Wanita berbusana hitam formal itu mengetuk pintu ruangan direktur yang sedikit terbuka. Raymond Evans tampak berdiri di dekat meja direktur. Sementara kepala divisi keamanan di sana bersama dua orang staf yang tadi membantunya mengusir gembel.
Perempuan bertubuh biola itu pun melangkah masuk saat wakil direktur mempersilakannya. Laura mencoba mencuri-curi pandang, mencari dimana direktur barunya.Kursi di balik meja direktur tak terlihat sebagaimana mestinya. Tak menghadap ke arah stafnya yang bekerja, melainkan ke arah dinding di belakangnya. Laura menduga, direktur baru itu sudah duduk di sana, dan ingin memberikan kejutan.Laura Dean menduga kalau panggilan untuknya kali ini dikarenakan ia akan memperoleh penghargaan atas dedikasinya pada Richmond. Atau mungkin sang direktur baru ingin berbicara khusus dengannya. "Awal yang baik," kata Laura dalam hati. Seketika moodnya berubah saat ia menyadari kalau bukan hanyaLaura Dean menutup mulutnya seketika dan mengambil napas panjang. Mencoba menguasai keadaan saat ini.Pandangannya kini beralih pada petugas keamanan yang sama terkejut dengannya. Mereka bedua tampak saling sikut dan berbisik, entah apa yang mereka bicarakan.Kini, wanita berpakaian formal itu kembali melirik atasannya, bergantian dengan pria yang berada di balik meja direktur. Pria itu tampak duduk bersandar dengan salah satu kaki diletakkan di atas meja. Terlihat sungguh angkuh, sikap yang sangat berbeda dengan apa yang ditujukan saat berada di lobby tadi."Kau ingin mengatakan sesuatu Nona Dean?" tanya Nicko sambil mengangkat wajahnya, seolah ingin menantang Laura.Laura bergeming sesaat kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tampak berusaha keras untuk tidak tertawa, tapi gagal. Kemudian ia memandang ke arah Raymond Evans dan bertanya pada atasannya."Tuan Evans, maaf jika saya boleh tahu, apakah
Senyum kemenangan terukir pada wajah Howard saat dirinya memasuki ruang kerja Ibunya. Dalam benaknya, Howard ingin Ibunya segera tahu apa yang baru dilakukan oleh Josephine, keponakannya yang bodoh."Hal penting apa yang membawamu kemari Howard?" tanya Nenek sambil menurunkan sedikit kacamatanya."Aku hanya ingin menyampaikan kabar gembira padamu, Bu.""Tak ada hal yang menggembirakan selain investasi sebesar dua milyar dolar pada perusahaan Windsor," jawab wanita tua ini acuh.Ia memang sedang pusing dihadapkan dengan masalah perusahaan yang berangsur-angsur merugi. Jika tak segera mendapatkan investor, perusahaan Windsor terancam segera gulung tikar dan membuatnya hidup miskin.Wanita yang sudah terbiasa dipenuhi kemewahan ini tentu saja tak mau jika jatuh miskin. Apalagi bagi kedua anaknya, tak satupun dari mereka yang bisa bertahan dengan barang atau makanan murah. Terlebih Edmund yang malas.
Laura berdiri sambil berkacak pinggang. Ia semakin muak dengan apa yang diutarakan oleh Nicko. Dalam hati ingin sekali ia menjejali mulut Nicko dengan ujung sepatunya."Tuan Evans, apa Anda bisa menjelaskan kepada mereka, terutama untuk Nona Dean yang terhormat," kata Nicko yang sengaja menekankan kata terhormat untuk menyindir Laura."Baik Tuan Muda," jawab Raymond.Laura Dean mengernyitkan dahi, membuat wajahnya terlihat aneh akibat perawatan bedah estetika yang dilakukan olehnya. Ia mencoba mencerna kenapa atasannya menyebut Nicko adalah Tuan Muda.Namun ia memilih diam dan menghormati Tuan Evans yang tengah bicara memberikan penjelasan."Begini, seperti yang kalian semua ketahui, kalau Richmond Group telah beralih kepemilikan menjadi milik keluarga Lloyd," kata Raymond mengawali."Ya, kami tahu itu," kata Laura mewakili semua staf yang ada di ruangan itu."Kalian juga
Entah bagaimana menggambarkan ekspresi wajah Richard Nelson. Kelopak matanya menyipit dan menggigit bibir lantaran menahan emosi. Sebagai seorang pimpinan ia merasa malu karena gagal mendidik anak buahnya."Maafkan saya, Tuan Muda," katanya merasa segan pada direkturnya yang baru."Ini bukan salahmu karena tak mengetahuinya. Aku yakin kau tengah melakukan suatu hal saat kejadian memalukan itu berlangsung," jawab Nicko dengan bijaksana.Memang saat kejadian yang tak semestinya itu berlangsung, Richard Nelson tengah menemui tamu dari pihak kepolisian. Membahas tentang kerjasama dengan polisi mengenai pelatihan ketangkasan penggunaan senjata pada beberapa petugas keamanan yang terpilih."Ya, Tuan Muda. Namun kegagalan anggota saya, adalah kegagalan pada saya. Untuk itu saya akan memberikan hukuman atas tindakan indisipliner mereka," kata Richard."Kerjakan!" kata Nicko.Richard Nelson pun mu
