Komputer di ruang servis sudah dimatikan, tapi detak jantung Nasrul masih memburu. Notifikasi terakhir dari HP Arum masih menari di benaknya, memicu rasa bersalah sekaligus gairah yang sulit dipadamkan.
“Cukup untuk malam ini,” gumamnya lirih. Ia melirik pintu kayu di samping meja. Pintu tembusan menuju rumah. Tangannya ragu sejenak, lalu menarik gagang. “Semoga Ning tidak curiga kalau aku terlalu lama di sini.
Pintu ruang servis berderit pelan ketika Nasrul mendorongnya. Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit.
“Waduh, sudah jam sebelas lewat, jangan-jangan ibu negara ngambek nih” degup jantung Nasrul langsung mencelos. Ia tahu Ningsih hanya menoleransinya lembur sampai pukul sepuluh demi punya waktu untuk keluarga, karena seharian kerja di gerai hp besar yang ada di kota.
Ia masuk kamar dengan langkah hati-hati. Ningsih sudah menunggu di ranjang, duduk dengan wajah setengah kesal, setengah manja. Rambut hitamnya tergerai menutupi pipi.
“Mas, jam berapa ini? Kamu nglantur lagi lho” tegurnya pelan.
Nasrul menggaruk kepala, mencoba meredakan tegang. “Nanggung dek, tadi ngrampungin satu ponsel lagi, Maaf, lupa waktu.”
“Untung aku nggak kunci pintu,” balasnya sambil menyibakkan selimut.
Nasrul buru-buru menutup pintu. Dari kamar sebelah, samar terdengar napas Arga, putra mereka. Bocah itu baru enam tahun, sudah berani tidur sendiri, tapi tetap minta lampu menyala.
“Arga udah tidur?” tanya Nasrul sambil melepas kaus kerjanya.
“Udah dari jam sembilan. Aku bacain cerita dulu, baru bisa merem,” jawab Ningsih. Ia melirik suaminya, lalu menambahkan, “Kamu nggak kangen bacain dia cerita, Mas?”
“Kangen, tapi kalau ada lemburan kan nggak sempet, dek,” jawab Nasrul singkat. Padahal kenyataannya, lembur bukan tuntutan tempatnya bekerja, hanya sekadar tambahan.
Ningsih cemberut manja. “Alasanmu banyak. Kalau soal aku, tiap malam juga mintanya nggak pernah absen.”
Nasrul terkekeh, berbaring di sampingnya. “Itu kan hak suami.”
“Dasar. Untung aku nggak pernah nolak.”
Mereka sama-sama tertawa kecil. Hangat. Untuk sesaat, Nasrul merasa aman. Ia menatap wajah istrinya, yang selalu manis meski tanpa riasan.
Malam itu, sambil memeluk Ningsih, kilasan masa lalu datang. Ia masih ingat jelas pertama kali bertemu gadis itu di toko servis ponsel tempatnya bekerja. Ningsih datang bersama temannya, membeli casing. Kala itu, ia hanya bisa melirik sekilas. Ia pikir, tak mungkin seorang mahasiswa cantik memperhatikan teknisi ponsel seperti dirinya.
Namun takdir seolah sengaja mempertemukan lagi. Motor Ningsih mogok di jalan, dan ia kebetulan lewat. Ia yang mendorong motor itu sampai bengkel, meski keringat membasahi tubuhnya. Sejak saat itu, Ningsih mulai berani mengirim pesan lebih dulu. Awalnya hanya ucapan terima kasih, lalu berkembang jadi sapaan pagi dan malam.
“Kalau dipikir-pikir, kamu dulu nekat banget ya ngejar aku,” ucap Nasrul sambil mengusap pipi istrinya.
Ningsih tergelak kecil. “Kalau aku nggak nekat, kita nggak akan begini, Mas.”
Nasrul tersenyum. Benar. Dari rasa penasaran kecil, tumbuh cinta yang mereka rawat bertahun-tahun sampai akhirnya duduk di pelaminan. Ningsih meninggalkan kampungnya, ikut dengannya, bahkan rela tinggal di rumah sederhana demi bersama.
Lampu kamar dibiarkan temaram. Nafas Ningsih teratur, ia merebahkan diri di pelukan suaminya. “Mas, kamu nggak bosan apa, tiap malam selalu minta?” bisiknya, setengah menggoda.
Nasrul membalas dengan senyum tipis. “Mana mungkin bosan. Kamu itu sumber hidupku.”
“Doyan gombal,” Ningsih tertawa kecil, memukul dadanya pelan.
