Masuk
Laki-laki itu menatap pemandangan kota dari gedung perusahaannya, kedua tangannya bertumpu di atas kursi kerjanya, wajahnya tampak tersenyum senang seperti menantikan hal baik akan terjadi hari ini.
Jari jemarinya ia ketukan sesekali, dentuman pelan yang terdengar dari jari lelaki itu seolah memiliki nada seperti detik waktu yang terus berjalan, sudah lima belas menit berlalu dan lelaki itu tidak melakukan apa-apa.
“Pak David, ada yang ingin bertemu namun belum membuat janji dengan Bapak!” ucap seorang wanita yang muncul di balik pintu ruangan, lelaki yang bernama David itu memutar balikkan kursinya dan hanya mengangguk pada sekretarisnya.
“Biarkan dia masuk!” Ucap David dengan tenang, seolah lelaki itu sudah mengetahui siapa yang akan datang.
“Baik, eh…!” ucapan wanita yang memakai name-tag bertuliskan Sahil aitu terpotong dengan seorang wanita yang menyelonong masuk sebelum dipersilahkan. Sahila ingin menegur namun bibirnya terkatup rapat melihat isyarat David melalui tangannya.
David menatap puas dengan sebelah alisnya terangkat, senyuman yang tergambar di wajah lelaki tampan itu justru tampak seperti seorang iblis yang licik. Berbeda dengan wanita dihadapannya yang meremas pelan map yang sejak tadi berada digenggaman tangannya, tak pernah ia lepas dari genggamannya sampai bentuknya sudah tidak berupa map.
“Bukankah sebaiknya anda menjelaskan maksud dari map ini?” tanya Agnes, wanita yang sejak dari ruangannya menuju ruangan sang presdir dengan tergesa-gesa. Hatinya dipenuhi dengan amarah yang menggebu-gebu pada sang atasan yang menurutnya bertindak semena-mena.
“Saya tidak perlu menjelaskannya lagi, Agnes! Semua jelas tertera di map ini.” ucap David dengan wajahnya benar-benar menyebalkan, lelaki itu benar-benar merasa menang telak. Dia tidak perlu menggunakan seluruh tenaganya untuk membuat wanita dihadapannya itu menuruti keinginannya.
“Saya sudah bilang! Saya nggak bisa menikah dengan Bapak! Apalagi dengan alasan konyol Bapak!” Tandas Agnes dengan tatapan tajam, sorot matanya seolah mengibarkan bendera perang, suasana yang benar-benar tegang ini membuatnya lupa dengan siapa ia sedang berhadapan sekarang.
“Iya itu terserah kamu, akan saya pastikan kejadian seperti ini akan terulang lagi. Dimana pun kamu melamar sebuah pekerjaan dan detik itu juga kamu akan menerima penolakan!” ucap David dengan seringaian yang tak lupa muncul di wajahnya.
“Huhh!”
Agnes memejamkan matanya sejenak, menarik napasnya dalam-dalam. Wanita itu sudah menahan emosinya beberapa hari yang lalu karena ulah CEO gila di perusahaannya, CEO baru yang beberapa hari yang lalu diresmikan. Bagaimana bisa lelaki dihadapannya ini melamarnya? Mengajaknya untuk menikah dengan alasan yang menurut Agnes begitu konyol dan tidak masuk akal.
“Kenapa harus saya? Banyak karyawan wanita lainnya di perusahaan Pak David bukan saya saja? Bahkan Bapak bisa memilihnya di kantor cabang di kota lain!” Ucap Agnes masih bersikeras dengan penolakannya, wanita itu begitu tegas tidak akan mau menikah dengan David, bagaimana pun Agnes memandang sebuah pernikahan adalah sebuah acara sakral tidak untuk main-main apalagi sembarangan.
Berbeda dengan sudut pandang Agnes, David hanya memandang bahwa pernikahan adalah salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan, menuruti kepuasan manusia yang pada dasarnya tidak akan pernah puas, harta yang melimpah, tahta yang tinggi pun tidak akan membuat hasrat manusia untuk berhenti untuk terus memenuhi kepuasannya.
“Iya saya tahu! Dan sayangnya nama yang tertulis di surat wasiat kakekmu adalah namamu, Agnes Lidya Zelin!” bantah David yang tak kalah keras kepala, apapun yang terjadi tidak akan mengubah keputusannya untuk mengajak Agnes ke jenjang pernikahan.
