Share

Tergoda Rayuan CEO Muda
Tergoda Rayuan CEO Muda
Author: pramudining

1. Desakan Orang Tua

Happy Reading

*****

Wening baru saja membuka pintu ketika suara ibunya menyapa dengan nada tinggi.

"Bagaimana? Kapan pacarmu mau menemui kami?"

Gadis berjilbab maroon itu mengembuskan napas. Baru saja masuk, wanita yang telah melahirkannya itu mencecar dengan pertanyaan paling sensitif dalam hubungannya dengan sang kekasih.

"Katanya, malam Minggu, Bu. Dia bakalan datang menemui Bapak."

"Beneran, ya?" tanya si Ibu, "kalian sudah lama pacaran, tapi Ibu belum tahu sama sekali wajahnya dan juga namanya. Jangan-jangan kamu berbohong."

Wening mencebik dengan wajah muram. "Tunggu dia datang saja, Bu."

Terlalu singkat jawaban si gadis. Wening memang dikenal tidak banyak bicara oleh keluarga dan tetangga. Oleh karenanya, sekalipun banyak tetangga dan orang sekitar yang mencemoohnya karena tak kunjung menikah di usia yang sebentar lagi menginjak kepala tiga, gadis itu tetap tenang dalam menjalani kehidupan. Sangat berbeda dengan ibunya.

"Anak baru pulang. Mbok disuruh mandi apa makan dulu. Jangan langsung ditodong dengan pertanyaan seperti tadi, Bu," sahut lelaki paruh baya yang rambutnya memiliki dua warna.

Wening tersenyum dan menghampiri bapaknya. Seorang lelaki memang lebih santai mengahadapi permasalahan tidak seperti perempuan. Bungsu tiga bersaudara itu menyalami sang Bapak dan mengucap salam. Setelahnya, langsung masuk kamar. Tak ingin lagi mendengar ocehan ibunya.

"Kebiasaanmu, Pak. Wening selalu dibela gitu, manja dan keenakan kan jadinya." Perempuan bernama Fatimah itu, mulai sedikit emosi. Tiap kali membahas anak bungsunya selalu saja ada perdebatan kecil dengan sang suami.

"Opo, sih, Bu? Wening itu anak perempuan kita satu-satunya. Jangan terlalu ditekan. Masalah jodoh biarkan dia yang memilihnya sendiri. Dulu, kita sudah memintanya untuk menuruti semua keinginan. Dari sekolah dan juga teman, Ibu mengatur semuanya. Jadi, biarkan sekarang dia yang memilih dengan siapa akan menghabiskan sisa hidupnya nanti. Terpenting, lelaki itu memiliki iman dan agama yang bagus."

Fatimah melengos. "Bapak itu kalau ngomong uenak tenan. Memangnya nggak khawatir apa kalau Wening cuma dipermainkan sama cowoknya. Mereka lho katanya pacaran sudah lama, tapi cowok itu kok nggak ada niat mau kenalan sama kita."

Sang pemimpin keluarga cuma terkekeh dengan sikap istrinya. "Ketemu orang tua seorang perempuan yang disukai itu butuh kesiapan mental, Bu. Ora mung grasa-grusu. Dikira nggak grogi sama takut apa. Ibu kan nggak tahu gimana rasanya jantung pas mau ketemu calon mertua."

"Halah alasan, Pak. Njenengan dulu kok enak saja lho, matur ke Bapak pas mau melamar," sanggah Fatimah. Masih saja ngeyel.

Tahu sendiri, bagaimana kuatnya seorang perempuan dalam berargumen. Tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. Kecuali dia sendiri yang mengaku kalah.

"Ya beda, Bu. Bapak dulu sudah kebelet nikah. Lagian kalau ibu nggak segera dilamar bakalan diambil orang," kata Mahmud disertai kerlingan mata.

"Nah, itu. Kenapa kita nggak menjodohkan Wening saja dengan cowok lain, Pak. Senep ibu nunggu pacarnya anakmu melamar."

"Wis tho, Bu. Sabar dulu, terpenting cowok itu sudah janji bakalan datang Minggu ini."

Menyudahi perdebatan yang tak akan pernah ada ujungnya, Mahmud berdiri dan meninggalkan sang istri. Lebih baik, sekarang dia berangkat ke pengajian di musala.

Sementara itu, di dalam kamarnya Wening menatap layar ponsel. Sudah tiga hari sang pujaan hati tidak memberi kabar. Sejak Fahri mengatakan diminta membantu mengurus persiapan pembukaan cabang baru kantornya. Lelaki itu makin sulit dihubungi.

"Percaya padaku, Ning. Minggu depan aku pasti datang ke rumah dan melamarmu. Kita sudah merencanakan semua ini sejak lama, tapi tolong sabar dulu, ya." Begitulah ucapan Fahri pada pertemuan terakhir kali dengan Wening.

Mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Wening mulai terusik dengan gosip-gosip di sekitar rumahnya. Semua teman masa kecilnya baik perempuan maupun laki-laki, satu per satu sudah menikah bahkan sebagian besar telah memiliki anak. Satu-satunya yang masih melajang, hanyalah Wening.

Begitulah kehidupan di desa. Gunjingan tetangga terkadang berdampak sekali pada mental seseorang, termasuk Wening. Walau sudah menutup mata dan telinga serta tidak ambil pusing dengan julukan perawan tua. Nyatanya rasa sakit itu terkadang membuat si perempuan menangis pada malam-malam sebelum tidur.

Ingin sekali mengenalkan lelaki yang sudah membersamainya, tetapi jawaban Fahri selalu nanti dan nanti. Masih ada adik yang harus dibiayai, katanya.

Kini, setelah adik dari kekasihnya lulus kuliah dan sudah mendapat pekerjaan. Wening terpaksa meminta Fahri untuk menemui keluarganya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, perempuan berambut sepinggang itu keluar dari kamar mandi. Bergegas menghampiri benda pipih pintar miliknya dan mengecek notifikasi chat yang baru saja masuk.

"Tolong, dong, Ning. Jangan menghubungi Mas dulu. Mas sangat sibuk," tulis sang kekasih.

"Maaf, Mas. Cuma mau mengingatkan jika malam Minggu nanti, Mas, harus datang ke rumah."

Sebuah balasan yang hanya huruf Y saja, terlihat. Wening mendesah keras. Sejak lima tahun lalu, lelakinya itu selalu irit ketika membalas pesan-pesannya.

Menahan rasa sesak, si bungsu dari keluarga Mahmud keluar kamar. Tinggal dua hari lagi, malam Minggu dan Fahri belum terlihat sama sekali olehnya di kantor.

Menuju meja makan, si gadis yang sehari-hati berjilbab itu bertemu dengan saudara tertuanya.

"Lesu banget mukamu, Dok?" tanya lelaki berumur empat tahun lebih tua dari Wening, dialah sulung dari keluarga Mahmud.

"Mas kapan datang?" Duduk di sebelah saudaranya, Wening menyomot tempe goreng berselimut tepung favoritnya. "Si gembul nggak ikut?"

Lelaki itu menggeleng. "Mas ketemu Ibu di depan, lalu disuruh mampir dan ngasih nasihat kamu."

Gadis bermata teduh dengan kulit kuning langsat itu menghentikan kunyahannya. Menoleh pada saudara sulungnya. "Suruh ngasih nasihat apa, Mas?"

"Biasa, tentang pernikahanmu. Mas, diminta ibu buat ngenalin kamu ke temen-temen supaya cepet dapat jodoh. Nggak nunggu pacarmu yang nggak jelas itu." Pemilik nama Fathur itu menatap si bungau serius.

"Ibu keterlaluan. Aku sudah mengatakan kalau dia bakalan datang malam Minggu ini. Sekarang, pekerjaannya cukup banyak dan nggak bisa diganggu."

"Namanya orang tua, Dik. Pasti khawatir lihat anak gadisnya belum dapat jodoh di usia 29 tahun. Maklum sajalah," kata Fatur santai. Si sulung memang kelewat santai jika menyangkut hal pribadi adik-adiknya. Seolah lelaki dia anak itu tidak mau ikut campur masalah pribadi adik-adiknya.

"Aku tahu, Mas. Cuma kalau terus-terusan ditekan seperti ini, aku stress juga jadinya." Wening meletakkan potongan tempe yang belum habis ke piring. Dia membawanya ke tempat cucian dan meninggalkan si sulung.

"Maaf, sudah buat kamu tersinggung, Dik," kata Fatur. Dia sendiri akhirnya menghentikan suapan makanan ke mulut. Selera makan menjadi hilang melihat raut sedih sang adik.

Tak berapa lama, Fatimah muncul dengan menepuk bahu si sulung. "Sudah ngomong sama adikmu, Mas?" tanyanya.

"Bu, bisa tidak jangan terlalu cerewet dan menekan Wening?"

"Ibu cerewet piye tho, Mas? Umur adikmu itu sudah banyak. Ibu senep dengar gunjingan tetangga yang mengatakan dia perawan tua. Apalagi yang mengatakan bahwa adikmu belok."

"Bu, bisa nggak berhenti mengatur semua urusan hidupku? Selama ini, aku sudah menuruti semua keinginan Ibu bahkan sampai urusan pertemanan, aku pemilih karena ibu," kata Wening yang tiba-tiba menyela obrolan keduanya.

"Yen nggak gelem diatur, ya, sana keluar dari rumah ini," kata Fatimah sedikit membentak.

"Bu, jaga bicaranya," kata si sulung keras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status