Happy Reading
*****Wening baru saja membuka pintu ketika suara ibunya menyapa dengan nada tinggi."Bagaimana? Kapan pacarmu mau menemui kami?"Gadis berjilbab maroon itu mengembuskan napas. Baru saja masuk, wanita yang telah melahirkannya itu mencecar dengan pertanyaan paling sensitif dalam hubungannya dengan sang kekasih."Katanya, malam Minggu, Bu. Dia bakalan datang menemui Bapak.""Beneran, ya?" tanya si Ibu, "kalian sudah lama pacaran, tapi Ibu belum tahu sama sekali wajahnya dan juga namanya. Jangan-jangan kamu berbohong."Wening mencebik dengan wajah muram. "Tunggu dia datang saja, Bu."Terlalu singkat jawaban si gadis. Wening memang dikenal tidak banyak bicara oleh keluarga dan tetangga. Oleh karenanya, sekalipun banyak tetangga dan orang sekitar yang mencemoohnya karena tak kunjung menikah di usia yang sebentar lagi menginjak kepala tiga, gadis itu tetap tenang dalam menjalani kehidupan. Sangat berbeda dengan ibunya."Anak baru pulang. Mbok disuruh mandi apa makan dulu. Jangan langsung ditodong dengan pertanyaan seperti tadi, Bu," sahut lelaki paruh baya yang rambutnya memiliki dua warna.Wening tersenyum dan menghampiri bapaknya. Seorang lelaki memang lebih santai mengahadapi permasalahan tidak seperti perempuan. Bungsu tiga bersaudara itu menyalami sang Bapak dan mengucap salam. Setelahnya, langsung masuk kamar. Tak ingin lagi mendengar ocehan ibunya."Kebiasaanmu, Pak. Wening selalu dibela gitu, manja dan keenakan kan jadinya." Perempuan bernama Fatimah itu, mulai sedikit emosi. Tiap kali membahas anak bungsunya selalu saja ada perdebatan kecil dengan sang suami."Opo, sih, Bu? Wening itu anak perempuan kita satu-satunya. Jangan terlalu ditekan. Masalah jodoh biarkan dia yang memilihnya sendiri. Dulu, kita sudah memintanya untuk menuruti semua keinginan. Dari sekolah dan juga teman, Ibu mengatur semuanya. Jadi, biarkan sekarang dia yang memilih dengan siapa akan menghabiskan sisa hidupnya nanti. Terpenting, lelaki itu memiliki iman dan agama yang bagus."Fatimah melengos. "Bapak itu kalau ngomong uenak tenan. Memangnya nggak khawatir apa kalau Wening cuma dipermainkan sama cowoknya. Mereka lho katanya pacaran sudah lama, tapi cowok itu kok nggak ada niat mau kenalan sama kita."Sang pemimpin keluarga cuma terkekeh dengan sikap istrinya. "Ketemu orang tua seorang perempuan yang disukai itu butuh kesiapan mental, Bu. Ora mung grasa-grusu. Dikira nggak grogi sama takut apa. Ibu kan nggak tahu gimana rasanya jantung pas mau ketemu calon mertua.""Halah alasan, Pak. Njenengan dulu kok enak saja lho, matur ke Bapak pas mau melamar," sanggah Fatimah. Masih saja ngeyel.Tahu sendiri, bagaimana kuatnya seorang perempuan dalam berargumen. Tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. Kecuali dia sendiri yang mengaku kalah."Ya beda, Bu. Bapak dulu sudah kebelet nikah. Lagian kalau ibu nggak segera dilamar bakalan diambil orang," kata Mahmud disertai kerlingan mata."Nah, itu. Kenapa kita nggak menjodohkan Wening saja dengan cowok lain, Pak. Senep ibu nunggu pacarnya anakmu melamar.""Wis tho, Bu. Sabar dulu, terpenting cowok itu sudah janji bakalan datang Minggu ini."Menyudahi perdebatan yang tak akan pernah ada ujungnya, Mahmud berdiri dan meninggalkan sang istri. Lebih baik, sekarang dia berangkat ke pengajian di musala.Sementara itu, di dalam kamarnya Wening menatap layar ponsel. Sudah tiga hari sang pujaan hati tidak memberi kabar. Sejak Fahri mengatakan diminta membantu mengurus persiapan pembukaan cabang baru kantornya. Lelaki itu makin sulit dihubungi."Percaya padaku, Ning. Minggu depan aku pasti datang ke rumah dan melamarmu. Kita sudah merencanakan semua ini sejak lama, tapi tolong sabar dulu, ya." Begitulah ucapan Fahri pada pertemuan terakhir kali dengan Wening.Mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Wening mulai terusik dengan gosip-gosip di sekitar rumahnya. Semua teman masa kecilnya