Share

Cinta Pertamaku

Terbongkarnya Pengkhianatan Suami dan Mertua

Part 3 :

Cinta Pertamaku

"Maaf ya Pak, Bu! Karena badanku lemas tadi, jadi ngrepotin kalian. Kalau aja kalian nggak nganter aku periksa, pasti kalian dan Fiona gak akan ribut besar seperti ini." Marta tertunduk merasa bersalah. Ia berpura-pura mengusap airmata yang sebenarnya tak jatuh sedikit pun.

Fatma mendadak iba dan menaruh simpatik pada wanita yang telah mengandung cucunya. Ia langsung mendekat dan memeluknya. "Sudahlah! Jangan hiraukan Fiona! Ini memang sudah kewajiban kami sebagai calon kakek dan nenek. Yang penting bayimu baik-baik saja. Lagi pula, Fiona aja yang terlalu membesar-besarkan masalah. Harusnya dia senang gak dicampakkan begitu saja oleh Fadil. Gak bisa hamil aja belagu. Dasar wanita gak tau cara berterima kasih!" hardik Fatma dengan tatapan penuh kebencian.

"Sekali lagi terima kasih ya, Bu. Kalau begitu aku pulang dulu ya? Nggak enak kalau lama-lama tinggal di sini. Fiona pasti akan lebih marah lagi nanti," pamit Marta yang dijawab anggukan oleh Fatma.

"Aku antar Marta dulu ya, Bu?" ijin Fadil pada sang ibu. Apapun yang ia lakukan harus selalu dengan ijin sang ibu. Jika tidak, Fatma bisa marah dan mengusirnya, sama seperti kakaknya yang sudah lama pergi karena pertengkaran dengan sang ibu.

"Iya, hati-hati ya kalian."

Baru saja akan beranjak, tiba-tiba Marta kembali terduduk di kursi dengan memegangi perut dan kepalanya. "Awh!" pekiknya yang membuat Hamzah, Fatma dan Fadil terkejut. Mereka sontak mendekat pada Marta.

"Kamu kenapa? Sakit lagi?" tanya Hamzah cemas.

Marta mengangguk lemah. "Iya, Pak. Gak tau kenapa ini tiba-tiba kepala pusing banget dan perut rasanya kaku."

"Terus gimana? Nggak mungkin kalau kamu tetap pulang. Kan kamu di rumah sendirian. Kalau ada apa-apa lagi gimana?" ujar Fadil panik sambil merangkul Marta.

"Sebaiknya kamu pindah ke sini aja. Toh, Fiona juga udah tau semuanya," timpal Fatma dengan entengnya.

"Terus apa kata orang nanti? Nggak mungkin kan kita bilang kalau Fadil poligami. Pasti itu akan membuat warga jadi kurang respect lagi sama Fadil. Ingat, di sini Fadil sudah sangat dihargai oleh warga kampung dan para pekerja." Ucapan Hamzah membuat Fatma dan Fadil hening. Keduanya nampak berpikir.

"Maaf, aku gak berniat untuk merepotkan. Sebaiknya aku pulang aja." Baru saja Marta hendak berdiri, tiba-tiba Fatma menyela.

"Kita bilang saja kalau Marta ini keponakan jauh kita. Gimana, Pak?"

Usul Fatma pun seketika disetujui oleh Hamzah dan Fadil. Marta tersenyum kegirangan. Namun hanya disembunyikannya dalam hati. Tujuannya untuk bisa masuk ke rumah megah itu akhirnya terwujud. Meski harus disembunyikan statusnya, setidaknya kehidupan bayinya nanti akan terjamin jika tinggal di sana.

*

Kehidupan memang terkadang tak adil. Begitulah yang dirasa Fiona. Seharian ia berdiam di kamar, tak satu pun dari mereka yang membujuknya untuk turun atau sekadar basa-basi menawari makan. Sikap mereka benar-benar berubah dibanding pertama kali saat masuk ke rumah itu. Fiona tak habis pikir jika orang terdekatnya mampu berlaku sekejam itu.

Beberapa saat hanyut dalam keterpurukan, Fiona pun akhirnya memutuskan keluar dari kamar untuk menghadapi kenyataan. Ia sadar tak baik terus-terusan larut dalam kesedihannya sendiri. Pasti di luar sana ada yang bahagia dengan keterpurukannya. Benar saja, sesampainya di lantai bawah, netra mendapati Marta dengan manjanya dilayani Fadil di meja makan. Hati pun semakin tersayat melihatnya.

