Share

Tak Boleh Bercerai

Terbongkarnya Pengkhianatan Suami dan Mertua

Part 2 :

Tak Boleh Bercerai

Fiona mengangguk lemah untuk mengiyakan pertanyaan Dokter Nia yang memastikan kembali jika pendengarannya tak salah.

"Maaf!! Aku telah menyangka yang tidak-tidak tadi tentangmu." Dokter Nia kembali memeluk Fiona. Ia hanya manusia biasa. Saat mendengar sahabatnya diduakan, hati turut teremas begitu saja. Tatapannya pada Marta dan Fadil beberapa saat lalu yang mengira sebagai keluarga harmonis, luntur seketika. Ia justru menatap penuh kebencian pada keluarga itu.

"Jadi, bagaimana? Apa benar usianya empat bulan?" tanya Fiona menghapus airmata dan kembali memastikan.

"Iya."

"Tapi kenapa bisa sebesar itu?" tanya Fiona penasaran.

"Dia hamil anak kembar," jawab Nia acuh tak acuh dan kembali ke tempat duduknya.

Fiona tertegun mendengarnya. Ia yang selama ini berharap bisa memiliki anak malah mendapat penyakit. Tapi selingkuhan suaminya justru akan memiliki dua sekaligus dalam hubungan yang tak halal. Rasanya tak adil bagi Fiona. Namun perempuan ini berusaha tetap menegakkan badan untuk menyembunyikan kekalutannya.

Sementara Marta yang sedari tadi diam pun akhirnya buka suara. "Maaf, Dok. Bukannya anda sudah bilang tadi tak akan membocorkan rekam medis pasien kepada orang lain? Bukankah itu sudah melanggar sumpah anda sebagai dokter?" Mulut Marta yang tajam membuat Fiona terkejut. Ternyata kebungkamannya tadi bukan menunjukkan kelemahan sebagai wanita.

Siapa wanita ini? Seperti apa dia sebenarnya?

Fiona menatap tajam sosok itu dari atas ke bawah dan sebaliknya. Kemudian tersenyum getir melihat drama yang tengah dihadapi.

"Orang lain? Bukannya Fiona ini keluargamu juga? Dia kakak madumu. Kecuali, kalau memang kamu memang benar-benar hanya selingkuhan yang belum dihalalkan," ledek Dokter Nia yang turut kesal melihat bobroknya keluarga Fadil. Sangat miris melihat pengkhianatan suami dan mertua yang terpampang di hadapan.

"Sudah cukup! Sebaiknya kita pulang dan bahas di rumah saja. Terima kasih, Dok. Permisi." Hamzah menarik tangan Fiona untuk pergi dari sana. Sementara Fatma menggandeng Marta dengan hati-hati. Fadil hanya mengacak rambutnya sendiri karena merasa kesal.

Dokter Nia yang melihat semua itu secara langsung, hanya bisa membuang napas pelan dan menggeleng tak percaya dengan apa yang terjadi. "Semoga kamu kuat menghadapinya, Fi." Terkadang yang terlihat memang tak seindah kenyataannya. Layaknya keharmonisan Fadil dan Marta yang ternyata hanya pasangan siri yang menikah tanpa restu istri pertama.

*

"Puas kamu sudah mempermalukan keluargamu sendiri di depan banyak orang? Kamu nggak hanya bikin Fadil dan Marta malu. Tapi juga mertuamu ini, Fi," ujar Fatma berapi-api. Emosi yang sedari tadi diredamnya, segera dilampiaskan begitu mereka baru memasuki rumah.

"Keluarga? Keluarga seperti apa yang ibu maksud? Nggak ada keluarga yang tega mengkhianati anggota keluarga lainnya." Fiona tersenyum pahit menghadapi kenyataan yang ada di hadapan. Selama ini, ia sudah menganggap orangtua Fadil seperti orangtuanya sendiri. Namun, tak menyangka, kepercayaan berlebih yang diberikan, berbuah pengkhianatan.

"Cukup! Gak perlu menyalahkan satu sama lain. Toh, semuanya sudah terjadi. Yang penting kamu dan Marta sekarang harus bisa hidup rukun sebagai istri Fad-" Belum sempat Hamzah melanjutkan ucapannya, tiba-tiba dengan cepat Fiona menyela.

"Tidak, Pak. Aku tidak mau dipoligami. Aku lebih memilih bercerai dari pada hidup sama wanita perebut suami orang seperti dia. Lagi pula pernikahan mereka juga tidak sah, kan? Dalam hukum agama kita, mana boleh menikah dalam keadaan hamil," sindir Fiona dengan menatap Marta penuh ejekan.

"Cukup, Fi! Jangan hina Marta seperti itu! Dia bukan perebut suami orang. Aku dan dia saling mencintai." Kali ini Fadil berani membuka suara, setelah sekian lama bungkam.

"Saling mencintai? Cuih!" Fiona membuang muka. Jijik sekali mendengar ucapan suaminya yang mengagungkan nafsu dengan sebutan cinta. Fiona sadar jika dilihat dari postur tubuh, Marta memang lebih berisi darinya. Namun jika dari wajah, jelas Fiona lebih cantik dari Marta. "Kalau bukan perebut lalu apa Mas sebutannya? Wanita gatal?" sengit Fiona kemudian tak mau kalah. 

