"Apa ada yang lain, Bu?" tanya Yosi Febrian. Ibu kandung Jessi. "Itu ada ikan asap. Setelah beberapa minggu tidak ada barang, baru hari ini ada lagi. Itu juga karena saya ke pasar lebih pagi dari biasanya." Yosi berusaha menawarkan dagangannya.
"Cukup, itu saja Bu Yosi." Yosi segera menotal semua belanjaan tetangganya tersebut. "Ini ya, Bu kembaliannya." "Terima kasih, Bu." "Sama-sama," ucap Yosi begitu ramah. Namanya juga hidup di desa dan memiliki usaha sembako seperti ini. Sebagai penjual, harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada pembeli. Berharap orang sekitar tetap menjadi langganannya. "Jessi kerja di kota sudah sangat sukses ya, Bu. Sampai bisa membahagiakan orang tuanya seperti ini." Siapapun orang yang mengetahui kehidupan keluarga Jessi, pasti akan merasa tidak menyangka. Baru berapa tahun Jessi bekerja di kota, tapi sudah berhasil mengsejahterakan keluarga. Membuat sebagian orang merasa iri melihat kesuksesan keluarga Jessi. "Puji Tuhan, Bu Ilmi. Di sana Jessi pasti tidak mudah juga perjuangannya. Yang terpenting sekarang ini kami tidak menyusahkannya lagi." Rasanya Yosi masih belum percaya. Segala kesulitan keluarganya bisa berlalu begitu saja. "Keponakan saya sudah 1 bulan menganggur, Bu Yosi. Bolehlah info lowongan kerjanya sama Jessi. Siapa tahu keponakan saya bisa ketularan kesuksesan Jessi," ucap Ilmi begitu berharap. "Kalau soal lowongan pekerjaan, saya juga tidak tahu, Bu." "Tolong tanyakan sama Jessi lah, Bu. Siapa tahu Jessi bisa membantu keponakan saya." Ilmi memasang wajah memelas. "Coba nanti saya tanyakan Jessi saat dia menghubungi saya." "Sebelumnya terima kasih loh, Bu Yosi. Dan maaf karena jadi merepotkan." Hati Ilmi begitu berharap lebih. "Tidak repot sama sekali kok, Bu." "Benarkah? Kalau begitu saya hutang ikan asapnya ya, Bu. Setengah kilo saja." Sudah menjadi resiko pedagang yang tinggal di sebuah desa. Jika memiliki usaha, tidak luput dari pembeli yang suka berhutang. * "Tidak-tidak. Itu tidak mungkin." Jessi hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, seolah berusaha mengusik prasangkanya saat ini. Namun, saat mengingat kapan dirinya terakhir bulanan, membuat Jessi merasa ragu. Tanpa menikmati bubur buatan Farrel, Jessi memilih meninggalkan apartemen ini. Ia pulang ke kos dengan menumpangi ojek. "Pak, kita mampir diapotek sebentar ya?" "Oke, Neng." Begitu sampai kos, Jessi memilih berdiam diri di dalam kamar. Ia hanya menatap beberapa merk alat tes kehamilan. Jessi takut, tapi dirinya juga sangat penasaran. "Kalau aku hamil, bagaimana? Aku harus apa?" Jessi menangis tertahan sambil meringkuk diujung tempat tidurnya. Tubuhnya bergetar karena ketakutan. Hingga beberapa jam kemudian, Jessi memberanikan diri ke kamar mandi untuk melakukan percobaan pemeriksaan menggunakan salah satu merk alat tes kehamilan. 'Tuhan, tolong aku. Aku tidak siap!' batin Jessi sambil memejamkan mata. Saat ini dirinya baru saja memasukkan alat tes ke dalam urin yang sudah ia tampung. Berulang kali Jessi menghelakan nafasnya. Merasa sudah cukup, Jessi memberanikan diri untuk melihat hasilnya. "Hah!" Jessi tercengang. Matanya sampai tidak bisa berkedip dan terasa perih karena melihat tanda garis 2 di sana. "Jadi aku hamil?" Rasanya begitu sakit. Jessi bahkan sempat berharap kalau alat tersebut sudah salah memberikan hasil. "Bagaimana ini?" Jessi menangis lagi. Ia duduk meringkuk diujung kamar mandi. Pikirannya semakin berkecamuk. "Tidak-tidak. Aku tidak boleh menangis seperti ini. Kata pegawai apotek tadi, hasil tes lebih akurat jika di lakukan saat pagi hari setelah bangun tidur. Aku akan cek besok pagi. Semoga saja hasilnya berbeda." * "Meeting cukup sampai di sini," ucap Farrel kemudian meninggalkan para manager dari setiap