"Mas Fadil," pekiknya lirih sembari memegangi dada yang terasa perih melihat suaminya memanjakan wanita lain.

"Mas, jangan kasih lihat udang itu di depanku! Aku mual lihatnya," ujar Marta yang membuat Fiona akhirnya memilih untuk membuang muka. Sementara Fadil dengan telaten melayani Marta yang bersandar di bahunya.

Wanita berusia 27 tahun itu memilih untuk menegarkan diri kembali sebelum turun menghadapi mereka.

"Sepertinya cinta sangat mampu mengalahkan rasa malu, ya?" sindir Fiona sembari menuju dapur. Ia tak sudi makan semeja atau bahkan satu menu dengan wanita yang sudah merebut suaminya. Ia memilih memasak sendiri di dapur.

"Maksud kamu aku gak tau malu, Fi?" tanya Marta menghentikan aktivitas makannya dan mulai menampakkan wajah tersinggung mendengar ucapan Fiona.

"Fi, tolong jangan mulai lagi!" Kali ini Fadil kembali membela Marta.

"Siapa yang mulai sih? Kamu atau aku, Mas? Lucu ya? Jaman sekarang itu mudah banget tersangka merasa jadi korban." Fiona acuh tak acuh dan mengambil nasi untuk digoreng.

"Kalau kamu mau marah, marah aja sama aku. Semua ini memang salahku, bukan salah Marta. Jadi, tolong jangan salahin Marta! Dia ini lagi hamil. Aku gak mau dia jadi stres karena masalah kita," papar Fadil penuh penekanan yang membuat Fiona tersenyum getir.

"Mana bisa sampai hamil kalau yang salah cuma satu pihak. Lucu deh kamu. Lagian kalau pun dia sampai stres, itu bukan karena masalah kita. Tapi masalah dia juga," jawab Fiona enteng lalu menghampiri Marta. "Bener, kan? Rumah tanggaku bermasalah juga karena kamu. Otomatis ini masalah kita bersama," bisiknya dengan tersenyum sinis.

"Cukup, Fi! Kamu gak perlu mengintimidasi Marta seperti itu. Bagaimana pun juga dia lah yang bisa memberikan anak pada Fadil dan cucu pada kami, bukan kamu." Fatma tiba-tiba muncul dan membela menantu kesayangannya.

"Meski prosesnya salah?" sahut Fiona tak lagi gentar menghadapi siapapun di rumah itu.

"Yang penting hasilnya. Dari pada kamu-" Belum sempat Fatma melanjutkan kalimatnya, Fadil mencoba menenangkan sang ibu.

"Sudah, Bu! Gak usah diperpanjang."

Fiona menatap sekilas penuh kebencian, lalu pergi dengan membawa sepiring nasi ke halaman belakang rumah. Batin terasa perih disudutkan di rumah sendiri. Hanya karena satu masalah, kebaikannya lenyap begitu saja.

Apa ini salahku karena tak bisa memiliki anak? Jika diperbolehkan memilih, aku pun ingin hidup normal seperti wanita lainnya. Lebih baik kehilangan semua harta ini dari pada hidup tanpa seorang anak.

Fiona menyuap makanan ke mulut dengan airmata yang berderai. Tiba-tiba sebuah tangan muncul menepuk bahunya. "Fi!" Suara itu tak asing di pendengaran. 

Dengan cepat Fiona menghapus airmata yang terlanjur menetes.

"Maaf aku telah membuatmu terluka seperti ini." Fadil duduk di samping Fiona yang malah menjauhkan diri dari sang suami.

"Bagus lah kalau kamu sadar akan kesalahanmu, Mas."

"Tapi aku tak bisa menolak perasaan ini, Fi. Aku lebih dulu mencintai Marta dibanding kamu."

"Apa? Jadi kamu sudah lama mengenal dia?" Fiona terperanjat mendengar penuturan sang suami yang dengan gamblang dan tanpa rasa malu menjelaskan semuanya setelah apa yang dilakukan pada sang istri.

"Ya, dia cinta pertamaku."

Bersambung. . .

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
banyak drama kau njing. kau memang pantas makan filuar kayak binatang. kirain kau kuat dan tegas. ternyata menye2. makanya jgn bergantung sama suami kayak benalu njing. mampuslah kau dg semua kebodohan mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status