Seluruh persendian di tubuhnya seakan lepas, Masayu kian lunglai. Apalagi setelah melihat wajah mantan istrinya di TV. Gita, putri kecil yang usianya baru lima tahun itu kini menangis usai dibentak papanya. Tubuh mungilnya meringkuk di samping sofa ruang keluarga. Bian lantas mengusap kasar wajahnya. Makan malam yang seharusnya jadi momen berkumpul bersama keluarga setelah lelah seharian bekerja, seketika jadi berantakan. Bi Ijah datang dan membawa Genta pergi dari ruang makan. Masayu kemudian bangkit dan menghampiri Gita, lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Cukup lama Masayu mendiamkan tangis gadis kecil itu, hingga akhirnya Gita terlelap dalam pelukannya karena kelelahan menangis.Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Masayu pura-pura memejamkan matanya ketika Bian masuk. Cukup lama pria itu berdiri di sebelahnya, hingga kemudian Masayu mendengar langkahnya meninggalkan kamar dan kembali menutup pintu.Hampir tengah malam, dan Genta pun sudah tidur sejak tadi di ranjangnya yang bersebe
"Eh, ada Nona di sini. Selamat siang, Nona Masayu?" sapa Erik seraya mengangguk ramah.Masayu balas mengangguk walaupun dahinya masih berkerut, pertanda masih memikirkan maksud perkataan Erik barusan. Target apa yang dimaksud? Kenapa perkataannya seperti di film-film action yang sesekali ia tonton? Apakah suaminya itu sebenarnya seorang mafia berkedok pengusaha?"Sudah makan, Rik?" tanya Bian."Belum, Tuan.""Pantes. Makan dulu sana biar nggak ngelantur kalau ngomong.""Siap, Tuan. Saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu kesenangan Tuan dan Nona Masayu.""Hmm, ya, ya." Bian mengibaskan tangan menyuruh Erik pergi. Kemudian ia berkata pada Masayu, "Istirahatlah, jangan berpikir macam-macam dulu."Masayu mengangguk. "Ayu izin tidur di sini dulu, Bang. Nanti jam dua tolong bangunin, ya? Soalnya Genta ada les Mandarin jam 3 nanti."Bian hanya mengangguk.Masayu merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Bukan hanya tubuh, melainkan pikirannya jauh lebih lelah. Memikirkan masalah yang m
"Rik, mampir ke restauran. Kita makan dulu." "Baik, Tuan."Masayu menoleh dan kedua matanya mengerjap pelan memandang sang suami."Kenapa?" tanya Bian."Ayu nggak pede dengan penampilan begini, Bang. Makan di rumah aja, ya?" ucapnya memelas sambil memandangi jas yang melingkar di pinggangnya."Sayangnya aku udah janji sama pemiliknya untuk makan malam di sana. Nggak enak kalau dibatalin. Kalau kamu merasa nggak nyaman, duduk di mobil saja."Masayu terdiam. Entah mengapa dia merasa ucapan Bian sangat datar dan dingin. Padahal beberapa menit yang lalu sikapnya tampak lunak dan sedikit manis. Apa karena mentang-mentang sudah menjelaskan bahwa dia tidak ada hubungan apapun dengan mantan istrinya sehingga sikapnya kembali ke setelan pabrik? Masayu kembali menyandarkan kepala dan menatap lalu-lalang kendaraan melalui kaca jendela di sebelahnya. Mobil berhenti di depan restauran yang terkenal mewah di kota itu. Bian melepas sabuk pengaman, membuka pintu dan turun dari mobilnya. Sedangkan
"Veronica pemilik restoran ini? Dan Abang janjian sama dia di sini?" Masayu secara tidak sadar bertanya dengan beruntun. Bian mengernyitkan alisnya sesaat. Kemudian dia tersenyum datar. "Rupanya itu yang ada di pikiranmu sejak tadi." Tanpa menjawab pertanyaannya, dia pun menatap lurus ke depan seraya menunjuk, "Itu dia pemiliknya!" Seorang bapak-bapak tampak berjalan ke arah mereka. Senyumnya melebar saat melihat Bian. Ia lalu menyapa ramah keduanya sesampainya di meja. Selanjutnya terjadi basa-basi ringan antara Bian dan pemilik restoran. Masayu merasa malu setelah menyadari kekeliruannya. Ternyata pemilik restoran tersebut bukan Veronica, melainkan seorang bapak-bapak bernama Panji. Pak Panji undur diri ketika pramusaji datang dan menghidangkan berbagai menu di atas meja."Ya, sudah dulu, ya. Saya permisi dulu. Silakan Pak Bian dan Ibu menikmati menu kami, semoga suka dan tidak kapok, ya, datang ke sini," ucapnya diselingi gurauan. "Makanan di sini betul-betul enak. Mana mungk