Tiga anggota keluarga Windsor saling pandang. Tingkah Adrian dinilai bodoh oleh mereka. Sepertinya cinta telah membutakan kedua matanya.Segera Elizabeth memerintahkan cucu kesayangannya menyusul putra mahkota keluarga Law. Bagi wanita yang selalu mencepol rambutnya ini, Tuan Muda Law adalah aset yang harus dipertahankan. Karena ada nilai milyaran dollar di sana."Cepat kau susul Adrian, jangan sampai kita kehilangan dia!" perintahnya."Untuk apa Nek, bukankah dia akan menemui Josephine," Damian mencoba untuk memprotes."Bodoh sekali kau! Josephine baru meninggalkan ruangan beberapa menit yang lalu, belum tentu si pirang bodoh itu menemui Adrian. Apa kau tak ingat dengan penolakan dan sifatnya yang keras kepala?"Tanpa menunggu lagi, pria muda ini meraih ponselnya di meja dan berlari meninggalkan ruangan. Ia sudah tahu kemana arah pembicaraan dari neneknya.Usianya yang beberapa bulan lebih mud
Kembali Josephine memperhatikan apa pesan yang dituliskan oleh sang suami. Terasa begitu menenangkan, dan perlahan membuat hawa dingin di tangannya hilang secara perlahan."Tenang saja, Sayang. Kau pasti bisa bekerja sama dengan Richmond," tulis sang suami padanya. Seketika senyumnya merekah dan kembali percaya diri.Seorang pria berdasi melangkah ke arah Josephine dari meja resepsionis. Kemudian mengarahkan senyum padanya. Dalam hati, Josephine berpikir kalau pria itu adalah Raymond Evans yang akan ia temui.Wanita berparas cantik seperti Barbie itu pun berdiri dan menyambut Tuan Evans."Anda Nyonya Josephine Windsor?" tanyanya sopan.Ini pertama kalinya ia dipanggil Nyonya Josephine Windsor, semenjak menikah. Meski panggilan itu memberi kesan lebih tua, tapi ia bangga. Dengan begitu, ia bisa menunjukkan statusnya yang sudah tak lagi lajang."Benar, Anda pasti Tuan Raymond Evans?" tanya Joseph
Perempuan berambut pirang ini duduk dengan tidak nyaman. Jantungnya berdegup kencang selayaknya dentuman musik cadas yang memekakan telinga.Sudah lebih dari lima belas menit ia berada dalam posisi seperti itu, karena pria yang ia temui barusan tak kunjung kembali. Membuatnya semakin lama semakin cemas memikirkan kegagalan yang akan datang."Sepertinya apa yang kulakukan ini akan sia-sia. Apa sebaiknya aku pergi saja ya?" pikirnya.Namun, kembali ia mengingat wajah suaminya yang tampan dengan rahang persegi. Mata hazel yang selalu memberikan kesan nyaman apabila memandang dirinya."Ah kenapa aku tak mencoba mengirim pesan pada Nicko saja, dengan begini aku bisa membunuh rasa bosan yang melanda," batinnya, kemudian meraih ponsel pintar dari dalam tas tangannya."Sukses ya, Sayang."Ternyata sang suami sudah mengirimkan pesan padanya sejak tadi. Namun sepertinya saat itu, ia tengah berbincang dengan Tu
Wakil direktur itu menunjukkan proposal yang diberikan oleh calon kliennya yang kini menunggu di bawah. Namun direktur baru itu tak ingin melihatnya."Aku sudah mengetahuinya, aku yang membuat proposal ini bersama Istriku. Tolong kau tanda tangani saja surat perjanjian kerja sama dengan pihak Windsor. Agar tak menimbulkan kecurigaan mintalah pihak Windsor untuk menyerahkan salinan neraca keuangan tahunan mereka. Satu lagi, pastikan nama Josephine Windsor ada dalam perjanjian kita!" perintah Nicko.Keputusan yang dibuat Nicko semata-mata adalah untuk mendukung istrinya. Hidup dua tahun di tengah keluarga Windsor membuatnya paham bagaimana keluarga Windsor bersikap pada istrinya yang cantik."Aku akan mentransfer 60% dari total 3 miliar ke rekening perusahaan Windsor, sisanya akan kutambah minggu depan. Kau perlu mengadakan pertemuan dengan keluarga Windsor dan meninjau perusahaan mereka!" tambah Nicko lagi."Baik, Tuan M