“Maksud saya, banyak karyawan yang tergila-gila pada Bapak. Harusnya Pak David memilih mereka saja daripada dengan saya! Bukankah itu justru akan mempermudah Pak David untuk segera melepas status lajang.” Rupanya gadis itu benar-benar tidak ingin menyudahi argument dengan David sampai kemenangan ia dapatkan.
“Agnes! Apa kamu tidak mengerti? mengapa saya memilih kamu untuk menjadi istri saya! Karena di antara puluhan karyawan saya, namamu lah yang tercantum di surat wasiat itu! Apa boleh buat?” Ucap David dengan sorot mata yang berbinar, sedangkan Agnes tidak mampu berkata-kata.
Kalimat yang seharusnya menjadi senjata kuat untuknya lepas dari permintaan konyol David justru menjadi alasan kuat untuk David, Agnes mengerlingkan bola matanya dengan tawa hambarnya yang terdengar renyah.
Apa dia sedang bahagia? Tentu saja tidak, wanita itu sedang menertawakan kemalangannya karena harus terlibat masalah yang seperti lelucon dengan atasannya sendiri.
“Pak David!” panggil Agnes dengan penuh penekanan di setiap katanya, wanita itu tampak menarik napasnya sekali lagi. Rasanya pasokan udara di paru-parunya kian berkurang membuat dadanya harus bekerja lebih keras untuk menghirup udara di ruangan presdir yang tampak luas dan tidak kekurangan ventilasi udara.
“Saya tidak akan mengubah keputusan saya, saya tidak sedang terdesak keadaan yang mengharuskan saya untuk menikah dalam waktu dekat! Apalagi dengan alasan surat wasiat sialan itu! Bagaimana bisa nama saya ada di surat wasiat itu kakek anda! Sedangkan saya sendiri tidak mengenal beliau!” panjang lebar Agnes berupaya mengubah jalan pikir David agar mengurungkan niatnya untuk mengajaknya menikah.
Sepertinya usaha Agnes sia-sia, David hanya tersenyum tanpa bergeming menunjukkan kalimat panjang Agnes tidak berpengaruh sama sekali.
“Silahkan menghindar, saya akan tetap terus mengejar kamu Agnes sampai kamu mau menyetujui permintaan saya untuk menjadi menikah dengan saya! Saya juga tidak tahu mengapa kakek saya memilihmu menjadi istri saya. Saya hanya mengikuti wasiat kakek saya!” ucap David membentang tangan kanannya, memberikan isyarat bahwa Agnes boleh berusaha menghindar dan berusaha mengubah pikirannya dengan hasil yang sama, David tetap memilihnya.
“Astaga berapa kali harus saya bilang…”
Drrrttt… drrtt…
Dering ponsel di dalam tas mungilnya menghentikan ucapan Agnes yang terdengar sepertinya akan memberikan sumpah serapah pada lelaki yang menurutnya sudah kehilangan akal sehat itu, bagaimana mungkin akan menikah jika yang menginginkan janji suci itu hanya sepihak.
“Halo!” ucap Agnes dengan suara sebisa mungkin untuk menetralkan emosinya yang menggebu-gebu namun harus bersikap ramah.
Halo, Nona Agnes! Saya ingin memberitahukan kalau anda harus segera pindah dari apartemen anda sekarang!
Agnes mengeryitkan keningnya, mencoba membaca lagi nama kontak di ponselnya. Tidak ada yang salah, nama pemilik Gedung apartemen yang sedang menghubunginya, hampir saja Agnes berpikir jika dia sedang berbicara dengan penipu.
“Maaf? Maksud anda bagaimana? Bukankah saya sudah membayar sewa untuk lima tahun ke depan? Kenapa saya harus pindah mendadak seperti ini?” tanya Agnes dengan bingung seraya menggaruk keningnya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
Pemilik Gedung mengatakan kalau apartemen itu akan diakusisi oleh perusahaan besar, mereka meminta untuk mengosongkan apartemen karena akan diperbarui.
Agnes membalikkan tubuhnya yang sejak tadi membelakangi David, wanita itu memicingkan matanya penuh dengan kecurigaan pada lelaki yang kini menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Agnes mengakhiri panggilan di ponselnya, menghampiri David yang kini justru tersenyum padanya penuh kemenangan. Dia menggigit bibir bawahnya, tidak bisa menahan untuk merayakan kemenangan yang sudah di depan mata.
“Jangan bilang ini termasuk cara Pak David untuk membuat saya mau menikah dengan anda?” tanya Agnes dengan suara penuh penekanan, masih tidak percaya dengan kekuasaan David yang benar-benar tidak bisa ia lawan sebisa mungkin, dia sudah terkepung sekarang.
