"Alhamdulillah akhirnya papa melihat senyummu kembali lagi nak." Rio yang belum berani menatap wajah Inara hanya tertunduk. Waktu telah menunjukkan pukul 22:00 Rio dan psikolog itu berpamitan pulang. Mama dan papa Inara mengucapkan terima kasih dan menunjukkan perasaan bahagianya setelah melihat perubahan Inara. Sebelum beranjak pergi psikolog yang bernama Rosyi itu mengatakan besok pagi dia akan datang lagi untuk melanjutkan terapinya, dia juga tidak lupa meberi pesan kepada Inara untuk tetap semangat. Mendengar pesan itu Inara hanya mengangguk dan tersenyum. Sesekali Rio memberanikan diri melirik ke arah Inara untuk menatapnya, dia lega kini wajah Inara yang muram sudah kembali seperti semula. Rio dan psikolog itu berjalan keluar untuk pulang, namun disaat langkah kaki Rio beranjak pergi dari rumah Inara, terdengar Inara memanggilnya. "Rio, terima kasih." kata singkat dan dengan senyuman itu membuat hati Rio berdetak kencang lagi. Dia hanya membalas kata singkat Inara dengan angg
"Rio? ada dirumah Inara, ada apa ini? kenapa dia juga tidak menyapaku padahal dia jelas melihatku, bahkan senyum pun tidak." Hesti berjalan menuju pintu rumah Inara sambil terus berpikir dan penasaran kenapa Rio ada disini. Setelah memencet bel tampak dari dalam pelayan membukakan pintu dan menanyakan Hesti mau menemui siapa. Pelayan menyuruhnya masuk dan menunggu. Tak berapa lama Inara keluar dan menemui Hesti. "Nara, apa kabar kamu sayang? aku telpon kamu tapi nomer kamu gak aktif." Sapa Hesti sambil memeluk sahabatnya. "Maaf Hes aku baru hari ini nyalakan hand phone, dari kemarin aku gak enak badan pengen istirahat aja gak mau diganggu siapa siapa, kamu apa kabar maaf ya aku gak sempat pamit waktu itu." "Gak papa, gak masalah kok." Hesti penasaran dengan keberadaan Rio yang keluar dari rumah Inara , lalu dia bertanya kepada Inara. "Ra aku tadi di gerbang ketemu sama Rio, dia dari sini Ra?" Mendengar pertanyaan itu, Inara tampak kebingungan akan jawab apa, dia sempat terdiam s
Beberapa minggu setelah kejadian itu, Inara memutuskan untuk mulai kembali ke aktivitasnya dia mulai masuk mengajar sebagai dosen setelah cuti lumayan lama. Papa dan mama Inara sempat tidak mengijinkan putrinya itu beraktivitas kembali namun setelah Inara menjelaskan alasannya yang sudah mulai jenuh dan juga mungkin dengan mengajar dia bisa lebih terhibur maka orang tua Inara akhirnya mengijinkannya. Inara sempat ragu, karena dia takut disaat dia masuk Inara mendapat hinaan atas kejadian yang menimpannya, namun ketakutan Inara itu tidak terjadi, keadaan di kampus Inara nampak tenang saja ketika Inara datang, rupanya berita soal kejadian itu cepat di take down oleh papa Inara sehingga tidak sampai terdengar di kampus Inara. Beberapa dosen menanyakan kesehatan Inara yang cuti karena sakit hampir tiga minggu. Jam mengajar telah selesai, kegiatan hari ini membuat Inara kembali bersemangat kembali, dia mulai melupakan kejadian yang dia alami. Keluar dari kelas Inara menuju taman untuk be
"Aku akan tanggung jawab, kamu tenang ya kita berdoa saja dugaan kita salah." "Bukan masalah tanggung jawab saja ini Rio." Panggilan perawat menghentikan ucapan Inara. Mereka memasuki ruang periksa dan bertemu dengan dokter. Setelah mendengar cerita Inara dokter memintanya berbaring untuk melakukan pemeriksaan USG. Dalam keadaan takut tanpa disadarinnya tangannya menggenggam erat tangan Rio selama dokter memeriksanya. Alat USG ditempelkan pada perut Inara, Inara yang merasa ketakutan tidak melepaskan genggaman tangan Rio, melihat Ini Rio hanya tersenyum dia merasa seperti seorang suami yang tengah menemani istrinya periksa kehamilan Dokter memulai memeriksa perut Inara, dan benar yang seperti mereka duga dokter melihat ada setitik benih yang sedang tumbuh di rahim Inara. Dokter terus menjelaskan sambil menempelkan alat USG, dokter menjelaskan bahwa janin itu baru berumur dua minggu. Air mata Inara jatuh dia merasakan hancur untuk kedua kalinya setelah mengetahui kehamilannya. Dokter
