Share

Janji kosong

Author: ORI GAMII
last update Huling Na-update: 2025-11-19 21:05:41

Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu.

Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan.

“Begini… norak nggak, ya?” gumamnya.

Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung.

“Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!"

Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari.

Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya.

“…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih," gumamnya lirih.

Dan akhirnya, gaun itu menjadi pilihan terakhirnya. Ia mengembuskan napas, antara pasrah dan deg-degan, lalu meraih tas selempangnya yang berada di atas kasur.

Begitu membuka pintu kamar, langkah Bricia otomatis melambat. Ia sempat melihat pantulan dirinya sekali lagi di cermin lorong dan memastikan rambutnya rapi dan dress-nya jatuh dengan cantik.

“Udah, Bri. Santai. Cuma ambil gelang,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi ia juga terkikik geli setelahnya.

Bricia menuruni anak tangga dengan hati yang tak santai sama sekali. Tas selempang ia geser ke depan, seolah itu bisa menutupi rasa gugupnya. Setiap langkah menuju pintu utama justru membuat detak jantungnya semakin terdengar jelas di telinganya sendiri.

Namun ia tetap berjalan. Karena apa pun alasan ia berdandan seperti ini, ia tahu bahwa sesungguhnya ia memang ingin terlihat cantik di depan Andrew.

“Mau ke mana, Bri?”

Pertanyaan Louisa membuat langkah Bricia langsung terhenti. Ia menoleh dan mendapati Louisa sedang duduk di meja makan sambil menatapnya dari ujung kepala sampai mata kaki.

“Ketemu teman,” jawab Bricia santai, berusaha menjaga wajah sedatar mungkin.

Louisa menyipitkan mata, ia meneliti floral dress yang jelas bukan outfit Bricia sehari-hari.

“Teman perempuan atau laki-laki?”

Bricia mendengus. “Ih, kepo. Udah, aku jalan dulu.”

Louisa tertawa kecil, ia tak bisa menahannya. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi dengan Bricia. Setelah cukup lama Bricia tak bercerita tentang kekasihnya, mungkinkah perempuan itu sedang mengalami butterfly era kembali?

Keluar dari rumah, Bricia langsung menuju mobilnya. Kemarin, saat ia meninggalkan mobil itu di area kampus, sekuriti rumah yang menjemputnya dan membawanya pulang sore harinya.

Begitu mobil mulai bergerak keluar halaman, tiba-tiba sosok Leo muncul dan berdiri tepat di depan kap mobil. Tubuhnya tegap, kedua tangan terentang lebar seolah ingin menghentikan truk, bukan city car milik Bricia. Wajahnya dibuat sedramatis mungkin, campuran antara sedih, memelas, dan pura-pura tersiksa.

Bricia otomatis menghentikan mobil, lalu memencet klakson keras-keras.

Tapi Leo tak bergeming. Bahkan lebih gilanya lagi, ia bersimpuh di depan mobil Bricia, kedua tangannya menempel di aspal seperti aktor drama murahan.

“Ya ampun! Apa-apaan sih ini orang!” gerutu Bricia hampir memukul setir.

Ia menurunkan kaca jendela dengan gerakan kasar. “Leo! Minggir!” teriaknya kencang.

“Maafin aku dulu, Bri. Aku ngaku salah. Please… maafin aku. Aku nggak sanggup hidup tanpa kamu, Bri.” Leo makin memasang wajah sedih.

Bricia menjedotkan kepalanya ke kemudi. Sial… hal seperti ini terjadi lagi. Ini adalah kebiasaan buruk Leo, setiap kali ia melakukan kesalahan, maka lelaki itu akan memohon dengan wajah yang terlihat menyesal.

“Bri… please…”

Kali ini Leo menangkup kedua tangan di dada, wajahnya semakin dibuat memelas, seolah mobil Bricia adalah malaikat yang bisa menentukan hidup dan matinya.

Bricia memejamkan matanya.

“Ya Tuhan… kenapa harus sekarang?” gumamnya frustrasi. Di saat ia ada janji temu dengan Andrew, Leo justru muncul di tempat yang paling tidak ia harapkan.