Sementara Marta menampakkan wajah lemas dan pucat. Ia hanya tertunduk mendengar perdebatan mereka.

"Fiona!" Tangan Fadil sudah terangkat, tepat di depan wajah Fiona.

"Kenapa berhenti? Kamu mau memukulku, bukan? Pukul! Biar kamu puas. Biar alasanku semakin kuat juga untuk meminta cerai darimu," tantangnya yang membuat Fadil berhenti lalu terduduk. 

Ia mengusap wajah dengan kasar. "Baiklah! Mungkin itu memang yang terbaik. Aku akan mence-" Tiba-tiba Hamzah dengan cepat menyela. "Fadil, hentikan! Jangan pernah mengucapkan kalimat itu! Satu kata cerai dari suami bisa mentalak istri dan menghancurkan rumah tanggamu. Posisimu berbeda dengan Fiona. Ingat itu! Tak akan ada yang berpisah atau bercerai dalam rumah tangga anakku. Kalian akan tetap bersama dan hidup dengan rukun. Paham?"

"Hidup rukun? Huh? Jangan harap!" Fiona tersenyum sinis lalu berdiri dan menghentakkan kaki lalu masuk ke dalam kamar. Ia mengunci pintu dengan rapat dan bersandar di balik pintu. Pertahanannya pun mulai runtuh. Ia benar-benar rapuh kali ini. Hanya saja ia tak ingin terlihat lemah di mata mereka yang tengah berkhianat. Dada terasa sesak mengingat kejadian tadi. Tak pernah menyangka jika yang dilihatnya selama ini hanyalah topeng untuk menutupi sebuah kebusukan.

"Ibu, Ayah, apa kalian melihat perlakuan mereka padaku? Mereka tak sebaik yang kalian bayangkan." Fiona terbaring di lantai kayu sambil memeluk bingkai foto ayah dan ibu yang lebih dulu pergi meninggalkannya, sendiri.

Hidup tanpa saudara membuatnya merasa benar-benar sebatang kara saat ini. Tak ada tempat mengadu. Hanya Sang Ilahi yang selalu bersamanya. Ia pun kemudian beranjak dan memandangi wajah di depan cermin yang nampak kusut. Perlahan, ia melepas hijab dan kembali tersedu. Lalu masuk ke dalam kamar mandi sebentar dan mengambil mukena.

"Ya Allah, beri aku kekuatan untuk menghadapi semuanya sendiri."

Usai salat, ingatannya perlahan menjelajah pada kejadian tiga tahun lalu, sebelum sang ayah pergi untuk selamanya. Sementara sang ibu, lebih dulu pergi karena penyakit yang diderita.

Tiga tahun yang lalu ....

"Kamu yakin memilih Fadil untuk jadi suamimu?" tanya Hermawan kala itu saat Fadil dan Fiona menghadap untuk meminta restu. Sementara tubuh lelaki itu tak setegap saat masih bersama sang istri. Sejak kepergian ibunya Fiona, Hermawan jadi sering sakit-sakitan. Tubuhnya pun terlihat semakin ringkik meski usianya masih muda.

"Yakin, Yah," jawab Fiona singkat.

"Baiklah! Ayah restui. Tolong jaga putriku baik-baik ya, Dil! Jaga dia seperti kamu menjaga perkebunan ini! Sayangi dan cintai dia sama seperti kecintaanmu pada tanaman," pesannya yang selalu kagum pada cara Fadil mencintai pekerjaannya. Meski seorang sarjana, dia tak segan untuk turun langsung mengurus perkebunan dan berbincang langsung dengan para pekerja di sana.

"Iya, Pak. Saya mengerti. Saya akan menjaga Fiona dan tak akan pernah melepaskannya," ujarnya sembari menggenggam tangan Fiona. Seperti tak akan ada yang bisa menandingi cintanya.

Hermawan pun tersenyum lega. Putri tunggalnya akhirnya mendapatkan lelaki yang paling dicinta dan bisa diandalkan untuk menjaga Fiona, setelah dia pergi, nanti.

*

Hari sudah gelap saat Fiona terbangun dan mendapati tubuhnya terbaring di atas sajadah. Hawa dingin khas pegunungan yang menusuk, mampu membangunkan dari lamunan yang berakhir pada terpejamnya mata. Ia kembali tersedu saat mengingat kejadian tadi pagi.

"Aku salah memilih, Yah. Dia tak sebaik yang ayah kira," lirihnya sembari memeluk tubuhnya sendiri.

Beberapa saat hanyut dalam keterpurukan, Fiona pun akhirnya memutuskan keluar dari kamar untuk menghadapi kenyataan. Ia sadar tak baik terus-terusan larut dalam kesedihannya sendiri. Pasti di luar sana ada yang bahagia dengan keterpurukannya. Benar saja, sesampainya di lantai bawah, netra mendapati Marta dengan manjanya dilayani Fadil di meja makan. Hati pun semakin tersayat melihatnya.

"Mas Fadil."

Bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau dg duka mu fiona. sok2an gaya mau minta cerai kayak mampu aja mandiri. kau bisa apa?? g bisa apa2. wanita manja g berguna dan sok kuat. paling2 menerima dimadu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status