Happy Reading
*****Mengabaikan segala kekesalan pada lelaki yang katanya sudah bertunangan semalam, Wening mengambil buket bunga serta kotak makanan di tangan OB."Terima kasih, Mas," ucap Wening."Sama-sama, Bu." Merasa pekerjaannya sudah selesai, sang OB memilih pergi dari ruangan akuntan apalagi tanpa sengaja melihat delikan dari sang wakil direktur baru.Cepat, Fahri menutup pintu dan berjalan mendekat pada Wening. Dia merebut buket itu dengan kasar. "Jadi, kamu mengkhianati aku? Ckck, nggak nyangka," katanya."Ada maling teriak maling sepertinya. Mau apa ke ruanganku?" Wening menaruh buket serta kotak makan di meja kerjanya."Bukannya kamu yang chat supaya aku memberikan penjelasan tentang kejadian semalam. Sepertinya sudah nggak diperlukan lagi." Jeda sebentar, lelaki itu memasukkan kedua tangannya di saku celana."Baguslah jika sudah punya calon suami yang bisa menggantikan aku." Fahri menyerahkan sebuah map pada gadis berjilbab di depannya. Dia juga melempar buket mawar ke sofa dengan keras. Ada kemarahan yang meluap-luap saat lelaki itu melakukannya."Buat laporan seperti yang diminta Papa. Dari dulu, kan, selalu kamu yang kerjakan itu," perintah Fahri dengan mata merah dan melebar."Nggak, buat sana sendiri." Wening berusaha menetralkan degup jantungnya yang ingin berlompatan keluar. Selama ini, tak sekalipun dia pernah membantah ucapan Fahri apalagi sampai berkata sedikit keras seperti sekarang."Mulai detik ini, kamu harus mandiri dan melakukan semua pekerjaanmu dengan benar. Pak Fahri yang terhormat." Sang akuntan menatap berani pada atasannya yang baru. "Anda adalah seorang wakil direktur sekarang. Kerjakan tugas sebaik mungkin, jangan mengalihkan pada orang lain yang sama sekali bukan job desk-nya." Memungut buket yang dilemparkan lelaki itu dengan mata dipenuhi kabut.Antara kesal, marah, kecewa dan entah perasaan apalagi yang kini bersarang di hatinya. Wening pun berkata kembali, "Silakan tinggalkan ruangan saya.""Berani kamu berkata seperti itu padaku?" kata Fahri menatap tak percaya pada perempuan yang selama empat tahun lebih menjadi kekasihnya.Ketika Wening akan kembali ke kursinya, tangan Fahri mencengkeram dengan kuat kedua bahu sang wanita. "Aku bisa memecatmu kapan saja jika kamu nggak menuruti perintahku."Mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, Wening berusaha menepis tangan Fahri. Satu tamparan mendarat di pipi lelaki itu. "Belum cukupkah kamu menyakiti aku, Mas?" teriaknya, "silakan pecat aku. Lebih baik, aku memang nggak ada di kantor ini lagi setelah semua pengkhianatanmu."Luruh sudah air mata yang sejak tadi pagi berusaha Wening tahan. Tangan kanannya bahkan bergetar setelah menampar sang kekasih. Terhuyung hingga menyentuh pinggiran meja, perempuan itu meluruh ke lantai. Isakannya terdengar begitu menyayat hati siapa pun yang mendengarnya."Apa yang nggak aku lakukan untukmu, Mas? Kamu minta aku merahasiakan hubungan kita dari semua orang di kantor ini, aku melakukannya. Kamu nggak pernah mengenalkan aku pada keluargamu, aku nggak protes sama sekali. Kamu memintaku untuk mengerjakan semua pekerjaan sulitmu, aku dengan senang hati mengabilknnya. Walau dalam hati mempertanyakan kewajaran hubungan kita. Semalam, saat kamu nggak datang memenuhi janji pun, aku masih berpikiran positif. Adakah perempuan yang lebih bodoh dari aku, hah?" kata Wening di antara isakannya yang mengeras.Tak peduli ada CCTV yang merekam semua aksinya saat ini, Wening meluapkan seluruh kekesalan hatinya. Fahri terdiam, tangannya kembali di masukkan ke dalam saku celana. Dia berdiri tegak seperti patung dan menatap Wening yang kini seperti hilang kendali."Kenapa kamu diam, Mas? Katakan! Apa artinya aku dalam hidupmu?! Kenapa kamu tega menghancurkan harapan yang selama ini aku impikan?" Wening kembali berteriak."Tutup mulutmu. Jangan