Share

5. Panas

Happy Reading

*****

Mengabaikan segala kekesalan pada lelaki yang katanya sudah bertunangan semalam, Wening mengambil buket bunga serta kotak makanan di tangan OB.

"Terima kasih, Mas," ucap Wening.

"Sama-sama, Bu." Merasa pekerjaannya sudah selesai, sang OB memilih pergi dari ruangan akuntan apalagi tanpa sengaja melihat delikan dari sang wakil direktur baru.

Cepat, Fahri menutup pintu dan berjalan mendekat pada Wening. Dia merebut buket itu dengan kasar. "Jadi, kamu mengkhianati aku? Ckck, nggak nyangka," katanya.

"Ada maling teriak maling sepertinya. Mau apa ke ruanganku?" Wening menaruh buket serta kotak makan di meja kerjanya.

"Bukannya kamu yang chat supaya aku memberikan penjelasan tentang kejadian semalam. Sepertinya sudah nggak diperlukan lagi." Jeda sebentar, lelaki itu memasukkan kedua tangannya di saku celana.

"Baguslah jika sudah punya calon suami yang bisa menggantikan aku." Fahri menyerahkan sebuah map pada gadis berjilbab di depannya. Dia juga melempar buket mawar ke sofa dengan keras. Ada kemarahan yang meluap-luap saat lelaki itu melakukannya.

"Buat laporan seperti yang diminta Papa. Dari dulu, kan, selalu kamu yang kerjakan itu," perintah Fahri dengan mata merah dan melebar.

"Nggak, buat sana sendiri." Wening berusaha menetralkan degup jantungnya yang ingin berlompatan keluar. Selama ini, tak sekalipun dia pernah membantah ucapan Fahri apalagi sampai berkata sedikit keras seperti sekarang.

"Mulai detik ini, kamu harus mandiri dan melakukan semua pekerjaanmu dengan benar. Pak Fahri yang terhormat." Sang akuntan menatap berani pada atasannya yang baru. "Anda adalah seorang wakil direktur sekarang. Kerjakan tugas sebaik mungkin, jangan mengalihkan pada orang lain yang sama sekali bukan job desk-nya." Memungut buket yang dilemparkan lelaki itu dengan mata dipenuhi kabut.

Antara kesal, marah, kecewa dan entah perasaan apalagi yang kini bersarang di hatinya. Wening pun berkata kembali, "Silakan tinggalkan ruangan saya."

"Berani kamu berkata seperti itu padaku?" kata Fahri menatap tak percaya pada perempuan yang selama empat tahun lebih menjadi kekasihnya.

Ketika Wening akan kembali ke kursinya, tangan Fahri mencengkeram dengan kuat kedua bahu sang wanita. "Aku bisa memecatmu kapan saja jika kamu nggak menuruti perintahku."

Mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, Wening berusaha menepis tangan Fahri. Satu tamparan mendarat di pipi lelaki itu. "Belum cukupkah kamu menyakiti aku, Mas?"  teriaknya, "silakan pecat aku. Lebih baik, aku memang nggak ada di kantor ini lagi setelah semua pengkhianatanmu."

Luruh sudah air mata yang sejak tadi pagi berusaha Wening tahan. Tangan kanannya bahkan bergetar setelah menampar sang kekasih. Terhuyung hingga menyentuh pinggiran meja, perempuan itu meluruh ke lantai. Isakannya terdengar begitu menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.

"Apa yang nggak aku lakukan untukmu, Mas? Kamu minta aku merahasiakan hubungan kita dari semua orang di kantor ini, aku melakukannya. Kamu nggak pernah mengenalkan aku pada keluargamu, aku nggak protes sama sekali. Kamu memintaku untuk mengerjakan semua pekerjaan sulitmu, aku dengan senang hati mengabilknnya. Walau dalam hati mempertanyakan kewajaran hubungan kita. Semalam, saat kamu nggak datang memenuhi janji pun, aku masih berpikiran positif. Adakah perempuan yang lebih bodoh dari aku, hah?" kata Wening di antara isakannya yang mengeras.

Tak peduli ada CCTV yang merekam semua aksinya saat ini, Wening meluapkan seluruh kekesalan hatinya. Fahri terdiam, tangannya kembali di masukkan ke dalam saku celana. Dia berdiri tegak seperti patung dan menatap Wening yang kini seperti hilang kendali.

