Share

CHAPTER 5: Nasihat Ibu

"Umur Edgar sudah berapa tahun?"

Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya.

"Tahun ini 35."

Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"

Mia mengangguk.

"Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."

Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini.

"Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.

Mia hanya menggeleng.

Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?"

"Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi Edgar selalu menolak dan mengatakan jika dia bisa mencarinya sendiri, tapi buktinya sampai sekarang dia belum pernah ngenalin perempuan sama aku."

"Edgar sangat-sangat gila kerja sepertinya," timpal Wita terkekeh pelan.

"Aunty Anes!" teriakan beberapa bocah yang sedari tadi sibuk bermain membuat atensi semua orang yang ada di halaman itu menatap ke arah pintu. Terlihat dua orang yang sedang berjalan menuju ke halaman.

"Hallo!" Nesa melambaikan tangannya, sembari menampilkan senyum cerah menyambut empat bocah yang sudah berlari menghampirinya. Mia dan beberapa orang di sana terlihat menampilkan senyumnya melihat interaksi mereka.

"Nesa juga sepertinya gadis baik, apa Edgar tidak tertarik?" ujar Wita yang membuat perhatian Mia, Evi dan beberapa perempuan yang ada di sana menatap ke arahnya.

"Mam," sapa Edgar menghampiri Mia lalu mencium pipi kanannya.

"Hai, Ed. Mama kira kamu nggak bakal dateng," kata Mia mengusap lengan Edgar. "Kamu datang sama Nesa, juga?" lanjut Mia melirik Nesa yang sedang mengobrol heboh dengan bocah-bocah itu, terlihat Nesa sedang tertawa sambil memberikan sesuatu yang dibawanya kepada mereka.

"Saya mengajaknya tadi," jawab Edgar mengikuti arah pandang Mia.

"Memaksanya ikut?" tanya Mia menatap Edgar dengan alis terangkat satu, perempuan itu hapal betul bagaimana Edgar, putranya sering memaksakan kehendaknya sendiri.

"Tidak! Saya menawarinya ikut, dan dia menyetujuinya," kata Edgar membela diri.

Mia mengabaikan ucapan putranya, beralih menatap Naya yang sudah berjalan ke arahnya. "Hai, Nes!"

Nesa tersenyum lalu menyalami Mia dan semua perempuan yang ada di meja itu, menyapanya satu persatu. Sudah lama Nesa bekerja dengan Edgar, ia juga sudah hapal siapa-siapa saja keluarga besar Naratama. Bahkan keponakan-keponakan Edgar juga mengenalnya, terkbukti dari sambutan heboh yang bocah-bocah itu lakukan ketika melihat Nesa hadir di tengah-tengah acara keluarga besar Naratama, tadi.

Acara arisan yang rutin diadakan setiap satu kali dalam sebulan. Tujuan utamanya agar keluarga Naratama masih bisa akrab dan saling bertemu walaupun di tengah kesibukannya masing-masing. Kebetulan memang kali ini, arisan itu diadakan di kediaman keluarga Rudi dan Mia—kedua orang tua Edgar.

***

"Saya ingin ke toilet," kata Edgar langsung membuka safety belt yang dipakainya lalu turun dari mobil.

Nesa memicingkan matanya menatap Edgar yang sudah berada di luar mobil. "Argh! Apalagi yang ingin dia lakukan sih?!" gerutu Nesa, yang langsung turun dari mobil lalu menyusul bosnya.

"Sebenernya di lantai satu juga ada toilet, Pak," kata Nesa saat keduanya sudah berada di dalam lift.

Mengabaikan ucapan Nesa, Edgar menekan tombol angka tujuh. Dimana unit apartemen Nesa berada. "Saya tidak boleh ke apartemenmu? Tidak tahu diri sekali padahal itu fasilitas dari saya," kata Edgar dingin.

Nesa memejamkan matanya, menghembusakn napasnya pelan. "Bukan begitu maksud saya, Pak..."

Ting!

Pintu lift terbuka keduanya langsung keluar dan berjalan menuju unit apartemen milik Nesa. Baru saja Nesa merogoh tas mengambil cardlock untuk membuka pintu unit apartemennya, pintu berwarna putih itu sudah dibuka dari dalam. Baik Naya, maupun lelaki yang membuka pintu apartemen sama-sama terkejut beberapa detik, namun lelaki itu dengan cepat menampilkan cengirannya menatap Nesa. "Bu, Kak Anes baru pulang nih," teriaknya sambil menengok ke belakang.

"Kok nggak bilang mau ke sini?" tanya Nesa menatap Nizam—adiknya.

"Dih! Emang harus bilang dulu," cibir Nizam. Remaja lelaki itu melirik Edgar yang sedari tadi hanya diam, menganggukkan sedikit kepalanya, dan tersenyum hangat menyapa Edgar.