bagian. Sepanjang waktu meeting, rasanya Farrel tidak bisa fokus. Jessi seperti terus membayangi pikirannya. "Apa saya masih memiliki jadwal lagi?" tanya Farrel setelah duduk di kursi kerjanya. "Jam 3 sore nanti, kita akan memenuhi undangan klien dari perusahaan PT. Sumber Anugerah, Pak!" jawab Edgar, asisten Farrel. "Ingatkan saya 2 jam sebelum kita pergi ketempat pertemuan. Sekarang saya ingin pulang untuk istirahat." "Baik, Pak." Edgar ikut keluar dari ruang kerja Farrel. Ia menatap punggung calon pewaris tunggal perusahaan ini. "Bukankah biasanya pak Farrel istirahat di kamar yang ada di ruangannya?" gumam Edgar. Ia jadi berpikir, kalau mungkin saja ada sesuatu hal yang mendesak. Karena sekarang Farrel terlihat buru-buru. Farrel sudah melajukan mobilnya. Ia akan terus menambah kecepatan di saat jalanan terlihat renggang. Begitu sampai basement apartemen, Farrel lari menuju lift. Hatinya sudah sangat khawatir dengan keadaan Jessi. "Jessi." Mata Farrel mengedar. Ia tidak melihat keberadaan Jessi di dalam kamarnya. Kamar yang selalu menjadi saksi bisu pertempuran mereka. Bahkan bubur buatannya tadi pagi nampak masih utuh. "Kenapa dia pulang tanpa bilang sama aku?" geram Farrel sambil merogoh ponselnya. Bahkan tidak ada pesan singkat dari perempuan simpanannya itu. Farrel berusaha menghubungi Jessi. Panggilan pertama, Jessi tidak menerima panggilannya. Farrel tidak mau putus asa. Ia kembali menghubungi Jessi. Namun, sepertinya sekarang Jessi menonaktifkan nomornya. "Sial!" Farrel berteriak sambil membanting ponselnya di atas kasur.Ini adalah kejutan. Jadi tidak ada penyambutan apapun yang bisa Yosi dan Iyan lakukan untuk Jessi. Yang bisa Yosi berikan hanyalah masakan yang sudah ada. Tentunya masakan kesukan Kaila. Dan sore harinya, Yosi sibuk didapur membuatkan masakan kesukan Jessi dan juga Rhona. Padahal Jessi sudah melarang Yosi untuk melakukan ini dan itu. Makanan bisa dibeli, karena Jessi hanya ingin menikmati kebersamaan mereka. Selain itu, dirinya dan yang lain tidak bisa berlama-lama di desa karena ini memang bukan waktunya Rhona liburan. Namun, Jessi membiarkan apapun yang Yosi inginkan. "Tidak bisa tidur?" tanya Jessi. Entah sudah berapa kali Farrel mengubah posisi tidurnya. Malam sudah semakin larut. Semua orang sudah lelap dengan mimpinya sendiri. Sedangkan Rhona saat ini tidur bersama dengan Kaila. Jessi dan Rhona sudah lama tinggal di desa. Meski sekarang kehidupan mereka sangat berbeda, tapi Jessi dan Rhona tidak mengeluhkan situasi sekarang. Berbeda dengan Farrel. "Sepertinya aku belum meng
"Kakak yakin?" tanya Kaila. Hari ini Jessi dan yang lainnya akan pulang ke kampung halaman. Setelah perbincangan yang cukup panjang dan Jessi sendiri sudah yakin, maka Farrel dengan senang hati menuruti usulan sang istri. Itu juga dengan catatan kalau Jessi diperbolehkan melalui perjalanan jauh. Dan sekarang keputusan Jessi berhasil membuat Kaila senang tapi juga belum yakin. Kaila tidak ingin kalau Jessi pulang karena memaksakan diri. Jessi sedang hamil. Kaila takut kalau perasaan Jessi yang tidak tenang bisa membahayakan kandungan Jessi. Carla dan Regan sangat Khawatir. Apalagi Jessi sendiri yang ingin menggunakan mobil. Perjalanan sangat jauh. Mereka tidak ingin kalau nantinya Jessi jadi kelelahan. "Yakin, Kai." Jessi menepuk pundak Kaila. "Ma, Pa, kami pergi sekarang." "Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau lelah di dalam mobil, cepat istirahat dan cari hotel. Mengerti!" pesan Carla. "Iya, Ma." "Opa sama Oma jangan rindu Rhona ya?" "Siapa juga yang mau rindu d