"Kenapa kamu diam, Mas? Katakan! Apa artinya aku dalam hidupmu?! Kenapa kamu tega menghancurkan harapan yang selama ini aku impikan?" Wening kembali berteriak.

"Tutup mulutmu. Jangan sampai orang di luar ruangan ini mendnegar semua perkataanmu itu," ucap Fahri tegas tanpa peduli bagaimana perasaan Wening.

Setelahnya, lelaki itu meninggalkan sang akuntan begitu saja bahkan dia menutup pintu ruangan Wening dengan cukup keras.

"Ya Allah, apa salahku?" ucap Wening.  Tangisnya kembali pecah. Beberapa saat kemudian, suara ponselnya menghentikan tangisan.

Melihat nama kontak yang terlihat, Wening dengan cepat menggulir ikon hijau telepon ke atas. "Nggak perlu sok perhatian. Kita nggak punya hubungan apa-apa," kata Wening pada si penelepon.

"Kamu kenapa? Suaramu kenapa sengau? Nangis lagi?" kata seorang lelaki di seberang sana.

"Nggak perlu sok perhatian. Aku nggak kenal kamu sama sekali." Wening mematikan sambungan sepihak.

Detik berikutnya, lelaki itu sudah menghubungi gadis berjilbab yang masih meratapi kisah cintanya yang kandas. Sengaja membiarkan panggilan sampai berhenti, si lelaki pantang menyerah. Ponsel Wening kembali berdering hingga beberapa kali.

Merasa terganggu dengan suara panggilan tersebut, Wening terpaksa menggerakkan ikon hijau telepon ke atas.

"Jangan menangis lagi atau aku akan datang ke kantor dan menjemputmu. Katakan! Apa kekasihmu itu ada di kantor sana?" kata lelaki yang tak lain adalah Fandra. Wening memicingkan mata, sisa-sisa isakannya masih terdengar dengan jelas.

"Kenapa diam? Katakan apa yang harus aku lakukan supaya kamu berhenti menangisi laki-laki itu?" ucap Fandra karena perkataan sebelumnya tidak mendapat respon si  gadis.

"Jangan membuat ulah dengan datang ke kantorku. Lagian, kamu nggak tahu di mana aku bekerja."

"Kata siapa aku nggak tahu di mana kmu bekerja. Mau bukti?"

"Jangan," teriak Wening. Dia terpaksa berteriak, yakin jika Fandra pasti akan dengan mudah mendapatkan alamat kantornya. Semalam saja, lelaki itu bisa mengetahui rumah serta nomor telepon tanpa dia bertanya pada Wening secara langsung.

"Kalau begitu. Makan makanan yang aku kirimkan tadi. Jangan sampai telat atau mag-mu akan kambuh."

"Jadi, kamu yang mengirimkan buket dan makan siang tadi?"

"Iya, Sayangku. Menurutmu siapa lagi yang akan mengirimkan buket mawar dan juga makan siang selain calon suamimu ini."

"Kamu bukan calon suamiku. Nggak usah ngarang, ya." Isakan Wening seketika lenyap mendengar kata sayang yang diucapkan Fandra.

"Muach. Pasti kamu makin cantik kalau lagi marah gini." Suara tawa Fandra mengudara membuat Wening makin jengkel dan kembali mematikan sambungan telepon sepihak.

Baru saja bernapas lega karena Fandra tidak meneleponnya kembali. Suara telepon interkom di mejanya berbunyi. Wening segera saja mengangkatnya karena takut dari atasan atau divisi lain yang berkaitan dengan pekerjaan.

"Selamat siang Bu Wening. Ada calon suaminya yang menunggu di loby," kata seorang perempuan yang pastinya resepsionis garment.

Wening menepuk keningnya sendiri. Apalagi yang dilakukan Fandra di kantornya saat ini.

"Katakan padanya, saya akan segera turun." Wening segera menutup sambungan. Membenahi make up yang berantakan dan segera turun menuju loby garment. 

Baru keluar lift, lelaki berkulit kuning langsat dengan alis tebal dan bulu tipis di bawah bibirnya sudah melambaikan tangan. Wening menghela napas, melihat kiri kanan dan beruntungnya tidak ada yang melihat adegan lebay Fandra.

Namun, betapa terkejutnya si gadis ketika langkahnya semakin dekat dengan lelaki tersebut. Fandra langsung menariknya ke dalam pelukan saat itu juga seseorang berteriak memanggil nama Wening dengan penuh kemarahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status