Mag-log inRuang Direktur,Tok tok tok"Permisi Pak! Saya boleh masuk?" "Hem," dehem Bayu yang sedang duduk di kursi. Sibuk meneliti laporan. Bahkan tidak sempat melirik Sintia yang datang. "Ini obatnya Pak." Sintia mendekat, menaruh segelas air putih serta 2 butir obat di meja. Bayu melirik obat yang Sinta sodorkan. Baru teringat satu nama yang selalu ia simpan rapat-rapat dalam hati. "Kartika." ucapnya. Hampir terlupa jika ia tadi memintanya untuk datang. Bayu berdiri dari kursi. Wajahnya kebingungan, clingungkan mencari Kartika. "Mana dia?" "Maksud Bapak, Kartika?" "Iya dia ada dimana?" tanyanya antusias. "Udah pulang Pak," jawab Sintia sambil menunjuk luar, yang terjadi Bayu jutru murka. Berlari keluar mengejar Kartika. "Hah!" kesalnya berlari melewati Sintia yang masih berada di tempat. Sintia kebingunan, tidak paham letak salahnya dimana. Ia merasa sudah jadi sekertaris yang baik dan teladan, tapi masih saja salah di mata pimpinan. "Maksdunya apa coba?" gumam Sintia seorang diri
"Maaf ada urusan apa ya?" tanya balik wanita ini. "Saya Kartika, asisten rumah tangga Pak Bayu. Kebetulan saya diminta kesini buat antar obat beliau," jelasnya sambil menunjukan bungkusan kecil yang ia bawa. "Baik, sebentar ya?" Kartika mengangguk, sebentar menunggu kabar. Resepionis tersebut sedang menghubungi seseorang. Tidak lama ia muncul, balik menemui Kartika. "Pak Bayu kebetulan sedang ada tamu, tapi gak apa-apa. Mbak diminta keatas aja. Nanti bisa temui Sintia, sekertaris Pak Bayu." "Oh, iya terimakasih." "Sama-sama," sikapnya baik tersenyum ramah. Kartika balik tersenyum. Merasa begitu dihargai. Awalnya ia skeptis, berpikir tidak ada yang mungkin menggubris kehadirannya, karena penampilanya yang sesederhana ini. Nyatanya, orang-orang di kantor begitu ramah. Tidak ada diskriminasi. Semua orang berhak datang, tanpa memandang kelas atau status sosial. Kartika melangkah maju. Berjalan percaya diri menuju ruang yang wanita tadi tunjukkan. Sekarang ia
Oktober, 07.45Bayu keluar dari kamar. Berjalan menuju meja makan sambil menggulung lengan kemeja. Di meja sudah tersaji sarapan, lengkap dengan obat serta suplemen yang rutin ia konsumsi setiap hari.Sebelum duduk, Bayu menoleh ke samping. Melihat Kartika yang sibuk berkutat di dapur. "Ehem-ehem, kopiku mana?" dehemnya mengawali perbincangan di awal pagi."Sebentar." Kartika menyahut cepat. Bergegas menyajikan kopi yang baru ia buat. "Sarapannya jangan sampai tertinggal," ucapnya, ingin beranjak pergi dari sana tapi Bayu terlalu cepat menahannya. Memegang tangannya untuk sejenak tinggal. "Kamu juga, jangan lupa sarapan ya?" Kartika hanya mengangguk kecil, lantas beranjak pergi darinya.Bayu enggan untuk menahannya. Membiarkan Kartika kembali ke dapur, menyelsaikan pekerjaan rumah. Sementara ia sendiri menikmati sepotong sandiwich sambil melihat beberapa laporan yang masuk melalui email. Drrttt,Suara ponsel Bayu berdering disaat dirinya sedang memeriksa satu persatu laporan. Terp
Dalam ruang kecil, kamar mandi yang hanya tertutupi tirai putih tipis. Kartika bersandar pada sisi tembok yang basah. Membelakangi tubuh Bayu yang berdiri begitu dekat. Terlalu dekat, erat memeluk tubuhnya yang polos dari arah belakang. Gemericik suara air pagi itu menyamarkan suara gaduh yang mereka timbulkan. Sama-sama tanpa pakaian yang menutupi. Bayu belum juga berhenti dengan fantasinya. Meski sudah lebih dari sekali, bibir Kartika memintanya untuk mengakhiri. "Aahhh, Mas kita udahan ya? Aku takut Mbak Dona kesini," ucapnya seraya menahan suara erangan agar tidak keluar."Sebentar lagi Kartika. Kamu tenang saja, Dona gak akan mungkin datang sepagi ini," sahut Bayu dengan suara terengah. Tidak juga melepas Kartika dari kenikamatan yang memambukkan. Mengaburkan antara rasa takut dan logika. Egonya terlalu tinggi. Tidak ingin keintiman itu berakhir sia-sia.Sedang, Kartika kembali mencoba untuk yakin. Meski perasaan takut itu selalu menghantui, tapi selalu saja Bayu bisa menenangk
Dona ikut tersentak kaget. Entah kenapa untuk sekarang ia berubah cengeng. Biasanya ia selalu kuat. Selalu menang argumen dari Bayu. Sikap yang sekuat tadi seketika sirna. Air matanya tidak bisa lagi ia tampung. Tumpah berceceran, membasahi pipi. Mungkin perasaannya yang teramat dalam pada Bayu, yang membuatnya bisa sebodoh ini. "Keterlaluan kamu Bayu!" isaknya menangis. Dona tidak bisa tahankan lagi. Memilih untuk segera pergi. Rasanya sakit saja, kedatangannya tidak diharap. Justru Bayu terlihat tidak suka. Bahkan menggertak sekuat tenaga di depan Kartika. Padahal ia hanya butuh perhatian, serta kehadiran Bayu di tengah-tengah momen penting di hidupnya. Nyatanya sekarang, sikap Bayu mulai berubah. Jarang bersama, bahkan sangat sulit untuk ditemui. Bayu belum bersikap setelah melihat Dona pergi. Namun, bukan berarti ia acuh. Diamnya sambil terus berpikir. Perasaanya dilanda dilema. Memilih antara ego atau pergi mengejar Dona, yang notabene anak dari pemilik perus
Dona belum yakin sepenuhnya dengan yang dijumpai. Melebarkan kedua bola mata. Melihat jeli sosok lelaki yang berdiri di sebarang sana. Sementara Bayu masih dengan gaya santainya. Mengucek mata, seolah tidak ada masalah. "Kenapa sih?" katanya lagi sempat menguap lebar sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Darimana kamu?" hardik Dona curiga. Belum juga melepas pundak Kartika dari cengkraman. "Darimana? Pertanyaan macam apa ini? Apa kamu gak lihat kalau aku baru bangun tidur." Bayu sedikit tersulut, namun tetap berusaha untuk meyakinkan. Meski kebenarannya akan terdengar lebih pedih ketimbang yang ia sampaikan. Dona merubah pandangan. Berganti menatap pada Kartika. Lirikan matanya begitu tajam. Menatap cermat pada sosok Kartika yang berdiri persis di depannya. Secuil pun tidak ada hal yang lolos dari bidikan matanya. "Benar begitu?" Kartika mengangguk pelan. Mengiyakan apapun yang Bayu katakan. Sejak awal ia tidak berani untuk menatap. Menunduk takut, tidak ber