sampai orang di luar ruangan ini mendnegar semua perkataanmu itu," ucap Fahri tegas tanpa peduli bagaimana perasaan Wening.Setelahnya, lelaki itu meninggalkan sang akuntan begitu saja bahkan dia menutup pintu ruangan Wening dengan cukup keras."Ya Allah, apa salahku?" ucap Wening. Tangisnya kembali pecah. Beberapa saat kemudian, suara ponselnya menghentikan tangisan.Melihat nama kontak yang terlihat, Wening dengan cepat menggulir ikon hijau telepon ke atas. "Nggak perlu sok perhatian. Kita nggak punya hubungan apa-apa," kata Wening pada si penelepon."Kamu kenapa? Suaramu kenapa sengau? Nangis lagi?" kata seorang lelaki di seberang sana."Nggak perlu sok perhatian. Aku nggak kenal kamu sama sekali." Wening mematikan sambungan sepihak.Detik berikutnya, lelaki itu sudah menghubungi gadis berjilbab yang masih meratapi kisah cintanya yang kandas. Sengaja membiarkan panggilan sampai berhenti, si lelaki pantang menyerah. Ponsel Wening kembali berdering hingga beberapa kali.Merasa terganggu dengan suara panggilan tersebut, Wening terpaksa menggerakkan ikon hijau telepon ke atas."Jangan menangis lagi atau aku akan datang ke kantor dan menjemputmu. Katakan! Apa kekasihmu itu ada di kantor sana?" kata lelaki yang tak lain adalah Fandra. Wening memicingkan mata, sisa-sisa isakannya masih terdengar dengan jelas."Kenapa diam? Katakan apa yang harus aku lakukan supaya kamu berhenti menangisi laki-laki itu?" ucap Fandra karena perkataan sebelumnya tidak mendapat respon si gadis."Jangan membuat ulah dengan datang ke kantorku. Lagian, kamu nggak tahu di mana aku bekerja.""Kata siapa aku nggak tahu di mana kmu bekerja. Mau bukti?""Jangan," teriak Wening. Dia terpaksa berteriak, yakin jika Fandra pasti akan dengan mudah mendapatkan alamat kantornya. Semalam saja, lelaki itu bisa mengetahui rumah serta nomor telepon tanpa dia bertanya pada Wening secara langsung."Kalau begitu. Makan makanan yang aku kirimkan tadi. Jangan sampai telat atau mag-mu akan kambuh.""Jadi, kamu yang mengirimkan buket dan makan siang tadi?""Iya, Sayangku. Menurutmu siapa lagi yang akan mengirimkan buket mawar dan juga makan siang selain calon suamimu ini.""Kamu bukan calon suamiku. Nggak usah ngarang, ya." Isakan Wening seketika lenyap mendengar kata sayang yang diucapkan Fandra."Muach. Pasti kamu makin cantik kalau lagi marah gini." Suara tawa Fandra mengudara membuat Wening makin jengkel dan kembali mematikan sambungan telepon sepihak.Baru saja bernapas lega karena Fandra tidak meneleponnya kembali. Suara telepon interkom di mejanya berbunyi. Wening segera saja mengangkatnya karena takut dari atasan atau divisi lain yang berkaitan dengan pekerjaan."Selamat siang Bu Wening. Ada calon suaminya yang menunggu di loby," kata seorang perempuan yang pastinya resepsionis garment.Wening menepuk keningnya sendiri. Apalagi yang dilakukan Fandra di kantornya saat ini."Katakan padanya, saya akan segera turun." Wening segera menutup sambungan. Membenahi make up yang berantakan dan segera turun menuju loby garment. Baru keluar lift, lelaki berkulit kuning langsat dengan alis tebal dan bulu tipis di bawah bibirnya sudah melambaikan tangan. Wening menghela napas, melihat kiri kanan dan beruntungnya tidak ada yang melihat adegan lebay Fandra.Namun, betapa terkejutnya si gadis ketika langkahnya semakin dekat dengan lelaki tersebut. Fandra langsung menariknya ke dalam pelukan saat itu juga seseorang berteriak memanggil nama Wening dengan penuh kemarahan.Happy Reading*****Fandra semakin mengeratkan pelukannya pada Wening. Dia bahkan sampai memutar tubuh si perempuan ke arah berlawanan dan sedikit menjauh dari tempat semula. Wening mulai meronta-ronta minta dilepaskan, sementara suara panggilan namanya dari arah belakang membuat semua karyawan mulai berkerumun."Ayo pergi sekarang sebelum makin banyak