"Ibu udah nunggu Kakak tuh di dalem. Siapin kupingnya buat dengerin ceramahan Ibu!" Nizam menyunggingkan senyum menyebalkan, lalu berjalan keluar dari unit apartemen Nesa sambil memakai jaket denimnya.

"Mau ke mana, kamu?"

"Beli martabak, Ibu pengen martabak, lagi ngidam kali dia," ucap Nizam terkekeh pelan, kakinya tetap melangkah untuk menuju lift.

Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakukan adik bungsunya. Setelah itu Nesa menatap Edgar, lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam.

Menyapa dan Menjabat tangan Nisa—Ibu Nesa. "Ada acara keluarga di rumah saya, Nesa ikut, saya minta maaf karena pulang larut malam," kata Edgar.

Nisa tersenyum lalu menampilkan senyum manis. "Tidak papa, Pak. Terima kasih sudah mengantarnya pulang. Atau memang masih ada kerjaan yang harus segera di selesaikan?"

"Nggak, Bu. Pak Edgar cuman mau numpang ke toilet aja," jawab Nesa cepat.

"Oh, silahkan kalau begitu," kata Nisa. Setelah dipersilahkan, Edgar langsung menuju ke toilet meninggalkan ibu dan anak itu berdua di ruang tengah.

Karena cukup lama Nesa bekerja dengan Edgar, sepertinya tidak mungkin jika Ibu dan juga adik Nesa tidak mengenal bosnya. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi beberapa kali mereka pernah bertemu walaupun hanya sekedar bertegur sapa.

"Dari jam berapa Ibu ke sini? Harusnya Ibu ngabarin aku dulu, tadi. Aku bisa pulang cepet," kata Nesa yang baru saja duduk di kursi bar, memperhatikan Ibunya yang sedang menuangkan air putih untuk Nesa.

"Sampai sini jam delapan, Kak. Ibu tahu kamu nggak mungkin keluyuran sampe larut malem gini kalau bukan karena kerjaan yang dikasih sama bosmu itu 'kan? Jadi, Ibu nggak ngehubungin kamu."

Tepat sekali. Siapa lagi kalau bukan Edgar yang membuat Nesa harus pulang sampai larut malam begini. Edgar menyuruh Nesa untuk ikut hadir di acara keluarganya, sebenarnya perintah Edgar memang harus dan wajib dituruti, Nesa sudah menolaknya tadi, tapi tetap saja lelaki itu mana mau perintahnya tidak dituruti. Nesa memang senang bisa bertemu dengan keponakan Edgar yang lucu-lucu, tapi kan disisi lain Nesa juga butuh istirahat, apalagi itukan acara keluarga Naratama, Nesa bukan bagian dari keluarga itu, dan tentu saja ada rasa canggung ketika bergabung dengan mereka.

"Di minum dulu, Pak Edgar," ujar Nisa yang mendapati Edgar baru keluar dari toilet.

"Terima kasih," balas Edgar lalu ikut duduk di kursi bar, di samping Nesa.

Setelah menghabiskan minuman yang disiapkan oleh Nisa, Edgar langsung pamit untuk pulang. Nesa sangat-sangat bersyukur Edgar langsung pulang setelahnya. Kalau hanya ingin ketoilet sebenarnya di lantai satu juga memang disediakan, daripada repot-repot harus naik lift dan ke unit apartemen Nesa 'kan? Huh!

"Kak, duduk sini!" titah Nisa menepuk sofa kosong disebelahnya.

"Aku mandi dulu ya, Bu, sebentar kok! Gerah tahu...," ucap Nesa tersenyum canggung.

"Ibu cuman mau ngobrol sebentar, Kak."

Nesa mengalah, dengan langkah pelan ia duduk di samping Nisa dengan wajah yang ditekuk. Ah! Nesa tahu apa yang akan dibicarakan oleh Ibunya. Duduk, kepala menunduk memperhatikan jari jemarinya yang sedang dimainkan random.

"Kamu mau apa?"

Nesa mengedipkan matanya, perlahan mendongak menatap Ibunya yang juga sedang menatapnya. "Mau apa?" tanya Nesa bingung. Sepertinya ia salah karena mengira topik pembicaraan ini tentang "pernikan"

Nisa menganggguk pelan. "Ada impian yang belum kamu wujudkan? Atau apa yang ingin kamu lakukan, yang mungkin sampai sekarang belum kamu lakukan?"

Nesa menggeleng pelan. "Nggak ada, Bu. Aku cuman mau lihat Ibu sama Nizam seneng, aja," kata Nesa pelan.