"Kalau saja rasa sakitnya bisa dipindah ke aku, aku rela kalau sekarang aku yang sakit," ucap Farrel. Kedua matanya nampak berkaca-kaca. Bukan hal mudah bagi Jessi melalui hamil muda. Karena setelah keluar dari rumah sakit saat itu, Jessi kembali masuk rumah sakit selang 10 hari karena mual muntah yang mengakibatkan Jessi tidak bisa makan apapun. Sejak Jessi hamil juga, sebisa mungkin Regan yang mengambil alih semuanya. Farrel datang keperusahaan jika memang sangat diperlukan. Karena Regan inginkan Farrel benar-benar mendampingi Jessi selama hamil. Farrel juga berpikir sama. Ia tidak mendampngi Jessi saat hamil Rhona. Maka sekarang Farrel ingin menebus semuanya. "Kamu hamil bisa sampai seperti ini. Lalu bagaimana saat dulu tanpa aku?" Padahal segala hal yang ingin Farrel ketahui tentang Rhona dikala saat masih dalam kandungan, sudah Jessi ceritakan. Tapi itu semakin membuat Farrel merasa berdosa. Dosa yang tidak akan bisa dihapus. Karena sekarang Farrel hanya bisa melaku
"Sayang, kamu sakit?" Karena ada urusan yang sangat penting, selama 1 minggu ini Farrel keluar negeri. Awalnya Farrel inginkan Jessi dan Rhona tingal di kediaman orang tuanya. Namun, karena Jessi menolak, membuat Farrel tidak bisa memaksa. Jessi bukannya tidak mau lebih dekat dengan mertuanya. Namun, karena dirinya merasa lebih nyaman di apartemen ini. Meski begitu, Jessi membebaskan Rhona bersama Regan dan Carla. Tidak ada yang perlu Jessi khawatirkan. Ia yakin kalau mertuanya sangat mencintai Rhona. Sudah pasti keduanya akan mengutamakan kesehatan dan keselamatan Rhona. Baru saja sampai rumah, Farrel sudah dibuat panik setelah melihat keadaan sang istri. "Tidak. Aku baik-baik saja." "Baik-baik saja bagaimana? Wajahmu pucat begitu. Sejak kapan kamu seperti ini hem? Ayo kita ke rumah sakit." Farrel mulai memaksa karea terlalu khawatir. "Sejak kemarin kepalaku sedikit pusing. Tapi ini sudah lebih baik. Baru 1 jam yang lalu aku minum obat. Maaf ya aku tidak menyambut de
Di hari pertambahan usia Jessi, Farrel memberikan kejutan pada Jessi untuk merayakan pesta pernikahan mereka. Meski tidak banyak yang diundang, tapi keintiman acara tersebut begitu terasa. Jessi sampai menangis haru. Ia merasa bersyukur atas apapun yang telah ia dapatkan sekarang. "Jangan terlalu senang," ucap Carla dengan suara judesnya. Meski Carla masih terlihat judes saat berhadapan dengan Jessi, tapi Jessi berusaha tidak ambil hati hingga dirinya sudah terbiasa akan sikap Carla. Sebagai orang tua, Jessi mewajarkan jika Carla berharap kalau Farrel memiliki standar wanita yang berkelas untuk dijadikan istri. Namun, sejauh ini Carla tidak pernah melukai fisiknya. Hanya kata-kata dengan suara ketus. Dan yang jauh lebih penting, Carla tidak bersikap kasar pada Rhona. "Bagaimana saya tidak senang, kalau saya diberikan kejutan seperti ini, Ma. Tanpa persetujuan Mama, saya yakin acara ini tidak akan terjadi. Terima kasih ya Ma, karena sudah melahirkan lelaki sebaik Farrel.""Dia bai
Untuk beberapa detik, Jessi menatap pelayan yang sedang membungkuk, meminta maaf. Sudah bertahun-tahun lamanya, tapi Jessi yakin kalau yang dia lihat sekarang adalah adiknya. Jessi terkejut dan tidak menyangka. Begitu juga dengan Farrel. "Kaila," panggil Jessi dan Farrel. Kaila memberanikan diri menatap Jessi. Karena Jessi menggunakan make up dan terlihat jauh lebih cantik, membuat Kaila ragu kalau yang didepannya saat ini adalah Jessi. Namun, saat Kaila melihat Farrel, ia yakin kalau didepannya ini adalah seorang kakak yang ia rindukan. "Kak Jessi." Mata Kaila berkaca-kaca. Ia ingin menangis dan memeluk Jessi. Namun, Kaila menahan diri karena saat ini dirinya sedang bekerja. Jessi juga harus menahan diri. Karena namanya sedang bekerja, harus menyelesaikan tanggung jawabnya. Niat awal setelah pulang dari pesta mereka akan pergi kesebuah hotel, tapi sekarang Jessi dan Farrel menunggu Kaila selesai bekerja. "Kakak." Setelah selesai bekerja, Kaila langsung menuju d