Share

Kejutan di Pagi Hari

Terbongkarnya Pengkhianatan Suami dan Mertua

Part 5 :

Kejutan di Pagi Hari

Meja makan sudah dipenuhi oleh Hamzah, Fatma, Marta dan Fadil. Fiona sengaja turun lebih telat. Namun ia sudah bangun sejak subuh tadi. Hati tersayat begitu keluar dan mendapati Fadil berada di kamar Marta, pagi tadi. Kemudian, ia pun memutuskan kembali ke kamar untuk memberi kejutan pada mereka.

Ya, keputusannya kini sudah bulat.

Fiona yang baru keluar dari kamar, mendapati Mak Yem--asisten rumah tangganya--lewat. "Mak, semua orang ada di meja makan, ya?" tanyanya sambil menatap ke bawah.

"Iya, Nduk. Wanita di bawah itu siapa? Kok Mak baru lihat?" tanya wanita berusia 55 tahunan itu penasaran. Pasalnya, kemarin dia cuti karena harus membantu tetangganya yang punya hajat. Istilah jawanya, rewang.

"Pengusik kedamaian, Mak," jawab Fiona singkat tapi membuat Mak Yem paham karena Mak Yem bukan setahun dua tahun mengenal Fiona, melainkan sejak gadis itu kecil. Ya, Mak Yem sudah lama membantu ibunya Fiona untuk mengurus Fiona.

"Terus mau diapain?" tanya Mak Yem makin penasaran karena sejak pagi ia pun tak suka dengan sikap Marta yang seenaknya menyuruh, tanpa punya sopan santun. Fiona saja yang merupakan pemilik rumah, selalu sopan dan menghormatinya yang lebih tua. Selalu menggunakan kata tolong setiap akan menyuruh. Tapi, Marta seenaknya menyuruh seperti menempatkan diri sebagai majikan di rumah itu. 

"Bantuin aku nyingkirin dia ya, Mak? Aku mau ngemasin barang-barangnya diam-diam," ujar Fiona yang langsung diiyakan sama Mak Yem.

"Yo wes, Nduk. Ayo, emak bantu! Biar emak yang kemasin. Kamu kasih induksi aja. Oke?" Mak Yem menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya hingga membentuk seperti huruf O.

"Induksi? Instruksi maksudnya Mak?" tanya Fiona keheranan mendengar kata tak biasa yang keluar dari wanita tua itu.

"Embuh, Nduk. Pokok yang artinya perintah itu," jawab Mak Yem yang membuat Fiona terkekeh.

"Oke deh, Mak. Apapun asal Emak senang." 

Keduanya pun langsung masuk ke kamar tamu yang digunakan Marta. Meski sudah tua, Mak Yem selalu cekatan jika berurusan dengan pekerjaan rumah. Tak butuh waktu lama, baju yang semalam baru dirapihkan di lemari, kini sudah tertata rapih di dalam koper.

"Nduk, beres," ujar Mak Yem sembari menyerahkan koper pada Fiona.

"Oke, Mak. Maturnuwun, nggih?"

"Sami-sami, Cah Ayu. Emak ke belakang dulu, ya? Semoga makhluk itu segera tersingkir dari kehidupan yang damai ini," pamitnya sambil berlalu pergi. Mak Yem pun keluar dan melanjutkan kembali pekerjaan lainnya.

Sementara Fiona langsung menyeret koper itu melewati meja makan dan melemparnya keluar. Marta yang bisa mengenali koper miliknya itu seketika langsung tertegun dan menghentikan aktivitas makannya.

"Mas, tunggu! Itu kan koperku. Mau dibawa ke mana sama Fiona?" 

Semua pun langsung menoleh dan mengejar Fiona yang melempar koper itu keluar ke halaman rumah.

"Fi, tunggu! Apa-apaan ini? Kenapa kamu membuang koper Marta?" tanya Fadil terkejut menghampiri Fiona. Sementara Marta langsung berlari memungut kopernya.

"Kamu nggak lihat, Mas? Aku nggak hanya membuang kopernya tapi juga pemiliknya," jawab Fiona sembari mengibaskan kedua tangan seperti orang yang baru saja membuang sesuatu yang dia benci.

"Kamu ngusir Marta?" Fatma yang terkejut pun langsung menatap Fiona. Sementara Hamzah hanya bisa menarik napas panjang dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Menurut Ibu?" Fiona hanya menaikkan bahu melihat wajah keempat orang itu cemas. Pasalnya, selama ini Fiona selalu menurut perkataan Hamzah dan Fatma karena menganggap mereka sebagai pengganti orangtua. Tapi kenapa bisa mendadak berubah seperti ini?

"Enggak, Fi. Kamu gak bisa seenaknya ngusir aku dari rumah ini karena aku juga lagi hamil dan mengandung anak pemilik perkebunan ini," ujar Marta yang membuat Fiona terbahak mendengarnya.

