu tidak tahu cara meringkasnya, ini panjang sekali?!”

Engap sekali dadaku karena dibentaknya. 

Seolah tak cukup, Pak Harvey kembali mengambil dokumen dari meja kemudian melemparnya ke lantai. Ini membuat bulu kuduk ku bergidik. Aku benar-benar merasa tertekan kali ini. .

“Keluar, kemasi semua barangmu, aku tidak perlu sekretaris sepertimu!”

Astaga! Inilah kata-kata menakutkan yang tidak asing ku dengar semenjak meja kerjaku berada di depan ruangan Pak Harvey Adam, si Raja Neraka Adamindo Group. akhirnya kini kata-kata itu terlontar untukku.

Namun satu yang Aku pikirkan ketika mendengar ini. 

Kemana Aku akan mencari uang untuk menebus rumah peninggalan orang tuaku yang telah digadaikan Adikku Putra pada rentenir jika aku dipecat?

Dari sejak semalam Aku sudah berencana meminjam di koperasi perusahaan siang ini. Aku cuma punya waktu dua hari untuk mencari pinjaman dua ratus juta. Sedangkan tabungan ku hanya tersisa sekitar lima puluh jutaan. Belum lagi Aku harus membayar biaya rumah sakit kakak yang sedang koma.

Mana mungkin perusahaan memberikan pinjaman ketika Aku sudah bukan karyawan disini.

Sungguh, aku tidak tahan lagi dengan ini semua, tapi hanya bisa menangis tersedu di dalam toilet. Berharap tak ada yang akan mengetahuinya. 

Aku duduk di atas wc duduk yang tertutup, “Hiks, biarkan saja, kuhabiskan tisunya, biar perusahaan ini bangkrut gara-gara beli tisu.” Sengaja ku tarik panjang sekali tisu gulung di depanku ketika ponsel dalam saku blazerku bergetar.

Aku mengeluarkan ponsel ku dari dalam saku dan sejenak mematung.

“Mr. Bossy?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status