teman-teman kerjamu memperhatikan kita," bisik Fandra tanpa mau menghiraukan panggilan seseorang pada Wening."Iya, tapi lepaskan dulu." Fandra mengendurkan pelukan, tetapi tangannya dengan cepat menyeret Wening keluar dari kantor garment tempatnya bekerja. Tanpa menoleh pada siapa pun. Mereka berdua jalan lurus hingga sampai di parkiran.Sementara itu, seseorang yang memanggil Wening tadi begitu marah karena merasa di abaikan. "Kenapa kamu terlihat marah begitu, Yang?" tanya perempuan yang selalu menempel pada lelaki itu."Gimana nggak marah. Wening melakukan hal tak senonoh di tempat kerja. Memangnya kantor ini tempat mesum? Seenakn
Happy Reading*****Wening memperbaiki dirinya sebelum keluar ruangan. Sudah dua kali dalam satu hari ini, dia dipanggil sang atasan. Kali ini, entah hal penting apa yang akan disampaikannya. Naik ke lantai berikutnya, gadis itu berdoa dalam hati semoga bukan tentang kejadian di lobi yang membuatnya di panggil oleh sang direktur.Mengetuk pintu ruangan sang direktur sekaligus sang pemilik usaha. Wening membukanya setelah dipersilakan. "Permisi, Pak," ucap Wening. Sedikit membungkuk mendekati meja sang direktur.Lelaki dengan perut buncit itu menggerakkan kepala menatap akuntan yang sudah bekerja lebih lima tahun di hadapannya. Sejak pertama kali melamar pekerjaan di garmen miliknya, Wening sudah menarik simpati sang atasan. Sosoknya sangat berkarakter, jarang sekali melakukan kesalahan pada pekerjaan. Disiplin tinggi serta tanggung jawab dan loyalitasnya pada garmen tidak perlu diragukan lagi. "Duduklah," suruh lelaki bernama Hartawan.Menggeser kursi di hadapan sang direktur, Wenin
Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, perkataan Abraham terus saja berputar di dalam otak Wening. Jika sahabat yang paling dekat dengan mantan kekasihnya saja mengatakan demikian. Lalu, kenapa dia masih begitu percaya pada Fahri saat itu."Jadi, apa arti hadirku dalam hidupmu, Mas?" tanya Wening dalam hati. Memarkirkan mobil milik bapaknya. Wening masuk rumah tanpa ada firasat apa pun. Tidak pernah tahu bahwa seluruh anggota keluarganya kini tengah berkumpul di ruang tamu menunggu kepulangannya."Assalamualaikum," salam Wening ketika memutar kenop pintu ke bawah."Waalaikumussalam," jawab semua orang dari dalam rumah.Kepala Wening menyembul di daun pintu. Dia sengaja mengintip terlebih dahulu, mendengar jawaban serempak yang tak biasanya terdengar ketika pulang kerja. Kedua alis si gadis menyatu. Perlahan, dia melangkahkan kaki masuk dan mulai menyapa seluruh keluarga satu per satu dengan menyalami mereka semua.Ketika akan bergerak menuju kamar, suara bariton Mahmud terdenga
Happy Reading*****"Katanya ingin adik segera menikah, tapi Ibu menetapkan standard yang begitu tinggi saat mencari calon menantu. Gimana, sih," sahut si tengah, "kalau ingin adik menikah tahun ini, ya, biarkan saja sama Fandra. Dia cukup baik dan ramah. Masalah pekerjaan, kita nggak boleh mengadili seperti itu. Suatu saat, seorang office boy juga pasti akan naik jabatan."Si tengah, Akbar menatap Fatimah dengan wajah keberatan atas kalimat yang dikeluarkannya tadi. Baru akan membuka suara lagi, tangan kanan Mahmud terangkat. Kelima jarinya tegak meminta Akbar diam. Ada sesuatu yang harus dia ketahui dan hal itu sangat penting daripada pekerjaan Fandra. Lalu, Mahmud pun menatap putrinya dan berkata, "berapa umur Fandra, Nduk?""Adik nggak tahu, Pak. Mungkin usianya jauh di bawah Wening." Si bungsu menjawab dengan sangat lirih bahkan kepalanya tertunduk begitu dalam. Sepanjang hidup, baru kali ini Wening disidang oleh keluarganya sendiri gara-gara orang lain.Sekali lagi, helaan panj
