Lila dipanggil naik, dan kami berempat, Ayah, Ibu, Lila, dan aku berdiri bersama. Kamera wartawan tidak berhenti mengambil gambar, dan tepuk tangan menggema di ruangan ini. Aku menatap kerumunan, merasa campur aduk, senang karena akhirnya punya keluarga yang utuh, tapi juga aku harus siap dengan tanggung jawab besar menjadi pemimpin nantinya.Setelah pidato, kami kembali ke meja dan kami lanjut makan-makan. Aku melihat Siska di sudut sana, matanya berkaca-kaca, terharu. Aku mendekatinya, mengajaknya bergabung. “Siska, ayo kamu juga ikut bergabung ke sana. Mereka pasti senang jika kamu ikut bergabung.”Siska terlihat ragu, "Tapi, Raka. Sebaiknya aku disini saja,"Di depan sana, Ayah melihatku dan tersenyum pada Siska. “Bu Siska, ayo makannya di sini. Mari, ikut bergabung bersama kami!” ajaknya, membuat Siska tersenyum lega.Siska mengangguk, aku dan Siska bergabung bersama mereka. Kami duduk bersama, menikmati hidangan lezat dari rendang daging wagyu premium hingga tiramisu yang lemb
Di belakangnya, Ayah dan Ibu muncul, diikuti Claire dan dua pria yang belum kukenal. Ayah, dengan setelan jas abu-abu yang elegan, memelukku erat, tangannya menepuk punggungku.“Raka, anakku, akhirnya kita ketemu lagi,” katanya, suaranya penuh emosi."Ayah, aku senang bertemu lagi dengan Ayah."Ibu, dengan gaun hijau zamrud yang anggun, memelukku sambil menangis pelan. “Kamu apa kabar, Raka. Ibu kangen banget sama kamu,” bisiknya."Aku juga sama, Bu. Aku baik, Ibu dan Ayah bagaimana kabarnya? Alhamdulillah kalian tiba dengan selamat,""Kami baik, Raka. Sangat baik dan sangat bahagia, mulai sekarang kita akan terus bersama." Ayah dan Ibu memelukku erat.Claire mendekat, tersenyum lebar. “Raka, gimana kabarmu? Akhirnya kita bertemu lagi,” katanya, memelukku.Di sampingnya ada pria tinggi dengan rambut pirang, mengenakan kemeja putih dan celana chino. “Ini Mike, pacarku,” kata Claire, memperkenalkannya padaku.Mike menjabat tanganku dengan ramah. “Senang bertemu denganmu, Raka. Claire ba
Aku menekan bel, dan Mama Siska membuka pintu. Dia masih mengenakan daster, rambutnya masih basah sepertinya baru saja selesai mandi, dan dia tampak bingung.“Raka, aku bingung mau pakai baju apa,” katanya, memegang handuk kecil.Aku tersenyum, memandangnya dari atas ke bawah. “Sayang, kamu pakai pakaian apapun tetap cantik tapi mungkin coba pakai pakaian yang terlihat sopan tapi menarik. Aku ingin di momen pertama kali bertemu denganmu, mereka suka sama kamu dan memberikan kesan yang baik. Coba pakai dress midi yang warna krem itu, yang ada renda di lengannya. Terus tambahin syal sutra yang biru muda, biar elegan. Terus pakai sepatu hak rendah aja, biar nyaman tapi tetap cantik.”Mama Siska mengangguk, sedikit tersipu malu. “Kamu benar juga, aku merasa bingung takutnya nanti mereka tidak menyukaiku."“Pakai daster seperti tadi juga sebenarnya kamu tetap cantik, tapi mungkin lebih baik yang membuat mereka terkesan. Aku yakin, saat melihatmu nanti, pasti langsung terpesona." kataku, me
“Aku serius, Liana. Ini sudah aku rencanain sejak lama. Bu Alicia juga udah tahu,” jawabku, merasa berat.Reza menatapku, kecewa. “Kenapa lu mendadak resign, Ka? Lu nggak setia kawan. Katanya mau kerja bareng gue terus.”“Maafin gue, Za. Gue terpaksa, soalnya gue harus lanjutin bisnis keluarga,” kataku, suaraku pelan.Semua bingung. Termasuk Erik sampai dia mengangkat alisnya karena dia belum tahu identitasku.“Keluarga siapa? Bukannya kamu nggak punya keluarga?” tanya Liana, penasaran.Aku menghela napas. “Maaf, aku belum cerita pada kalian. Beberapa waktu lalu, ketika Miss Claire dan rekan kerjanya dari Prancis datang, hidupku jadi berubah. Dia yang membantuku bertemu dengan keluargaku. Ceritanya cukup panjang, yang jelas ternyata Claire itu keponakanku.”Mereka terkejut. Reza membelalak. “Yang bener, bro? Dari mana lu tahu?”Sarah menimpali, “Tapi memang, Raka mirip Miss Claire. Rambutnya coklat, mata coklat. Dulu aku kira kalian sodara.”Erik yang dari tadi terdiam, ikut berbicara
"Aku ikut seneng dengernya," kataku tersenyum.Setelah sarapan, aku menghubungi Pak Herdi. “Pak, bisa jemput saya sekarang? Saya ke apartemen dulu, ganti baju, terus ke kantor.”“Siap, Tuan Raka. Saya akan sampai lima menit lagi,” jawab Pak Herdi, suaranya ramah.Sebelum pergi, aku mendekati Mama Siska, yang sedang mencuci piring. Aku memeluknya dari belakang, mencium pipinya.“Ma, aku pergi dulu, ya. Kamu jaga diri, jangan buka pintu buat orang asing.”Mama Siska memutar badan, tersenyum. “Iya, Ka. Hati-hati di jalan. Nanti kabarin Mama kalau udah selesai.”“Aku nggak akan lama, Ma. Sebentar lagi kan orangtuaku datang, mungkin aku akan menunggu kabar dari Pak Rudi dulu.” kataku, mencium keningnya.Mama Siska mengangguk, memelukku erat. “Iya, ini akan menjadi hari yang bahagia untukmu."Aku tersenyum. “Benar, aku sudah rindu sama mereka." akupun pergi dan aku melangkah keluar.Pak Herdi sudah menunggu di depan apartemen dengan mobil hitamnya. “Pak, kita apartemenku dulu sebentar. Saya
Aku kembali menaiki kasur, aku berlutut di depan Mama Siska yang sedang berbaring menggoda. Aku buka kakinya lebar-lebar, bagian intinya membuatku lapar, aku daratkan wajahku pada bagian intinya. Aku nikmati aromanya yang menggoda, lidahku menari-nari di belahan bagian intinya membuatnya menggelinjang."Ssshhh mmmmhh,"Kali ini tidak begitu lama karena aku sudah tidak sabar, cukup becek saja agar aku bisa melewati dinding intinya dengan mudah. Aku arahkan bagian intiku pada bagian intinya, secara perlahan mulai masuk hingga semuanya tenggelam. Aku mendekap tubuhnya, aku cium bibirnya dan Mama Siska memelukku erat. Aku sengaja mendiamkannya dulu beberapa saat, kakinya melingkar di pinggangku yang membuatku semakin terasa nikmat.Aku telusuri bagian buah dadanya, aku remas dan aku kenyot dengan kuat. Aku mulai menggerakkan pinggulku secara perlahan, aku nikmati gesekan dinding intinya yang sangat nikmat. Bagian intiku terasa di pijat-pijat, apalagi ketika bagian intiku aku keluarkan la