"Maksud kamu, kamu lagi hamil anak ayahku? Jadi, sebenarnya siapa ayah dari bayi ini? Suamiku atau pemilik perkebunan ini yang tak lain adalah almarhum ayahku?" ledek Fiona yang akhirnya tau apa motif Marta mendekati Fadil. "Sayang ya kamu belum tau apa-apa. Asal kamu tau ya, rumah dan semua perkebunan ini bukan milik keluarga Mas Fadil, tapi milik orangtuaku dan aku sebagai anak tunggal mereka lah yang mewarisinya. Paham?" papar Fiona dengan penuh penekanan yang membuat Marta terhenyak dan memandangi Hamzah, Fatma serta Fadil secara bergantian.

Wajahnya nampak menunjukkan sebuah kekecewaan. Berpikir jika janinnya akan menjadi pewaris semua harta dan perkebunan itu, nyatanya salah.

Fiona memandangi mertua dan suaminya yang tertunduk dengan rasa puas. Lalu berbalik hendak masuk ke dalam rumah. Ada kelegaan dalam hati bisa melakukan apa yang diinginkan sejak kemarin. Namun baru saja kaki melangkah, tiba-tiba terhenti oleh ucapan Fatma.

"Tunggu, Fi! Kalau kamu mengusir Marta, itu artinya kamu mengusir ibu juga. Ibu gak akan membiarkan wanita yang mengandung cucu ibu terlunta-lunta hidup di jalanan," ancamnya sambil tersenyum sinis. Ia tau pasti dengan ancaman itu, Fiona akan berubah pikiran. Cintanya pada Fadil yang selama ini sangat besar, mampu menempatkan Fatma menjadi ratu di rumah itu, meski bukan milik keluarga Hamzah.

Fiona tertegun sesaat dan tak berani menoleh. Hatinya berdesir hebat. Lagi-lagi ia dipaksa mengambil keputusan besar. Bukannya tak tau balas budi karena telah dijaga oleh mereka. Tapi mereka sendiri yang membuat keputusan itu. Wanita itu pun memejamkan mata dan menarik napas panjang. Lalu membukanya lagi dan menoleh.

"Silakan! Kalau Ibu memang mau menemani wanita yang mengandung cucu Ibu untuk pergi, aku nggak bisa menolak. Bukankah itu keputusan ibu sendiri? Dan aku nggak punya hak untuk melarang."

"Fi!" Kali ini Fadil memanggilnya dengan suara lirih.

"Siapa saja yang mau ikut pergi, silakan! Aku nggak akan melarang kalian. Tapi aku juga gak pernah menyuruh kalian untuk ikut pergi." Fiona pun kembali masuk ke dalam rumah dengan menegakkan badan. Menampakkan wajah seolah kini ia tak bisa ditindas lagi. Namun sesampainya di kamar, ia langsung memegangi dada yang berdegup lebih kencang dari biasanya.

Ya Allah, semoga keputusanku ini benar.

Sementara di luar rumah, Marta yang sangat kecewa dengan kenyataan yang didapat, menampakkan wajah kesal sekaligus sedih. Fatma langsung merangkulnya.

"Bagaimana ini, Bu? Ke mana kita harus pergi?" tanyanya cemas. Ia terlanjur menjalani kehidupan sebagai selingkuhan Fadil. Mundur pun rasanya tak mungkin karena ia sudah terlanjur hamil.

"Tenang saja. Ibu akan mengatur siasat untuk membuat Fiona tak berkutik dan terpaksa menerima kita kembali di rumah ini," yakinnya dengan tatapan sinis.

"Kalian pergi saja ke hotel dulu. Nanti biar Bapak dan Fadil yang berusaha membujuk Fiona," pinta Hamzah mencoba menenangkan mereka. "Ayo, Dil!" Hamzah dan Fadil pun masuk ke dalam.

Marta memandang sinis ke rumah itu. "Lihat aja, Fi! Suatu saat nanti, aku akan merubah keadaan. Akan kubuat kamu terlempar dari rumahmu sendiri," sumpahnya dalam hati sembari menatap sengit.

*

"Nduk! Gawat, Nduk! Gawat!" Mak Yem menghampiri Fiona yang baru saja pulang dan memarkir mobilnya.

"Gawat kenapa, Mak? Ada masalah apa?" cecarnya yang juga panik melihat ekspresi Mak Yem.

"Warga habis dari sini mendemo kamu, Nduk. Katanya kamu ini kejam, gak punya perasaan. Beda sama Pak Hermawan dulu. Mereka mogok kerja kalau sampai perkebunan jatuh ke tanganmu, Nduk. Gawat!" papar Mak Yem yang membuat Fiona semakin terkejut.

Bagian mana dari keputusan dan sikapnya yang telah melukai hati warga? Hidup di dalam lingkungan yang masih menjunjung kebersamaan, kepedulian dan adat istiadat dalam masyarakat, membuat Fiona harus berhati-hati dalam bersikap maupun mengambil tindakan. Begitulah ajaran sang ayah dulu. Tapi ia masih tak mengerti, apa yang telah ia perbuat hingga membuat warga berpikiran buruk tentangnya?

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si anak manja bisa apa selain mengangkang dan menadahkan tangan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status