baik perempuan maupun laki-laki, satu per satu sudah menikah bahkan sebagian besar telah memiliki anak. Satu-satunya yang masih melajang, hanyalah Wening.Begitulah kehidupan di desa. Gunjingan tetangga terkadang berdampak sekali pada mental seseorang, termasuk Wening. Walau sudah menutup mata dan telinga serta tidak ambil pusing dengan julukan perawan tua. Nyatanya rasa sakit itu terkadang membuat si perempuan menangis pada malam-malam sebelum tidur.Ingin sekali mengenalkan lelaki yang sudah membersamainya, tetapi jawaban Fahri selalu nanti dan nanti. Masih ada adik yang harus dibiayai, katanya.Kini, setelah adik dari kekasihnya lulus kuliah dan sudah mendapat pekerjaan. Wening terpaksa meminta Fahri untuk menemui keluarganya.Sekitar dua puluh menit kemudian, perempuan berambut sepinggang itu keluar dari kamar mandi. Bergegas menghampiri benda pipih pintar miliknya dan mengecek notifikasi chat yang baru saja masuk."Tolong, dong, Ning. Jangan menghubungi Mas dulu. Mas sangat sibuk," tulis sang kekasih."Maaf, Mas. Cuma mau mengingatkan jika malam Minggu nanti, Mas, harus datang ke rumah."Sebuah balasan yang hanya huruf Y saja, terlihat. Wening mendesah keras. Sejak lima tahun lalu, lelakinya itu selalu irit ketika membalas pesan-pesannya.Menahan rasa sesak, si bungsu dari keluarga Mahmud keluar kamar. Tinggal dua hari lagi, malam Minggu dan Fahri belum terlihat sama sekali olehnya di kantor.Menuju meja makan, si gadis yang sehari-hati berjilbab itu bertemu dengan saudara tertuanya."Lesu banget mukamu, Dok?" tanya lelaki berumur empat tahun lebih tua dari Wening, dialah sulung dari keluarga Mahmud."Mas kapan datang?" Duduk di sebelah saudaranya, Wening menyomot tempe goreng berselimut tepung favoritnya. "Si gembul nggak ikut?"Lelaki itu menggeleng. "Mas ketemu Ibu di depan, lalu disuruh mampir dan ngasih nasihat kamu."Gadis bermata teduh dengan kulit kuning langsat itu menghentikan kunyahannya. Menoleh pada saudara sulungnya. "Suruh ngasih nasihat apa, Mas?""Biasa, tentang pernikahanmu. Mas, diminta ibu buat ngenalin kamu ke temen-temen supaya cepet dapat jodoh. Nggak nunggu pacarmu yang nggak jelas itu." Pemilik nama Fathur itu menatap si bungau serius."Ibu keterlaluan. Aku sudah mengatakan kalau dia bakalan datang malam Minggu ini. Sekarang, pekerjaannya cukup banyak dan nggak bisa diganggu.""Namanya orang tua, Dik. Pasti khawatir lihat anak gadisnya belum dapat jodoh di usia 29 tahun. Maklum sajalah," kata Fatur santai. Si sulung memang kelewat santai jika menyangkut hal pribadi adik-adiknya. Seolah lelaki dia anak itu tidak mau ikut campur masalah pribadi adik-adiknya."Aku tahu, Mas. Cuma kalau terus-terusan ditekan seperti ini, aku stress juga jadinya." Wening meletakkan potongan tempe yang belum habis ke piring. Dia membawanya ke tempat cucian dan meninggalkan si sulung."Maaf, sudah buat kamu tersinggung, Dik," kata Fatur. Dia sendiri akhirnya menghentikan suapan makanan ke mulut. Selera makan menjadi hilang melihat raut sedih sang adik.Tak berapa lama, Fatimah muncul dengan menepuk bahu si sulung. "Sudah ngomong sama adikmu, Mas?" tanyanya."Bu, bisa tidak jangan terlalu cerewet dan menekan Wening?""Ibu cerewet piye tho, Mas? Umur adikmu itu sudah banyak. Ibu senep dengar gunjingan tetangga yang mengatakan dia perawan tua. Apalagi yang mengatakan bahwa adikmu belok.""Bu, bisa nggak berhenti mengatur semua urusan hidupku? Selama ini, aku sudah menuruti semua keinginan Ibu bahkan sampai urusan pertemanan, aku pemilih karena ibu," kata Wening yang tiba-tiba menyela obrolan keduanya."Yen nggak gelem diatur, ya, sana keluar dari rumah ini," kata Fatimah sedikit membentak."Bu, jaga bicaranya," kata si sulung keras.Happy Reading*****Duduk melingkar pada sofa di ruang tamu, seluruh keluarga Wening telah menunggu kedatangan kekasihnya. Hidangan sederhana dan juga beberapa toples makanan ringan sudah tersedia di