Musim berganti perlahan. Di luar jendela, daun berguguran, lampu rumah sakit berkelap-kelip, dan keluarga bergiliran berjaga. Komplikasi medis tetap menjadi ancaman, tetapi ada juga momen-momen kecil yang memberi rasa: perawat yang tersenyum saat Ezra tersedak menahan air mata; dokter yang memberi kabar tentang sedikit reaksi otak yang menggembirakan meski kecil; Narumi yang memutuskan untuk mengurangi semua pekerjaan dan hanya fokus menunggu dan menjaga.
Di titik ini, cerita memasuki fase yang rapuh: Aruna koma kondisi yang tak memberitahu apakah dan kapan ia akan bangun. Namun di sela kegelapan itu tumbuh tindakan nyata: upaya hukum untuk mengadili para pelaku, dukungan teman-teman yang kini berubah menjadi garda depan pendampingan keluarga, dan rencana-rencana pencegahan yang mulai dikerjakan oleh sekolah serta keluarga besar.Dan di kamar itu, setiap kali Ezra menggenggam jemari yang tak merespon, ada bisik lembut: “Bangunlah. Aku di sini.” Kalimat itu menjadiBangku-bangku kayu tertata rapi di ruang bimbingan, tapi suasana terasa berbeda dari biasanya.Aruna duduk di satu sisi, catatan dan buku terbuka di depannya, mencoba fokus pada materi yang diberikan.Beberapa teman sekelompok menatapnya dengan ekspresi samar, ada rasa ragu, ada bisik-bisik kecil yang terus terdengar.Di pintu masuk, Julia muncul dengan senyum manis.Ia menyapa beberapa anggota kelompok lain, lalu mendekati Aruna seolah ingin “menghibur.”“Eh, Aruna… aku dengar kemarin kamu agak… telat menyerahkan laporan, ya? Padahal kita kan harus kompak,” ucap Julia dengan nada pura-pura prihatin, menatap teman sekelompok lain.Beberapa anggota lain menatap Aruna, raut wajah mereka mulai berubah—antara bingung dan sedikit ragu.Aruna menelan ludah, mencoba menjawab dengan lembut,“Aku… sebenarnya sudah menyerahkannya, tapi mungkin ada kesalahan administrasi.”Julia tersenyum tipis, mencondongkan tubuh, berbisik seolah hanya
Ruang rapat dipenuhi cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar, tapi suasana tetap tegang.Panitia inti sudah berkumpul, beberapa panitia junior duduk berjajar, wajah mereka serius, bisik-bisik kecil terdengar di sudut-sudut ruangan.Di depan meja, Aruna berdiri dengan raut tegang tapi berusaha menahan diri.Setiap tatapan dari panitia lain terasa menusuk, menilai, menunggu kesalahan sekecil apa pun.Di pojok ruangan, Ezra, Raska, dan Nadia duduk, menatap layar laptop dan beberapa dokumen print-out yang baru mereka susun.Mereka tahu ini momen yang menentukan: bukti manipulasi Julia harus ditunjukkan tepat waktu agar Aruna terbebas dari tuduhan palsu.Ketua rapat membuka dengan nada formal.“Kita akan membahas laporan evaluasi kegiatan Maba dan kepatuhan mahasiswa terhadap aturan. Ada beberapa kasus pelanggaran yang perlu ditinjau.”Semua mata tertuju pada Aruna begitu Julia melangkah maju, senyum manis di wajahnya.“Sep
