Share

Tak Ingin Tertindas Lagi

Terbongkarnya Pengkhianatan Suami dan Mertua

Part : 4

Tak Ingin Tertindas Lagi

"Jadi maksud kamu, aku yang selingkuhanmu, Mas? Lalu kenapa kamu menikahiku kalau yang kamu cintai itu dia, bukan aku?" Fiona menatap tajam suaminya yang duduk sebangku. Namun jarak mereka sangat jauh. Perasaan sangat kecewa karena selama ini tak pernah tau jika masih ada cinta wanita lain di hati suaminya.

"Enggak, Fi. Kamu bukan selingkuhanku. Aku menikahimu karena aku cinta sama kamu. Saat Marta menghilang tiba-tiba, kamu hadir mengisi kekosongan di hatiku. Itulah kenapa aku langsung melamarmu. Aku tak ingin kehilanganmu sama seperti saat aku kehilangan Marta," papar Fadil dengan polosnya. Tanpa disadari, penjelasan itu sangat melukai hati Fiona.

"Dan sekarang cinta pertamamu itu kembali? Lalu kenapa kamu gak mau melepasku?"

"Karena aku juga mencintaimu, Fi. Aku nggak bisa memilih salah satu dari kalian. Aku juga gak bisa membantah ucapan bapak. Kumohon mengertilah! Cobalah hidup dengan damai bersama Marta! Aku janji akan bersikap adil padamu dan Marta," pinta Fadil memohon sambil menggenggam tangan Fiona. Tapi wanita itu dengan cepat menghempasnya.

"Enggak, Mas. Aku gak bisa. Kamu egois karena hanya mementingkan perasaanmu sendiri." Fiona hendak beranjak meninggalkan Fadil. Tapi lagi-lagi pria itu menghalanginya.

"Fi, semakin kamu menentang, ibu akan semakin memusuhimu. Aku gak mau itu terjadi. Aku hanya ingin kedamaian di rumah ini. Aku mohon, berdamailah dengan keadaan!"

"Aku gak akan pernah bisa berdamai dengan keadaan sampai wanita itu pergi dari rumahku," sengit Fiona sembari mendorong suaminya dan melangkah pergi. Ya, rumah itu adalah rumah peninggalan almarhum orangtua Fiona. Keluarga Hamzah hanya menumpang di sana karena Hermawan sudah menganggap mereka seperti keluarga. Hamzah memang sudah lama bekerja untuk Hermawan. Bahkan semua urusan perkebunan sudah diserahkan pada Hamzah sejak Hermawan sakit-sakitan. Itulah kenapa Fiona sangat menghormati Hamzah dan Fatmah seperti orangtuanya sendiri. Karena mereka adalah orang-orang kepercayaan sang ayah. Namun, siapa sangka jika ternyata mereka berkhianat dan menyakiti hatinya. 

Wanita itu gamang. Tak tau apa yang harus diperbuat. Bahkan untuk mengambil keputusan besar saja, rasanya dia belum sanggup.

Saat hendak masuk ke dalam kamar, tiba-tiba Hamzah menghampiri. "Fi, boleh Bapak bicara sebentar denganmu?"

Meski sebenarnya Fiona enggan untuk berbicara dengan orang yang telah berkhianat itu. Namun ia tak punya pilihan. Bagaimana pun juga, Hamzah lebih tua darinya. Selama ini, Hamzah selalu bersikap baik padqnya dibanding Fatma.

"Silakan, Pak!" Fiona urung masuk ke kamar dan berdiri di depan pintu.

"Bapak gak sengaja dengar pembicaraanmu dan Fadil tadi. Kamu tau sendiri kan kalau Fadil juga masih mencintaimu. Bertahanlah sebentar! Bapak gak ingin rumah tanggamu dan Fadil berantakan hanya karena Marta. Kamu dengar sendiri, Marta pernah hadir lalu pergi. Pasti dia juga tak akan lama tinggal di sisi Fadil. Percayalah! Kalau perlu, rebut perhatian Fadil kembali! Bapak gak bisa berbuat apa-apa selain memberi saran padamu. Karena di sisi lain, dia juga sedang mengandung cucu kami. Seandainya saja kamu juga bisa ham ...." Hamzah menghentikan ucapannya dan membuat Fiona tersenyum kecut.

"Hamil, Pak? Bapak bicara saja yang jelas. Bukankah hanya hamil satu-satunya alasan kalian mengkhianati aku? Kalau saja Bapak tau, kesetiaan itu tak perlu alasan apapun untuk tetap bisa bersama. Permisi, Pak. Saya mau sholat dulu." Fiona pamit dan lalu masuk ke dalam kamar.