atas meja. Wening Tri Rahayu mulai resah, berkali-kali menghubungi kekasihnya. Namun, panggilannya tak juga dijawab. Satu per satu menatap seluruh keluarga yang sedang berkumpul, peluh si gadis mulai turun mengaliri wajah. Sungguh, hatinya tak karuan saat ini. Jika sampai lelaki itu tak datang, maka hancurlah harga dirinya di depan keluarga."Dik, Mas keluar dulu saja. Ponakanmu nggak mau diem, bosen mungkin. Coba kamu telpon pacarmu itu. Sudah sampai mana?" Jeda sebentar. "Kayak dia minta naik odong-odong," ujar lelaki yang tak lain saudara tertua dari Wening, Fatur. Menunjuk pada putranya."Iya, Mas, nggak papa kok." Wening meremas gamis. Sesekali menatap pada bapaknya. Takut dengan tatapan mengintimidasi dari pria sepuh itu."Kamu telpon lagi, Nduk. Kenapa dia belum juga datang. Bapak
Happy Reading*****"Aku sangat percaya padanya. Dia lelaki yang selalu menepati janji. Nggak mungkin dia mengingkari apa yang sudah dikatakan." Kembang kempis Wening mengatakannya. Antara keyakinan dan kenyataan kini bertarung dalam dada. Sesak sungguh sangat sesak keadaan sekarang. Jika boleh, dia ingin segera masuk kamar dan meluapkan semua perasaan dengan menangis."Mbak mungkin baru mengenalku kemarin, tapi dengan tulus aku akan membantumu malam ini," kata Fandra meyakinkan. Sedikit berani, dia menangkupkan telapak tangannya di atas telapak tangan Wening yang berada di pangkuan."Apa kalian sudah selesai berbicara?" tanya Mahmud membuyarkan adegan yang dilakukan Fandra. "Bapak tunggu kedatangan keluargamu secepatnya, Nak. Wening dan kamu adalah dua manusia yang sama-sama dewasa. Bapak tidak bisa membiarkan kalian terus bermaksiat. Jadi, segera halalkan anak Bapak atau jika nggak mampu. Tinggalkan dia."Tatapan tajam Mahmud membuat Fandra menganggukkan kepala. Inilah konsekuensi
Happy Reading*****Sesampainya di depan lift, Wening sengaja memutar arah menuju tangga agar tak bersama dengan pasangan itu. Masih belum sanggup untuk melihat kemesraan kekasihnya dengan putri pemilik perusahaan.Meskipun lebih lama dan melelahkan, Wening bersabar dengan keadaannya. Sesampainya di ruangan, gadis itu melempar tasnya ke sofa dengan kasar. "Astagfirullah. Ada apa sebenarnya denganmu, Mas."Dering telepon di meja Wening membuat gadis itu membuka mata. Segera dia mengangkat. "Selamat pagi dengan Wening di sini. Ada yang bisa dibantu?""Segera ke ruangan saya sekarang!""Baik, Pak." Tanpa bertanya siapa yang meneleponnya tadi, Wening sudah tahu jika suara bariton itu milik sang direktur.Baru menginjakkan kaki di depan pintu ruangan direktur, Wening berpapasan dengan sang kekasih. "Mas Fahri?" kaget Wening. Si lelaki cuma menatap sekilas tanpa berkata apa pun, dia mengetuk pintu ruangan direktur terlebih dahulu. "Masuk," suruh sang pemilik ruangan. Wening terdiam. Pik
Happy Reading*****Mengabaikan segala kekesalan pada lelaki yang katanya sudah bertunangan semalam, Wening mengambil buket bunga serta kotak makanan di tangan OB. "Terima kasih, Mas," ucap Wening."Sama-sama, Bu." Merasa pekerjaannya sudah selesai, sang OB memilih pergi dari ruangan akuntan apalagi tanpa sengaja melihat delikan dari sang wakil direktur baru.Cepat, Fahri menutup pintu dan berjalan mendekat pada Wening. Dia merebut buket itu dengan kasar. "Jadi, kamu mengkhianati aku? Ckck, nggak nyangka," katanya."Ada maling teriak maling sepertinya. Mau apa ke ruanganku?" Wening menaruh buket serta kotak makan di meja kerjanya."Bukannya kamu yang chat supaya aku memberikan penjelasan tentang kejadian semalam. Sepertinya sudah nggak diperlukan lagi." Jeda sebentar, lelaki itu memasukkan kedua tangannya di saku celana."Baguslah jika sudah punya calon suami yang bisa menggantikan aku." Fahri menyerahkan sebuah map pada gadis berjilbab di depannya. Dia juga melempar buket mawar ke s
