Share

Saatnya Bercerai

Terbongkarnya Pengkhianatan Suami dan Mertua

Part 6 :

Saatnya Bercerai

"Fiona, tunggu, Fi!" Fadil berusaha mengejar Fiona yang hendak masuk ke dalam kamar setelah mengusir Marta dari rumah.

"Ada apa? Kalau kamu juga tak suka aku mengusir wanitamu itu, kamu boleh ikut pergi seperti ibu kok Mas. Aku tak akan menahan sesuatu yang tak bisa kupertahankan," jawabnya terdengar pasrah. Ia tak ingin lagi mempertahankan cinta dalam hatinya seperti dulu.

"Kamu udah berubah, Fi. Kamu bukan Fiona yang kukenal dulu. Kamu tau, Fiona istriku dulu tak pernah sekasar ini. Dia selalu lembut dan memperlakukanku dengan sangat hormat," ujar Fadil mengungkap kekecewaannya.

"Kamu pikir aku mengenalmu yang sekarang? Enggak, Mas. Aku lebih tidak mengenalmu yang sudah mengkhianatiku. Hormati keputusanku jika kamu masih ingin mempertahankan rumah tangga kita!" Fiona berbalik dan masuk ke dalam kamar.

"Fi!" Fadil hendak mengejar sang istri tapi ditahan oleh Hamzah.

"Jangan sekarang! Fiona masih emosi dan semuanya bisa jadi kacau. Tunggu emosinya mereda!" pinta Hamzah yang dijawab Fadil dengan anggukan. Mereka mundur sejenak. Entah tengah mengatur rencana apalagi untuk kembali menyerang Fiona.

Sementara itu, Fiona yang kembali masuk ke dalam kamar, segera menguncinya dengan rapat. Ia memegangi dadanya yang berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukankah kemarahan selalu memunculkan hal seperti itu bagi orang yang tenang? Ia pun mengucap istighfar untuk menenangkan diri. "Semoga keputusanku ini benar," lirihnya sembari membuka ponsel yang bergetar. 

Ada pesan singkat yang masuk dari Nia untuk kontrol. Ya, karena masalah kemarin, Fiona jadi urung untuk memeriksakan kondisi kandungannya. Ia pun segera berangkat dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di nakas.

*

"Bu, kenapa kita harus jalan kaki? Bukan kah jarak hotel dari rumah sangat jauh?" tanya Marta kebingungan saat Fatma mengajaknya berjalan kaki dengan menarik koper menyusuri jalanan kampung di pegunungan.

"Siapa bilang kita akan menginap di hotel? Kalau kita berada di hotel, itu artinya Fiona akan merasa menang," jawabnya dengan tatapan licik.

"Tunggu! Apa maksud ibu? Kalau kita mau membuat Fiona menderita, kenapa justru kita yang terlihat menderita?" tanya Marta kebingungan. Ia sendiri sudah merasa lelah karena tak terbiasa jalan jauh, terlebih di kawasan pegunungan yang penuh dengan tanjakan dan turunan seperti itu.

"Mundur sedikit untuk mendapat kemenangan besar. Ikuti saja apa kata ibu! Yang penting, bayimu nanti bisa hidup enak. Mengerti?" bentak Fatma yang membuat Marta mengangguk cepat.

Namun di belakang Fatma, Marta malah mencibir karena kesal dibentak-bentak seperti itu. "Kalau aja aku gak butuh kamu, gak bakal aku nurut-nurut kayak gini," kesalnya dalam hati sembari terus berjalan dengan menarik dua koper, miliknya dan milik Fatma.

Fatma tersenyum saat melihat sebuah pos kamling di tengah kampung. Tak jauh dari sana, ada beberapa warga yang tengah berkerumun di tukang sayur untuk berbelanja. "Marta, sini!" Ia menarik lengan Marta dan membuat wanita itu terhuyung, hampir saja jatuh. Kemudian mengeluarkan obat tetes mata dari dalam saku.

"Mau ngapain, Bu?"

"Pura-pura menyedihkan di depan mereka. Kita harus cari simpatik warga," jawabnya sambil meneteskan obat mata itu ke Marta, lalu ke matanya.

"Ngapain? Apa pentingnya? Memang ada hubungannya dengan Fiona?"

"Ya jelas ada. Di sini tuh masih kental aturan normanya. Warga punya andil besar untuk mengucilkan seseorang yang dianggapnya tak baik dalam bermasyarakat. Paham kamu?" 