“Betul sekali, jadi tidak ada jalan lagi. Kalau kamu masih bersikeras menolak, tidak masalah! Saya akan pastikan kamu jadi gelandangan karena tidak mendapatkan tempat tinggal! Kecuali…” ucap David menggantung membuat Agnes mengangkat alisnya.
“Kecuali kamu tinggal bersama di apartemen saya!” Ucap David dengan tawaran yang semakin gila, Agnes membulatkan matanya sempurna.
“Najis!” desis Agnes semakin lupa dengan siapa sekarang dia berhadapan.
“Terserah, keputusan ada di kamu sendiri! Harusnya surat wasiat kakek saya sudah menjadi alasan palinh mendasar kenapa saya harus menikahimu, saya harus menjalankan apa yang diinginkan kakek saya sebelum meninggal.” ucap David mengangkat kedua tangannya, rupanya lelaki berumur 35 tahun itu tidak kehabisan akal untuk membuat Agnes berada di kunkungannya.
“Pak David! Saya tidak tahu darimana surat wasiat itu berasal. Saya tidak bisa menikah dengan anda! Saya saya sama sekali tidak mengenal Tuan Liam semasa hidupnya.” Tolak Agnes dengan tenang, berusaha tidak tersulut emosi, berharap David mengerti.
“Okay, kalau tidak ada lagi yang kamu bicarakan kamu bisa keluar!” usir David membuat Agnes tidak henti-hentinya membiarkan wajah bodohnya kini terpasang di paras cantiknya, tentu saja sikap David yang menurutnya tidak bisa ia tebak ini benar-benar mampu membuat jantungnya terus berdetak lebih cepat.
“Atau begini, kita bisa menikah berdasarkan kontrak?” tawar David dengan senyuman yang licik membuat Agnes menggeleng cepat. Entah darimana muncul ide gila itu.
“Dasar CEO gila!”
David kembali mengunjungi restoran yang tempo hari ia kunjungi bersama Agnes, namun hari ini ia datang bersama Lisa. Kekasih sebenarnya yang kini rela untuk terbang ke Korea demi bertemu dengannya, ah tidak lebih tepatnya untuk benar-benar menjadi perannya sebagai kekasih David secara utuh. Menu yang dipesan pun juga sama, hanya berbeda dengan siapa dia menikmatinya sekarang. “Kamu kenapa sih sayang? Daritadi kelihatan nggak tenang banget. Kamu lagi nungguin siapa?” Tanya Lisa yang mulai kesal karena David sedikit mengabaikannya. “Tidak ada apa-apa.” Jawab David berusaha tetap tenang meski dia tidak bisa menutupi raut wajahnya yang memang terlihat cemas. Lisa bergelayut manja pada lengan David, menghirup aroma tubuh sang kekasih yang ia rindukan selama ini. Hubungan yang harus dijalani tersembunyi demi tercapainya sebuah tujuan untuk kebahagiaan bersama. “Jangan bilang, kamu takut wanita itu akan melihat kita disini!” Celetuk Lisa penuh curiga, David tidak marah justru lelaki itu
Agnes hanya melirik David yang terlihat mondar-mandir mencari sesuatu, seolah mengabaikan keberadaan istrinya yang sejak tadi sudah terbangun karena pusing yang kini mulai mereda. Agnes pun juga tidak berniat bertanya apa yang sebenarnya sedang lelaki itu cari, memilih menikmati udara segar di pagi hari dan pemandangan kota Seoul dari balkon kamar hotel benar-benar membuat suasana hatinya membaik. “Apa kamu tidak melihat dasiku?” Tanya David akhirnya mengeluarkan sepatah kata, Agnes menoleh dan mengangkat dasi yang sejak tadi tergeletak disamping cangkir kopi miliknya. “Kenapa kamu tidak bilang, aku mencarinya sejak tadi!” Gerutu David dengan kesal sambil merebut dasi itu dari tangan Agnes. “Kamu tidak mengatakan kamu mencarinya.” Jawab Agnes enteng, suasana hatinya sedang membaik sehingga dia tidak akan membalas sikap David yang terlihat buru-buru. “Aku akan bertemu klien hari ini, kalau kamu bosan kamu bisa pergi jalan-jalan sendiri!” Seru David sambil memakai jam tangan mahal y