"Aku gak mau dia tumbuh Rio aku gak mau aku gak mau." "Inara tenang, kamu tenang kita tunggu efek obat itu, jangan kamu minum lagi bahaya buat tubuhmu, aku tahu kamu tidak mau tapi bukan seperti itu Inara, itu janin yang tidak berdosa, kamu juga tidak berdosa, ini semua karena kesalahanku, kamu tenang aku kesana sekarang aku mau periksa keadaanmu." "Gak usah Rio biarkan aku sendiri, aku mau menenangkan diri dulu." Rio memikirkan apa yang akan terjadi kepada Inara, dia hanya berharap janin itu akan tetap tumbuh di rahim Inara sehingga dia bisa menikah dengan Inara dan selalu disampingnya. Rio yang masih berada di ruang dokter dia mencoba memejamkan matanya sebentar untuk menghilangkan penatnya pikirannya. Tiba tiba Nasrul datang dan mengagetkan Rio. "Wooii bro, belum pulang juga kamu?" "Belum, masih capek pengen rebahan bentar." "Capek mikirin Inara? cerita mungkin aku bisa bantu.""Ceritanya ya gitu lah Inara sekarang hamil, dan tadi dia coba berusaha menggugurkannya dengan minu
"Ya gitu lah Inara kalo Arga lagi sibuk dia pasti nglupain semua, lupa juga kalo ada yang lagi megkhawatirkan, terima kasih ya Nara kamu udah menkhawatirkan Arga dan juga udah ngertiin dia." Melihat sikap mama Arga yang begitu baik kepada Inara membuat mama Inara mengurungkan niatnya untuk menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Inara mama Inara tidak mai merusak hubungan Inara dan Arga yang enam bulan lagi akan menikah. Namun keputusan mama Inara ini diambil karena mama Inara belum mengetahui kalau saat ini di dalam rahim Inara sedang tumbuh janin anak dari Rio yang telah menidurinya dengan paksa satu bulan yang lalu. Inara juga memilih diam untuk tidak menceritakan apapun, walaupun dalam hati dan pikirannya tersembunyi kecemasan dan ketakutan tentang janinn yang ada di dalam kandungannya itu akan terus tumbuh, dan tidak gugur seperti yang dia mau karena hingga saat ini tidak ada tanda tanda efek dari obat itu. "Yuk makan siang, sudah siap semua.""Kok repot repot si
"Inara kamu kenapa?" "Aku mual banget hampir setiap hari aku seperti ini."Melihat Inara dalam keadaan seperti ini Rio tidak tega. Dia mengajak Inara pergi kedokter kandungan untuk memeriksakan kandungannya. Rio sangat menkhawatirkan keadaan Inara dan juga kandungannya yang terus terusan diberikan obat obat berdosis keras. "Kita kedokter, sebelum kedokter kandungan aku akan periksa keadaan kesehatan kamu dulu di tempat praktekku, aku khawatir kesehatanmu juga karena hampir setiap hari kamu mengkonsumsi obat obatan ilegal yang berdosia keras itu Inara." "Gak usah, kenapa kamu pedulikan aku, bukankah ini yang kamu mau dari aku, kamu meniduri aku dengan paksa, kamu menghancurkan aku, dan sekarang kamu peduli sama aku." "Kenapa kamu bicara begitu, jika itu tujuanku aku akan meninggalkanmu dan gak akan muncul dihadapanmu, jika itu tujuanku aku akan mebiarkan keadaanmu yang sedang depresi karena ulahku, dan jika itu tujuanku aku gak akan disini sekarang, kamu perlu tau Inara perasaanku
Semakin berusaha untuk membuang janin itu dari rahimnya, setiap hari dia mengonsumsi apapun yang bisa menggugurkan kandungannya. Mama Inara mulai mencurigai keadaan Inara, apalagi tubuh Inara semakin kurus dan pucat dikarenakan Inara yang tidak pernah mau makan. "Nara kamu sakit? mama lihat kamu agak kurusan dan juga pucat." "Gak Ma, Inara gak papa mungkin karena kecapean ma.""Bener kamu gak papa?" "Iya gak papa, Inara masuk kamar dulu ya ma Inara mau mandi terus istirahat bentar Inara pusing tadi jadwal ngajar aku full banget." Didalam kamar Inara mulai mengeluarkan obat obat yang baru dia beli dan meminumnya semua tanpa dia pedulikan dosisnya. "Keluar kamu, keluar dari perutku, aku tidak menginginkanmu." Tanpa ampun Inara terus menerus mengonsumsi obat obat itu, tapi berhari berhari obat itu tetap tak memberikan reaksi apapun, dia sudah mulai lelah dengan ini semua dan sudah kehabisan akal untuk berusaha membuang anak itu dari rahimnya.Hingga pada suatu hari Inara yang sudah