Marta mengangguk paham dan mengerti maksud perkataan Fatma. Ia tersenyum penuh arti begitu tau mertuanya berusaha untuk mengucilkan Fiona dalam pergaulan masyarakat.

Hal itu pula dulu yang dilakukan Fatma untuk bisa masuk dalam keluarga Hermawan dan membawa Hamzah sebagai tangan kanan Hermawan. Tujuannya hampir saja tercapai kalau saja putra kesayangannya tidak membawa masalah baru. Namun ia juga tak bisa menolak kehadiran cucu yang selama ini sangat dirindukan kehadirannya. Mau tak mau, Fatma harus melindungi keberadaan Marta.

"Awh!" Marta pura-pura hampir terjatuh hingga mengundang perhatian warga yang tengah berbelanja.

"Ya ampun, Nak. Hati-hati. Bulek tau hidupmu sekarang sedang susah tapi jangan sampai membahayakan janinmu," ujar Fatma dibuat dengan nada sedih dan sengaja menggunakan suara yang sedikit lebih keras.

"Loh, Bu Fatma kenapa?"

"Mau ke mana Bu pakai bawa-bawa koper segala?" cecar beberapa warga di sekitar sana.

"Mau pergi, Bu. Kita nggak ada pilihan lagi kalau si pemilik rumah meminta kita pergi," ujarnya sambil menangis yang dibuat-buat.

"Maksudnya Fiona ngusir Ibu? Kenapa? Terus wanita ini siapa?"

"Dia ini keponakan saya. Suaminya baru saja meninggal. Saya kasihan karena dia tinggal sendiri dalam kondisi hamil. Niat saya baik ingin mengajaknya tinggal di rumah. Tapi sepertinya Fiona tersinggung. Dia salah paham pada Marta karena selama ini belum bisa hamil. Jadi-" Fatma kembali menangis. Seolah tak sanggup mengungkap kenyataan yang tengah menerpa.

"Nggak nyangka Fiona setega ini."

"Beda banget ya sama orangtuanya."

"Beginilah akibatnya kalau dia kuliah merantau di kota orang. Jadi, terbawa pengaruh buruk di luar."

"Sebaiknya kita datangi saja. Bagaimana pun juga Pak Hermawan banyak berpengaruh dalam hidup kita. Kita harus mengingatkan anaknya agar tidak hidup di jalan yang salah."

"Iya, benar. Kasihan almarhum pasti sedih melihat anaknya tumbuh menjadi pribadi yang egois dan sombong."

Beberapa warga pun sepakat untuk mendatangi rumah Fiona. Sementara Fatma dan Marta menghapus airmata, lalu saling melempar tatapan dan tersenyum sinis.

Rencana mereka untuk menghasut warga berhasil.

*

"Alhamdulillah, semuanya udah membaik kok, Fi. Semoga kamu bisa segera dikaruniai anak ya? Aku akan bantu kamu buat ngalahin selingkuhan suamimu itu," ujar Nia begitu selesai melakukan pemeriksaan kandungan pada sahabatnya.

"Untuk sekarang, rasanya aku gak terlalu berharap, Ni. Keinginanku cuma satu, bisa lepas dari jeratan mereka. Tapi aku masih bingung dan ragu." Fiona beranjak dan duduk di depan meja Nia.

"Sholat tahajud. Minta petunjuk sama Allah sebelum mengambil keputusan besar," sarannya sembari menggenggam tangan sahabatnya untuk menguatkan.

Fiona mengangguk dan melengkungkan senyum.

"Ah, iya. Aku lupa, udah lama aku pengen cerita tapi kehilangan kontak denganmu dan baru dapat belakangan kemarin pas Dokter Mira ngrujuk kamu ke aku," terangnya mengingatkan pertemuan kemarin. Nia dan Fiona memang lama bersahabat, namun sempat hilang kontak saat mereka wisuda dan Nia harus mengalami masa-masa terpuruk dalam hidupnya. Ia ditinggal kabur calon suaminya seminggu menjelang akad nikah. Sejak saat itu, Nia menutup akses komunikasi dengan siapapun hingga berhasil meraih spesialis dan dipertemukan lagi dengan Fiona melalui Dojter Mira, langganan dokter kandungan Fiona yang pindah kedinasan.

"Ah, iya. Coba aja gak ada kejadian kemarin, pasti reuni kita menyenangkan. Tapi-" Fiona kembali menekuk wajah, sedih.