“Kamu membiarkan istrimu sendirian dengan mantan kekasihnya?” Tanya Lisa yang mengikuti David ke toilet, nyatanya lelaki itu tidak pergi kesana hanya menyendiri di lorong, sesekali melihat layar ponselnya.“Aku tidak membiarkannya, aku hanya memberi waktu agar Agnes untuk menyelesaikan apa yang belum selesai.” Jawab David enteng, dia bukan lelaki yang bodoh. Sejak tadi dia hanya mengamati dan membaca situasi yang ada. Lagipula Agnes bukan istri sesungguhnya, jadi tidak ada kekhawatiran jika Kevin akan merayu Agnes dan berhasil membuatnya kembali.Lia mendengus, dia benar-benar kesal mengingat bagaimana mata suaminya yang tidak bisa berhenti menatap Agnes. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu ikut tersenyum saat Agnes tertawa, mengabaikan Lia di sampingnya. Kevin benar-benar memperlakukannya sebagai kekasih bayangan, dia akan bersikap baik dan penuh perhatian jika tidak ada Agnes di sekitarnya.“Lalu mengapa kamu mau menikah dengan Kevin? Sedangkan kamu tahu sendiri siapa yang Kevi
“Agnes!”Suara bariton seorang pria itu terdengar di tengah hiruk pikuk lautan manusia yang sedang menikmati pasar malam di Seoul. Agnes yang tadinya ingin segera pergi kini sudah tertangkap keberadaannya oleh Kevin dan juga Lia, sepertinya mereka juga sedang honeymoon di Seoul, sama seperti Agnes dan David meski pasangan satu ini tidak sepenuhnya honeymoon dengan arti yang sama.“Nggak nyangka bakal ketemu lagi disini!” Seru Kevin menggenggam tangan Lia, Lia hanya tersenyum tipis pada Agnes. Kedua wanita itu hanya basa-basi, mengingat mereka tidak saling kenal.“Halo Pak David!” Sapa Kevin sebentar pada David pun yang mengangguk, Kevin melirik genggaman erat tangan David pada Agnes namun langsung mengalihkan pandangannya kala David menyadari arah pandangannya.“Kebetulan kita bertemu disini, bagaimana jika kita makan malam bersama!” Ajak Kevin tampak bersemangat, berusaha ramah pada David yang sejak tadi hanya menatapnya datar dan Agnes yang menghindari kontak mata dengannya.“Tidak
Tujuh jam perjalanan dari Jakarta menuju bandara Incheon, Korea Selatan. Meski David mengambil kelas Bisnis namun tetap saja rasa pegal di badan tetap terasa, Agnes berjalan menelusuri bandara dengan David disampingnya, kacamata hitam bertengger di hidung keduanya, ditambah gaya pakaian mereka yang kini casual tampak seperti pasangan yang serasi.Tidak ada yang tidak memimpikan Korea sebagai salah satu destinasi liburan yang beberapa orang inginkan, termasuk Agnes. Sayangnya, embel-embel honeymoon melekat untuknya karena dia datang bersama seorang lelaki yang beberapa minggu kemarin menikahinya.Mereka menaiki taxi untuk menuju penginapan, David tampaknya juga merasakan lelah yang sama karena sejak tadi lelaki itu hanya diam dan sesekali mengecek layar ponselnya. Agnes membiarkannya, memilih menikmati keheningan yang tercipta di antara keduanya terasa begitu damai dan sangat jarang terjadi.“Ini Tuan, kartu smartkey untuk kamar yang anda pesan!” Ucap pegawai resepsionis menyerahkan se
Sudah sepekan lamanya, David menginap di apartemen Agnes. Mereka menikah karena sebuah kesepakatan, namun Agnes merasa David seolah tidak memahami Batasan yang sebagaimana ada di antara mereka. David terlalu mendalami perannya sebagai suami, membuat Agnes seakan lupa akan status mereka. Wanita itu mulai merasa jika kini dia memang sudah bersuami.Agnes melihat jam makan siang hampir berlalu, sejak tadi dia hanya mengurung diri di kamar. Tidak ada kegiatan, mmebuatnya hanya beraktivitas di kamar terlebih David tidak ke kantor hari ini, beralasan sedang tidak enak badan. Kenyataannya, lelaki itu dari pagi sampai siang terus berkutik di depan laptop miliknya.“Kamu tidak makan siang?” Tanya Agnes mengusik David yang matanya bahkan sibuk pada monitor laptop dan kedua tangannya sibuk dengan keyboard, entah apa yang sedang ia kerjakan.“Vid!” Panggil Agnes lagi, David baru tersadar dengan keberadaan Agnes yang duduk di meja makan kini sedang menghadapnya.“Apa kamu mengajakku bicara?” Tanya