Happy Reading*****Fandra semakin mengeratkan pelukannya pada Wening. Dia bahkan sampai memutar tubuh si perempuan ke arah berlawanan dan sedikit menjauh dari tempat semula. Wening mulai meronta-ronta minta dilepaskan, sementara suara panggilan namanya dari arah belakang membuat semua karyawan mulai berkerumun."Ayo pergi sekarang sebelum makin banyak teman-teman kerjamu memperhatikan kita," bisik Fandra tanpa mau menghiraukan panggilan seseorang pada Wening."Iya, tapi lepaskan dulu." Fandra mengendurkan pelukan, tetapi tangannya dengan cepat menyeret Wening keluar dari kantor garment tempatnya bekerja. Tanpa menoleh pada siapa pun. Mereka berdua jalan lurus hingga sampai di parkiran.Sementara itu, seseorang yang memanggil Wening tadi begitu marah karena merasa di abaikan. "Kenapa kamu terlihat marah begitu, Yang?" tanya perempuan yang selalu menempel pada lelaki itu."Gimana nggak marah. Wening melakukan hal tak senonoh di tempat kerja. Memangnya kantor ini tempat mesum? Seenakn
Happy Reading*****Wening memperbaiki dirinya sebelum keluar ruangan. Sudah dua kali dalam satu hari ini, dia dipanggil sang atasan. Kali ini, entah hal penting apa yang akan disampaikannya. Naik ke lantai berikutnya, gadis itu berdoa dalam hati semoga bukan tentang kejadian di lobi yang membuatnya di panggil oleh sang direktur.Mengetuk pintu ruangan sang direktur sekaligus sang pemilik usaha. Wening membukanya setelah dipersilakan. "Permisi, Pak," ucap Wening. Sedikit membungkuk mendekati meja sang direktur.Lelaki dengan perut buncit itu menggerakkan kepala menatap akuntan yang sudah bekerja lebih lima tahun di hadapannya. Sejak pertama kali melamar pekerjaan di garmen miliknya, Wening sudah menarik simpati sang atasan. Sosoknya sangat berkarakter, jarang sekali melakukan kesalahan pada pekerjaan. Disiplin tinggi serta tanggung jawab dan loyalitasnya pada garmen tidak perlu diragukan lagi. "Duduklah," suruh lelaki bernama Hartawan.Menggeser kursi di hadapan sang direktur, Wenin
Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, perkataan Abraham terus saja berputar di dalam otak Wening. Jika sahabat yang paling dekat dengan mantan kekasihnya saja mengatakan demikian. Lalu, kenapa dia masih begitu percaya pada Fahri saat itu."Jadi, apa arti hadirku dalam hidupmu, Mas?" tanya Wening dalam hati. Memarkirkan mobil milik bapaknya. Wening masuk rumah tanpa ada firasat apa pun. Tidak pernah tahu bahwa seluruh anggota keluarganya kini tengah berkumpul di ruang tamu menunggu kepulangannya."Assalamualaikum," salam Wening ketika memutar kenop pintu ke bawah."Waalaikumussalam," jawab semua orang dari dalam rumah.Kepala Wening menyembul di daun pintu. Dia sengaja mengintip terlebih dahulu, mendengar jawaban serempak yang tak biasanya terdengar ketika pulang kerja. Kedua alis si gadis menyatu. Perlahan, dia melangkahkan kaki masuk dan mulai menyapa seluruh keluarga satu per satu dengan menyalami mereka semua.Ketika akan bergerak menuju kamar, suara bariton Mahmud terdenga
Happy Reading*****"Katanya ingin adik segera menikah, tapi Ibu menetapkan standard yang begitu tinggi saat mencari calon menantu. Gimana, sih," sahut si tengah, "kalau ingin adik menikah tahun ini, ya, biarkan saja sama Fandra. Dia cukup baik dan ramah. Masalah pekerjaan, kita nggak boleh mengadili seperti itu. Suatu saat, seorang office boy juga pasti akan naik jabatan."Si tengah, Akbar menatap Fatimah dengan wajah keberatan atas kalimat yang dikeluarkannya tadi. Baru akan membuka suara lagi, tangan kanan Mahmud terangkat. Kelima jarinya tegak meminta Akbar diam. Ada sesuatu yang harus dia ketahui dan hal itu sangat penting daripada pekerjaan Fandra. Lalu, Mahmud pun menatap putrinya dan berkata, "berapa umur Fandra, Nduk?""Adik nggak tahu, Pak. Mungkin usianya jauh di bawah Wening." Si bungsu menjawab dengan sangat lirih bahkan kepalanya tertunduk begitu dalam. Sepanjang hidup, baru kali ini Wening disidang oleh keluarganya sendiri gara-gara orang lain.Sekali lagi, helaan panj