"Sudah lah! Yang penting kamu harus bangkit sekarang. Oh ya, ini mengenai Yusuf," ujar Nia yang membuat Fiona mengerutkan kening. Yusuf, Fiona dan Nia bersahabat sejak SMA. Namun karena mengambil masa depan yang berbeda, mereka pun akhirnya jarang berkomunikasi. Fiona lebih menyukai desain, sedang Nia di bidang kesehatan dan Yusuf kini menjadi seorang abdi negara saat ini. Ya, sebagai polisi.

"Yusuf? Memang ada apa dengannya, Ni? Terakhir kali aku ketemu pas resepsi nikahanku."

"Tiga tahun yang lalu, dia mengirim email padaku dan menanyakan beberapa kegunaan obat, tapi belum sempat kubalas karena tau sendiri kan apa yang menimpaku saat itu? Aku benar-benar terpuruk sampai mengabaikan hidup orang-orang terdekatku. Dia bilang ada yang gak beres sama meninggalnya ayahmu," ungkapnya yang membuat Fiona semakin penasaran.

"Ayahku? Maksud kamu Yusuf datang ke pemakaman ayahku saat itu? Tapi, kenapa aku tak melihatnya?" cecar Fiona semakin penasaran.

Nia menaikkan bahu sebagai pertanda jawaban. "Lusa Yusuf dipindahtugaskan ke sini lagi. Kita temui dia untuk tanya kejelasannya. Bagaimana?" usul Nia yang langsung disetujui oleh Fiona.

Wanita itu pun tak sabar ada misteri apa lagi dalam keluarganya yang tak diketahui. Apa sebuah pengkhianatan lagi? Fiona hanya bisa menunggu sampai bertemu lagi dengan Yusuf dan meminta penjelasan dari sahabatnya itu.

Ia pun lalu pamit pulang pada Nia. Entah kenapa tiba-tiba perasaannya jadi kacau. Seperti ada sesuatu yang mengusik ketenangan jiwanya.

*

"Nduk! Gawat, Nduk! Gawat!" Mak Yem menghampiri Fiona yang baru saja pulang dan memarkir mobilnya.

"Gawat kenapa, Mak? Ada masalah apa?" cecarnya yang juga panik melihat ekspresi Mak Yem.

"Warga habis dari sini mendemo kamu, Nduk. Katanya kamu ini kejam, gak punya perasaan. Beda sama Pak Hermawan dulu. Mereka mogok kerja kalau sampai perkebunan jatuh ke tanganmu, Nduk. Gawat!" papar Mak Yem yang membuat Fiona semakin terkejut.

Bagian mana dari keputusan dan sikapnya yang telah melukai hati warga? Hidup di dalam lingkungan yang masih menjunjung kebersamaan, kepedulian dan adat istiadat dalam masyarakat, membuat Fiona harus berhati-hati dalam bersikap maupun mengambil tindakan. Begitulah ajaran sang ayah dulu. Tapi ia masih tak mengerti, apa yang telah ia perbuat hingga membuat warga berpikiran buruk tentangnya?

"Memang apa yang salah dariku, Mak? Kenapa mereka bicara sekasar itu?" tanya Fiona semakin penasaran.

"Emak denger, mereka marah karena kamu ngusir mertua kamu dan keponakannya yang hamil besar."

"Apa? Jadi ibu ngakuin Marta sebagai keponakannya? Luar biasa." Fiona yang terkejut pun langsung tertawa. Tak menyangka mertuanya bisa selicik itu. "Emak percaya?"

"Percaya nggak percaya sih, Nduk. Memang siapa sebenarnya wanita hamil itu?" tanya Mak Yem yang sudah penasaran sejak pagi.

"Selingkuhannya Mas Fadil," ungkap Fiona dengan tatapan nanar. Sementara Mak Yem langsung melongo mendengarnya. "Menurut Emak, apa yang harus aku lakukan?"

"Emak juga bingung, Nduk. Kalau kamu jelasin ke warga, rasanya percuma. Mereka sudah terlanjur sama mulut manis Bu Fatma. Bukankah yang benci tak akan mau mendengar penjelasan dari kita? Sekalipun itu sebuah kenyataan."

"Benar, Mak. Mungkin ini saatnya aku harus mengakhiri semuanya." Fiona pun memilih untuk mengambil keputusan dengan cepat dan melepaskan semua yang sudah membebani hidupnya selama ini. Ia tak sanggup untuk mengurangi beban. Mungkin jalan terbaik adalah melepaskan penyebabnya.

"Maksud kamu apa, Nduk?"

"Aku akan menghubungi pengacara keluarga, Mak. Aku ingin bercerai dari Mas Fadil."

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status