Ia menggeser tubuhnya mendekat. Hangat tubuh mereka berpadu. Jari-jemari Nasrul menelusuri lengan istrinya, membuat Ningsih menggeliat kecil. Tatapan mereka bertemu, lama, seolah saling membaca isi hati.
“Aku bersyukur punya kamu,” gumam Nasrul serak, menundukkan wajah mendekati kening istrinya.
Ningsih menutup mata, membiarkan kecupan itu jatuh perlahan. Ciuman kecil di dahi berlanjut ke pipi, lalu ke bibir yang lembut menunggu. Mereka larut dalam kehangatan yang tak butuh kata-kata, hanya rasa yang berbicara.
Pelukan itu semakin erat, napas mereka bercampur. Ningsih menghela napas panjang, seakan melepas segala lelah hari ini ke dalam dekapan suaminya. Ia tahu, malam-malam seperti ini adalah bentuk cinta yang sederhana, tapi tak ternilai.
Namun di tengah keintiman itu, batin Nasrul justru bergejolak. Saat seharusnya ia tenggelam sepenuhnya dalam pelukan istrinya, bayangan lain menyusup—wajah Arum, senyum sendunya, tubuhnya yang terpantau oleh monitornya. Semua muncul jelas, merusak ketenangan hatinya.
Ia meremas sprei. Kenapa bayanganmu yang datang, Arum… padahal istriku ada di pelukanku?
Nafasnya makin berat. Di satu sisi, ia merasa bersyukur memiliki Ningsih, wanita yang dulu memperjuangkannya mati-matian. Tapi di sisi lain, rasa bersalah itu bercampur dengan godaan yang makin tak terbendung.
Malam itu, Nasrul sadar, dirinya sedang berdiri di tepi jurang. Jurang yang tak terlihat, tapi sekali ia melangkah, mungkin tak ada jalan kembali.
Dan rahasia yang ia bawa dari ruang servis—tentang ponsel Arum dan semua yang sudah ia intip—pelan-pelan berubah menjadi beban yang bisa menghancurkan segalanya.
Nasrul berdiri di depan rumah Arum, napasnya masih berat setelah berjalan cepat dari rumah sendiri. Pintu rumah tetangga itu terbuka setengah, tirai sedikit bergoyang diterpa angin malam. Hatinya berdebar.“Astaghfirullah… ini salah… tapi aku harus…” gumamnya lirih.Ia menatap ke dalam sebentar, melihat kamar Arum dari jauh. Tubuhnya yang tampak lelah masih terbaring di ranjang. Nasrul gamang. Langsung masuk? Tidak, itu terlalu jauh. Ia takut salah langkah, takut menimbulkan kesalahpahaman.Akhirnya, ia mengetuk pintu pelan. Satu ketukan. Dua ketukan. Lalu berulang kali, sambil sesekali memanggil:“Arum… Arum, kamu…?” suaranya bergetar.Hening sejenak. Napasnya tertahan, tangan masih di ambang pintu.“Arum… ini Mas Nasrul… pintu kamu… belum ditutup…”Tidak ada respons. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras, tapi masih sopan. Suara ketukan bergema di lorong.Tiba-tiba, terdengar suara serak, setengah terbangun: “Eh… siapa…?” gumam Arum, suaranya masih berat dan tersendat.Pin
Malam ketiga datang lebih cepat dari yang dibayangkan Nasrul. Seharian ia sudah gelisah, bayangan Arum di layar komputer masih menari-nari di kepalanya.“Aku harus berhenti. Ini salah,” katanya berkali-kali sambil mengetuk-ngetuk meja kerja. Namun suara lain dalam dirinya justru membisik, “Sekali lagi saja… hanya melihat. Tidak lebih.”Begitu jam menunjukkan pukul sembilan malam, ia duduk di kursi kerjanya, menyalakan komputer. Aplikasi rahasia itu langsung terbuka, layar menyala dengan tampilan ponsel Arum.“Bismillah…” gumamnya, jemarinya bergetar menekan mouse.Ia membuka dashboard aplikasi, lalu matanya terbelalak. Ada menu baru yang sebelumnya belum pernah ia sentuh: akses CCTV. Rupanya dari ponsel Arum ia bisa menjebol akun keamanan rumah yang terhubung ke kamera-kamera.“Ya Allah… jadi bukan cuma HP-nya, tapi semua CCTV rumah juga bisa aku lihat?” suaranya tercekat. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah. Namun rasa penasaran lebih kuat.Klik! Layar komputer berubah