Menyadari hal itu Masayu kian terpuruk. Hatinya sakit juga sedih. Satu harian ini dia merasa semesta seolah tak mendukung jalan hidupnya. Tiba-tiba Bian sudah berdiri di belakangnya seraya berkata, "Ayo, kita ke dalam."Masayu yang lemah pun menurut. Bian selalu berjalan di belakangnya. Hal itu menimbulkan kejulitan Veronica. Dia pun bertanya, "Bian. Ada apa denganmu? Kenapa cara jalanmu seolah-olah sedang menutupinya?" Masayu lalu berhenti, dia sendiri baru sadar kalau Bian membuntutinya di belakang. Mata jeli Veronica terpusat pada sesuatu. "Astaga! Jadi jas ini untuk menutupi darah menstruasimu?!" Veronica melotot sambil menutup mulutnya. Kemudian ia memasang mimik wajah jijik."Bian, kamu tega sekali," ujar Veronica memelas. Bian serba salah. Dia meremas rambutnya dengan frustrasi. Sementara Masayu menggigit bibir bagian bawahnya, berupaya agar tidak menangis. Karena tak tahan, ia pun berlari masuk ke dalam. Masih sempat ia mendengar Bian memanggil namanya.Masayu berlari menaiki
Dengan dada yang berdegup sangat kencang Masayu mendorong pintunya. Terlihat kedua matanya membelalak. Namun, kemudian dia bernapas lega ketika melihat kedua anak-anaknya tidur dengan lelap.Tapi, di mana Veronica? Apa dia tidur di kamar tamu? Bian juga tidak ada. Lalu di mana mereka?Tiba-tiba Masayu teringat dengan yang dikatakan Bian tadi malam jika Veronica tidak akan tahan di rumah sampai berjam-jam. Dia pasti akan kembali menemui teman-temannya. Masayu kembali menutup pintu kamar dengan perlahan. Kemudian berjalan menuruni tangga, dan melangkah ke garasi melalui pintu samping. Samar-samar dia mendengar suara laki-laki dan perempuan yang saling mengobrol dari dalam garasi. Sesekali dia akan mendengar nada dingin disertai penekanan dari setiap kalimat yang terlontar. Lebih tepatnya orang itu sedang berselisih secara halus. Masayu mengintip. Di sana Bian terlihat sedang sibuk membungkuk ke dalam mobil. Sepertinya sedang membersihkan sesuatu. Masayu seketika menutup mulutnya. Pa
Bian sudah pulang dan sedang berada di kamarnya. Namun, Masayu belum juga menyusulnya. Dia masih sibuk menenangkan ritme jantungnya yang sejak tadi berdegup kencang. Usia pernikahan sudah satu tahun, tapi rasanya seperti mau melewati malam pertama saja. Bolak-balik dia mematut diri di depan cermin, memeriksa apakah ada komedo di wajahnya. Bulu hidung? Aman. Secuil cabe yang nyangkut di gigi juga tidak ada. Piyama seksi yang menempel di tubuhnya berkali-kali dia rapikan. Setelahnya, dia lalu menghirup napas panjang dan membuangnya. Kemudian memutuskan untuk segera menyusul Bian di kamarnya.Disambarnya jas yang tergeletak di meja riasnya, kemudian dia berjalan ke kamar Bian. Terdapat jarak dua kamar antara kamarnya dan kamar yang hendak ditujunya itu. Terlebih dulu dia mengetuk pintu. Mungkin karena gugup, mendadak punggung tangannya seakan tidak berdaya. Ketukan yang dihasilkannya samar, sehingga tidak terdengar jawaban dari dalam. Baru saja Masayu hendak mengetuk kembali, tiba-ti
Masayu makin panik ketika melihat suaminya pingsan. Dia lalu berteriak memanggil Erik.Dengan tergopoh-gopoh Erik datang dan melihat Bian sudah terkulai lemas di pangkuan Masayu. "Apa yang terjadi, Nona? Kenapa dengan Tuan Bian?""Aku nggak tau. Tiba-tiba dia bereaksi aneh ketika melihat lukaku." Masayu menunjukkan jarinya yang terluka. Veronika yang baru tiba tidak bisa menutupi rasa terkejutnya. Dia menutup mulut dan bertanya dengan setengah memekik, "Astaga, Bian! Apa yang terjadi dengan dia? Bian kenapa?!" Kemudian pandangannya beralih pada Masayu dan menunjuknya, "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan ayah anak-anakku, kamu tersangkanya!" Mendengar hal itu Masayu sontak membelalak. Apa-apaan? Baru datang sudah menuduh yang bukan-bukan.Erik kemudian menengahi. "Sebaiknya kita bawa dulu Tuan ke tempat tidur." Dia lalu memanggil beberapa pelayan laki-laki dan meminta bantuannya untuk mengangkat tubuh Bian ke pembaringan.Ketika pelayan itu pergi, Erik lalu berkata kepada Masayu. "