Mulai jengah, Bricia akhirnya keluar dari mobil. Ia melangkah cepat menuju Leo dengan wajah kesal. Namun Leo, seperti biasa tanpa tahu malu, justru ikut maju dan langsung menarik Bricia ke dalam pelukannya.

“Makasih udah maafin aku, Honey.”

Bricia refleks mendorong dada Leo, tapi lengan Leo mengunci lebih erat.

“Aku tahu kemarin kita cuma salah paham. Kita sama-sama capek, makanya ribut. Tapi aku yakin… kita masih saling mencintai.”

Bricia mendongak dengan ekspresi tak percaya, bola matanya berputar dengan gerakan mdlas. “Siapa yang maafin kamu?”

Tubuh Leo sempat menegang dalam pelukan itu, tapi ia cepat menormal-kan diri. Lengannya tetap kencang mengurung Bricia.

“Aku sudah minta maaf, Bri.”

“Leo—”

“Aku janji bakal berubah. Sesuai yang kamu mau.”

Kedua bahu Bricia perlahan jatuh. Entah kenapa, rasa pedulinya pada Leo selalu muncul di saat paling tidak tepat. Marah, jengah, kecewa, semuanya bercampur. Tapi perasaan yang belum tuntas itu masih saja menang.

“Sekarang aku mau ajak kamu makan siang. Aku nemu tempat baru, kamu pasti suka.”

Tanpa menunggu persetujuan, Leo langsung menarik tangan Bricia dan membawanya ke kursi penumpang.

Dan Leo memang sengaja datang dengan ojek online, tentu agar rencananya berjalan mulus tanpa ada mobil yang harus ditinggalkan.

Setelah duduk di balik kemudi, Leo menoleh. Telapak tangannya menyentuh pipi Bricia, ibu jarinya menyapu lembut, lalu sebuah kecupan singkat mendarat di sana.

“Kita berangkat, ya.”

Bricia tak menjawab. Ia hanya menutup mata dan menyandar, pasrah pada situasi yang semakin tidak bisa ia kendalikan.

Sementara itu di Rosemary Cafe, Andrew duduk di meja pojok. Cukup tersembunyi, tapi posisi yang pas untuk melihat pintu masuk. Di depannya, segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap.

Ia melirik jam tangan. Lima menit lewat dari waktu yang mereka sepakati. Bricia belum juga datang.

Lima menit maju menjadi sepuluh. Andrew mengembuskan napas kecil, mencoba tetap tersenyum meski alisnya mulai mengerut.

Menit ke dua puluh, ia mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari Bricia.

Sedari tadi pintu kafe terbuka beberapa kali. Bunyinya selalu membuat Andrew refleks menengok, tapi yang masuk tetap bukan Bricia.

Tubuh Andrew perlahan merosot ke sandaran kursi. Ada sesuatu di dadanya yang berat, campuran kecewa, cemas, dan sedikit rasa penasaran, ada apa sebenarnya dengan perempuan itu?

Ia kembali melihat jamnya. Kali ini gerakannya lebih lambat, seolah ia sudah tahu apa yang akan ia temukan.

Mungkin… Bricia memang tidak akan datang.

Matanya jatuh pada kopi yang sudah dingin. Andrew tersenyum tipis, senyum yang terasa getir di lidahnya sendiri.

“Baiklah, Bri. Mungkin bukan hari ini.”

Ia menatap pintu masuk sekali lagi, berharap ada keajaiban kecil. Bahwa Bricia datang terlambat, berlari kecil dengan napas terengah, lalu duduk di depannya.

Tapi pintu itu hanya terbuka untuk orang lain.

Dan Andrew tetap di sana, sendirian, dengan kopi dingin dan janji yang tak jadi bertemu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tergoda Teman Papa    Perasaan Louisa

    Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set

  • Tergoda Teman Papa    Janji kosong

    Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"

  • Tergoda Teman Papa    Janji Temu

    Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda

  • Tergoda Teman Papa    Masa Lalu Andrew

    Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu

  • Tergoda Teman Papa    Bertemu lagi?

    Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti

  • Tergoda Teman Papa    Luka

    “Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status