Happy Reading*****"Mbak," panggil Fandra. Tangannya bergoyang ke kanan kiri, tepat pad wajah Wening. "Mau nggak? Kok, malah bengong. Nggak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Lagian sudah mau magrib, keburu bengkelnya tutup.""Hah?" tanya Wening, seperti orang linglung."Bisa nggak nolongin aku, Mbak?" tanya Fandra memastikan sekali lagi."Hmm. Bisa, tapi aku nggak pernah melakukannya. Tunjukkan caranya, aku akan belajar dengan cepat.""Baiklah. Terima kasih sebelumnya." Fandra bahkan dengan sengaja mengedipkan mata pada si gadis. Wening memalingkan muka.Fandra tertawa cukup keras, tetapi detik selanjutnya, dia mulai menjelaskan pada Wening bagaimana caranya. Menyimak semua instruksi yang dikatakan oleh Fandra, Wening mulai naik pada motor lelaki itu.Perlahan kedua melaju, menuju bengkel yang letaknya cukup jauh dari tempat Fandra menghentikan Wening tadi. Sesampainya di depan bengkel, keduanya berhenti. "Terima kasih, Mbak. Sudah mau membantuku," kata Fandra. Sekali lagi,
Happy Reading*****"Mengapa kalian melihat Bapak dengan tatapan aneh begitu," ucap Mahmud menanggapi keterkejutan semua orang. Seluruh anggota keluarga menggeleng. Jika sang kepala keluarga sudah beritahu, tidak akan bisa anggota yang lain protes untuk menolak. Demikianlah yang terjadi sejak bertahun-tahun lalu di keluarga Wening. Mahmud mengarahkan pandangan pada si bungsu. "Nduk, pinjamkan sarung untuk Nak Fandra," titah sang kepala keluarga tanpa ada yang bisa membantah.Wening berbalik arah dan menuju lemari di pintu masuk musala. Sementara Fandra, dia segera mengambil wudu. Tak ingin membuang waktu sama sekali karena waktu magrib sangat singkat. Walau ada rasa gugup yang menyerang jantungnya saat ini, tetapi Fandra tetap menerima permintaan Mahmud. Entah alasan apa yang dimiliki lelaki paruh baya tersebut.Fandra percaya semua akan terlewati dengan mudah. Niatnya datang ke rumah keluarga Wening baik dan insya Allah akan mendapat keridhaan.Menyerahkan sarung tanpa berkata apa
Happy Reading*****"Nggak perlu berdebat seberapa lama kamu telah mengenal putri Bapak. Semuanya pasti nggak akan ada ujungnya." Mahmud kembali melirik sang istri. Gelagat kekaguman serta cinta yang begitu besar di mata Fandra ketika menatap Wening, tertangkap oleh indera Mahmud. Tidak akan dia biarkan seorang lelaki menatap putri seperti itu. "Nduk, sudah waktunya makan malam. Sebaiknya kalian menyiapkan makan malam. Masalah itu sudah jelas ke mana ujungnya. Bapak harap, Nak Fandra mau menerima dengan lapang. Untuk saat ini, Bapak memang belum bisa menerima lamaranmu."Para wanita beranjak dari duduk dan mulai berjalan ke dapur. Fatimah terdengar mengoceh, seperti memberi nasihat atau sedang marah pada Wening. Fandra masih mengamati perempuan berjilbab yang sudah sangat menarik hatinya itu.Kurang dari lima menit kemudian, kakak ipar kedua Wening yang bernama Reni, kembali ke ruang tamu. "Pak, makanan sudah siap," ucapnya.Menoleh pada menantunya, Mahmud menganggukkan kepala. "Ayo
Happy Reading*****Membuka mata karena mendengar suara orang mengaji dari speaker musala. Wening menegakkan tubuh dan menyandarkan kepala sebelum turun dari ranjang. "Alhamdulillah. Engkau masih memberi hamba kesempatan terbangun pagi ini, Ya Allah." Mengusap kedua tangan pada wajah. Gadis itu tersenyum. Mengambil ponsel karena mendengar dering notifikasi masuk. Wening mendapat sapaan pagi dari Fandra."Pagi cantik. Sudah bangun? Jangan sedih, ya. Aku akan berjuang untuk mendapatkan restu Bapak. Nggak masalah jika Mbak belum mencintaiku. Asal aku masih bisa mengirimkan chat dan melihat Mbak Ning setiap hari walau cuma foto. Jangan sampai telat salat subuh, ya." Di akhir chat yang dikirimkan si lelaki, dia membiarkan emotikon berbentuk hati dengan warna hitam.Antara ingin tersenyum dan mengisi, Wening menatap layar ponselnya. "Kamu begitu manis sekali padahal orang yang bertahun-tahun menjalin hubungan dekat denganku nggak pernah melakukannya. Maafkan aku, Fan. Semoga, kamu segera d