Nisa tersenyum tulus, lalu mengelus sayang rambut putrinya. "Terima kasih, kami sudah senang, kami sudah sangat bahagia,Kak. Terima kasih ya, sudah berjuang sampai sejauh ini...." Nisa membawa Nesa ke dalam pelukannya.

Nesa memanyunkan bibirnya, air matanya sudah lolos begitu saja mendengar perkataan Ibunya. "Ibu... jangan bilang gitu... Aku jadi sedih, tahu," rengek Nesa yang sudah menangis sampai sesenggukan.

"Putri Ibu..." bisik Nisa sayang semakin mempererat pelukannya, mustahil jika perempuan paruh baya itu juga tidak meneteskan air matanya.

"Sudah, ah! Nanti pagi-pagi, matanya bengkak karena nangis," kata Nesa yang mencoba mati-matian untuk menghentikan tangisannya. Nisa dibuat terkekeh dengan ucapan putrinya itu, melepaskan pelukannya, mengusap jejak air mata yang ada di pipi Nesa lalu mengecup kedua pipinya lembut.

"Senang dengan pekerjaanmu?" tanya Nisa tiba-tiba yang membuat Nesa kembali menatap manik mata Ibunya.

"Aku kerja kan buat Ibu sama Nizam, mau nggak mau, seneng nggak seneng, ya harus dibuat seneng."

Nisa tersenyum kecil. "Sudah hampir mau tujuh tahun ya?" tanya Nisa yang mendapat anggukkan dari putrinya. "Kita sudah punya rumah makan, walaupun nggak besar tapi cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari, malah bisa dibilang lebih. Ibu yakin tabungan kamu juga sudah cukup, Nizam sebentar lagi juga wisuda. Semuanya sudah cukup 'kan? Kakak nggak mau resign aja?"

Nesa terkejut tentu saja. Menelan ludahnya kasar, lalu menghembuskan napasnya perlahan. Mulutnya sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan Ibunya, namun lidahnya terasa kelu, tidak tahu juga akan menjawab pertanyaan Ibunya bagaimana.

"Kakak nggak mau resign?" Nisa menjeda beberapa detik supaya Nesa bisa menjawab pertanyaanya, namun, merasa Nesa belum mau menjawab pertanyaannya, Nisa kembali berbicara, "Kalau mau jadi wanita karier, ibu ngijinin, tapi tidak bekerja di perusahaan kamu yang sekarang. Memang penghasilannya bukan main, fasilitasnya juga. Tapi, pekerjaannya terlalu berat, Kak. Lihat Kakak, baru pulang jam segini, nanti besok harus datang pagi-pagi. Memang itu tuntutan pekerjaan, tapi... sekarang cari pekerjaan yang kamu juga bisa menikmati hidup gituloh. Kerja terus juga nggak baik, Kak."

"Atau perlu resign saja, tidak perlu bekerja, duduk di rumah. Dan fokus cari calon."

Nah! Pembahasan ini ujung-ujungnya juga berakhir seperti ini.

"Umur kamu sudah mau 29 Kak, nggak mau nikah memang?"

"Bu...." Nesa merengut tidak suka jika Nisa membahas tentang masalah ini.

"Ibu nggak akan selamanya ada di samping kamu, Kak. Adek juga nanti bakalan nikah, punya keluarga sendiri. Kamu gimana nanti? Ibu takut nggak ada yang nemenin kamu di hari tua nanti. Mau hidup sendirian terus memangnya?"

Nesa mengalihkan pandangannya, enggan menatap Nisa. Tidak ada yang salah memang apa yang dikatakan oleh Ibunya. Tapi... Nesa saja bingung bagaimana rencana kehidupannya kedepan nanti.

"Kamu, takut menikah?"

Nesa menggeleng cepat. Tidak! Dia tidak takut menikah, walaupun Ayahnya sudah meninggalkannya, Ibu, dan adiknya, hal itu tidak membuat Nesa benci dengan sosok lelaki. Nesa percaya dan yakin, jika masih ada banyak laki-laki yang mempunyai sifat tulus dan baik di luaran sana. Nesa akan menikah dengan lelaki seperti itu, yang akan selalu memberikan banyak cinta dan perhatian penuh kepada dirinya nanti.

"Aku butuh waktu untuk mencari lelaki baik, Bu...."

Nisa mengangguk mengerti. "Maka dari itu, Ibu menyuruh kamu untuk resign dari pekerjaan kamu yang sekarang. Biar kamu bisa fokus sama masa depan kamu. Cari laki-laki baik, lalu menikahlah dengan dia. Uang memang segalanya, tapi lelaki tulus dan baik itu adalah point yang paling penting."

Nesa mengangguk pelan. "Akan aku pikirkan, lagi...."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status