Hamzah hanya membuang myka, kesal dengan perlakuan Fiona yang tak bisa hormat lagi padanya. "Dasar anak manja, keras kepala! Susah banget dibilanginnya," lirihnya sambil menggeleng dan berlalu pergi.

*

Usai salat isya, Fiona mondar-mandir sendiri di dalam kamar. Perasaan masih gelisah memikirkan apa yang harus diperbuat. Bercerai dan mengusir mereka semua dari rumah? Lalu bagaimana dengan perkebunan sang ayah? Jika ini hanya tentang hidupnya, mungkin Fiona bisa mengambil keputusan atas dasar perasaan. Tapi ini tentang para warga yang bekerja padanya. Hanya Fadil yang bisa mengurusi perkebunan. Ya, alasan lain sang ayah memilih Fadil menjadi menantunya, karena pria itu lulusan sarjana pertanian. Berbeda dengan Fiona yang memilih mengambil desain, Fadil lebig menurut pada keinginan Hamzah, dulu.

Pernah suatu kali, Fadil dan Hamzah pergi mengurus pekerjaan lain di luar. Perkebunan jadi kacau detik itu juga. Gagal panen dan banyak hama menyerang menjadi masalah terbesar. Fiona tak sanggup mengatasi permasalahan itu. Sementara Hermawan yang sudah sakit keras, memintanya untuk menghubungi Hamzah dan Fadil agar mereka kembali untuk mengurus perkebunan.

Aku harus gimana, Yah? Haruskah juga mementingkan egoku?

Tepat saat itu ponsel berdering. Nama Nia tertera di sana.

"Assalamualaikum," sapa Fiona setelah menggeser screen layarnya.

"Waalaikumsalam. Gimana keadaanmu sekarang, Fi?" tanya sang sahabat tanpa basa-basi.

"Nggak karuan, Ni. Aku bingung apa yang harus kuperbuat. Tadi pagi pertama kalinya aku memergoki suamiku selingkuh. Maaf ya jika aku tadi emosional banget. Pikiranku bener-bener gak keruan," paparnya yang membuat Nia di seberang sana mengangguk, paham.

"Jangankan kamu yang istrinya! Aku aja yang gak pernah tau wajah suami kamu juga shock. Soalnya udah beberapa kali juga mereka periksa ke tempatku sejak kembali ke kota ini. Coba aja aku tau lebih awal."

"Semua udah terjadi, Ni," ujar Fiona dengan nada putus asa.

"Fi, kamu kuat. Inget! Fiona yang aku kenal semasa SMA dulu nggak selemah ini. Kamu bisa menghadapi semuanya."

"Aku kacau, Ni. Terlebih wanita itu ikut tinggal di rumahku," ujar Fiona berkeluh kesah. Pertemuan kembali dengan sahabat lama, mungkin menjadi berkah tersendiri baginya. Setidaknya, ia punya tempat lain untuk berkeluh kesah layaknya saudara.

"Apa? Dia tinggal di rumahmu dan kamu diem aja? Ayolah, Fi! Ini bukan Fiona yang aku kenal dulu. Kamu dulu selalu gak suka barang atau tempatmu disentuh orang lain. Masa sekarang kamu diem aja?"

Percakapan dengan Nia selama beberapa jam membuat Fiona yang sempat terpuruk seolah mendapat kembali jati dirinya. Ya, Fiona yang dulu tak selemah saat ini. Bahkan, ia hanya punya beberapa sahabat karena terkesan jutek. Kebaikannya hanya untuk orang yang benar-benar baik.

Netra pun kemudian memandang pada jam dinding yang menunjuk angka sebelas. Ia menatap ke arah pintu yang masih hening. Tak ada tanda-tanda pintu dibuka ataupun ketukan yang terdengar.

"Baiklah. Ini kemauanmu, Mas. Kamu yang salah tapi tak ada sedikit pun niatmu untuk datang dan membujukku. Jangan salahkan aku jika besok pagi aku akan mengusir orang yang telah mengusik hidupku! Aku sendiri yang akan melemparnya keluar dari istanaku agar aku bisa berdamai kembali dengan keadaan," lirihnya dengan hati getir. Selama menikah dengan Fadil, pribadinya benar-benar berubah. Tapi, sekarang Fiona tak ingin tertindas lagi.

Bersambung....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau itu g berguna fiona. percuma kaya klu tolol. mampuslah kau. memberi makan para pengkhianat. klu g bisa mengelola perkebunan itu maka jual saja. beres urusan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status