Tangannya menggantung di atas mouse. Cling! Notifikasi baru muncul di layar komputer. Mata Nasrul langsung melebar. Pesan dari Arum ke suaminya terpampang jelas di hadapan mata.“Mas… aku sudah tak tahan lagi… ingin dijamah…”Tubuh Nasrul kaku. Jantungnya berdetak tak karuan. “Astaghfirullah… apa yang dia tulis ini?” gumamnya, tangan gemetar di atas mouse. Ia menatap layar seakan tak percaya.Bayangan malam sebelumnya kembali terlintas. Ia sempat membaca potongan pesan dari Arum, tapi waktu sudah lewat tengah malam sehingga ia buru-buru mematikan komputer. “Dan sekarang… semua semakin jelas,” batinnya, menelan ludah.Rasa penasaran semakin menguasai. Dengan napas berat, ia menggeser kursornya, membuka percakapan lengkap. Chat Arum penuh dengan keluhan tentang sepinya rumah, rindunya pada suami, dan godaan yang kian tak terbendung.“Aku bosan sendirian… kamar ini terlalu sepi…” “Mas, cepat pulanglah… aku butuh kamu malam ini…”“Kenapa aku harus melihat ini… ini bukan urusanku,” gumamn
Komputer di ruang servis sudah dimatikan, tapi detak jantung Nasrul masih memburu. Notifikasi terakhir dari HP Arum masih menari di benaknya, memicu rasa bersalah sekaligus gairah yang sulit dipadamkan.“Cukup untuk malam ini,” gumamnya lirih. Ia melirik pintu kayu di samping meja. Pintu tembusan menuju rumah. Tangannya ragu sejenak, lalu menarik gagang. “Semoga Ning tidak curiga kalau aku terlalu lama di sini.Pintu ruang servis berderit pelan ketika Nasrul mendorongnya. Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit. “Waduh, sudah jam sebelas lewat, jangan-jangan ibu negara ngambek nih” degup jantung Nasrul langsung mencelos. Ia tahu Ningsih hanya menoleransinya lembur sampai pukul sepuluh demi punya waktu untuk keluarga, karena seharian kerja di gerai hp besar yang ada di kota.Ia masuk kamar dengan langkah hati-hati. Ningsih sudah menunggu di ranjang, duduk dengan wajah setengah kesal, setengah manja. Rambut hitamnya tergerai menutupi pipi. “Mas, jam
Ruang servis sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit, menemani Nasrul yang duduk terpaku menatap monitor komputer rakitannya. Aplikasi tersembunyi yang ditanam pada ponsel Arum berhasil menyadap percakapan pribadi sepasang pengantin baru itu. “Sekarang aku bisa memasuki kehidupan pribadimu, Arum”. Ayo mulailah bercakap dengan suamimu!”. Kaki nasrul menghentak-hentak pelan ke lantai tanda tak sabar.Jari-jarinya gemetar memegang mouse, tapi bukan karena takut ketahuan. Tapi perasaan yang tidak sederhana untuk dijelaskan. Merasa bersalah dengan Arum, Deni, lebih-lebih Ningsih istrinya, tapi nafsu terlanjur menguasai. “Seberapa besarkah dosaku melakukan ini?” batin Nasrul senang bercampur bimbang.Ia mulai menggulir dengan sabar, menelusuri semua riwayat percakapan yang pernah terjadi antara Arum dan suaminya, sejak masa pacaran-tunangan-sampai setelah sah menjadi pasangan suami istri. Ketika sampai di lini masa pascapernikahan, Nasrul membuka pesan suara dari Deni. Dengan napas
Layar ponsel Arum menyala cerah seolah memberi permisi agar mulai dijamah, dan Nasrul seakan kehilangan napas. Awalnya niat hanya mengecek kerusakan aplikasi, tapi jemarinya malah berlabuh pada ikon galeri.“Buka sebentar saja nggak apa-apa, kan?” batinnya merayu pikirannya, atau malah sebaliknya batinnya yang justru digoda oleh pikiran nakalnya, ia mencoba bersikap tenang meski jantungnya sudah berpacu kencang.Gambar di awal biasa saja—makanan, artis K-Pop, screenshot baju-baju di marketplace–khas isi galeri ponsel para wanita. Ia hendak menutup, tapi rasa penasaran lebih kuat. Jempolnya menggulir cepat menyelam lebih dalam dan dalam lagi entah berharap menemukan apa.Lalu muncullah ratusan swafoto Arum. Senyum manis dengan jilbab rapi, gaya polos tanpa make-up. Hanya itu saja sudah cukup membuat dada Nasrul hangat. Namun makin digeser, foto-foto itu berubah. Arum tanpa jilbab, rambut hitamnya terurai panjang, kaos ketat membalut tubuh semampainya. Senyum tipis itu membuat Nasrul ta