Ezra, Raska, dan Nadia masuk ke ruang server fakultas dengan langkah pelan.Udara dingin dari AC membuat bulu kuduk berdiri, tapi ketiganya terlalu fokus untuk merasakannya.Raska langsung membuka laptopnya, menyiapkan akses ke CCTV.“CCTV hari itu masih utuh. Kamera di koridor dan taman rekam semua pergerakan Aruna,” jelasnya.Nadia duduk di sebelah Ezra, membuka ponsel dan menghubungi perawat UKS.“Dokter sudah setuju fotoin surat medis Aruna. Dia bilang semua catatan asli akan dikirim malam ini,” katanya sambil mencatat di buku kecil.Ezra menunduk, matanya menatap layar laptop, meneliti log sistem absensi panitia.“Julia hapus beberapa entri,” gumamnya. “Tapi ada timestamp otomatis dari server. Ada celah kecil yang menunjukkan siapa yang memanipulasi.”Raska menepuk meja.“Semua itu bisa jadi bukti. Kita gabungin rekaman CCTV, surat medis, dan log sistem, udah pasti Julia gak bisa ngelak.”Ezra mengangguk.“Tap
Aruna berjalan pelan di antara kerumunan mahasiswa, membawa tas di pundaknya.Meski wajahnya tampak tenang, setiap langkah terasa berat karena bisik-bisik yang terus mengikuti.“Eh, Aruna kan ya? Katanya kemarin absen dua kali, tapi tetap masuk bimbingan Ezra.”“Iya, sama. Aku denger juga dia kedeketan banget sama pembimbingnya, gak pantas gitu.”Aruna menunduk, meremas tali tasnya.Jantungnya berdebar kencang, dada terasa sesak.Ia mencoba mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis ke teman sekelompoknya, tapi tatapan dingin dan komentar setengah bergosip terus menyusul dari belakangnya.Di dalam hatinya, ia menahan air mata, berusaha tetap kuat.Tapi tekanan sosial itu terasa seperti beban berat yang menekan kepala dan dadanya sekaligus.Sementara itu, Ezra duduk di meja kerja, memandangi layar laptop.Raska berdiri di dekat papan putih, menulis beberapa catatan. Nadia duduk di samping Ezra dengan ponsel di tangan, siap meng
Hujan baru saja berhenti. Bau tanah basah masih tercium tajam di udara. Lampu taman redup, menyoroti tiga sosok yang berdiri di bawah atap kaca kecil di sisi belakang gedung kampus.Ezra, dengan wajah tegang, berdiri menatap tanah; Raska menyalakan rokok tapi tak menyalakannya; sementara Nadia datang tergesa membawa jas hujan yang masih meneteskan air.“Rapatnya kacau banget,” ucap Nadia begitu tiba, suaranya terengah tapi penuh kekesalan. “Aku denger dari panitia dokumentasi — Julia beneran nyebarin laporan itu ke semua divisi?”Ezra menatapnya sekilas, rahangnya mengeras.“Ya. Dia bikin seolah-olah Aruna ngelanggar peraturan. Sekarang semua panitia percaya Aruna absen dua kali tanpa izin.”Raska menyandarkan tubuh ke tiang, suaranya dalam tapi terkendali.“Padahal satu kali Aruna pingsan, satu lagi disuruh istirahat sama dokter UKS. Kita semua tahu itu.”Ezra mengangguk pelan.“Tapi Julia hapus semua data medis Aruna di sistem. A
Ruang rapat lantai tiga kampus itu dipenuhi cahaya lampu putih yang dingin. Suasana tegang.Di dinding tergantung papan besar bertuliskan “Evaluasi Kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru”.Di meja panjang, semua anggota inti BEM duduk berjajar, termasuk Ezra, Raska, dan Julia yang kali ini tampak begitu tenang — bahkan terlalu tenang.Laptop-laptop terbuka, berkas-berkas disusun rapi. Namun ketenangan itu seperti hanya lapisan tipis yang menutupi arus besar di bawah permukaan.Julia mengetik sesuatu di laptopnya sebelum menatap ke arah ketua rapat.“Baik,” ucapnya dengan suara manis namun penuh percaya diri. “Sebelum kita lanjut ke evaluasi umum, izinkan aku mempresentasikan satu hal penting. Ada kasus pelanggaran disiplin dari salah satu calon mahasiswa baru yang perlu kita bahas.”Ruang rapat mendadak hening.Ezra yang sedang menunduk menulis, langsung berhenti. Kepalanya terangkat perlahan, pandangannya menajam.Julia berdiri, menyal