Share

CHAPTER 4: Dress

Nesa menampilkan senyumnya. Agus—security yang hari ini sedang bertugas di depan lift, menyimpan benda pipih persegi atau cardlock pada kotak sensor untuk membuka pintu lift. Tidak lama pintu lift terbuka, Edgar masuk terlebih dahulu, lalu setelahnya baru Nesa.

“Makasih Pak Agus,” ucap Nesa, tidak bersuara namun gerak bibirnya terbaca oleh Agus. Security itu hanya mengangguk lalu tersenyum, hingga pintu lift tertutup kembali dan bergerak naik ke atas.

Tidak ada yang salah dari heals hitam yang dipakainya, hanya saja situasinya yang sangat hening di dalam lift ini membuat Nesa bingung harus menatap ke arah mana dan memutuskan untuk menatap sepasang healsnya saja.

“Dina tidak menghubungimu?”

Nesa mendongakkan kepalanya, lalu ia menatap ke arah Edgar. “Tidak Pak, kenapa memang?” tanya Nesa, ia bingung, kenapa pertanyaannya sama seperti kemarin? Kenapa Dina—calon istri Doni harus menghubunginya? Maksudanya untuk apa?

Lagi dan lagi Edgar hanya diam, hingga pintu lift terbuka, lalu dia keluar dari lift disusul oleh Nesa yang masih memasang wajah bertanya.

“Langsung masuk ke ruangan saya!” titah Edgar, tanpa menoleh ke arah Nesa, dia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya.

Nesa menyimpan tas di mejanya, lalu mengambil Ipad dan masuk ke dalam menyusul bosnya. Baru beberapa langkah saat ia memasuki ruangan, Nesa melihat Edgar sudah duduk di sofa dengan seorang perempuan yan berada di depannya.

“Selamat pagi Bu Mia,” sapa Nesa menampilkan senyum manisnya.

“Selamat pagi, tidak usah bicara formal, Nes. Ayo sini duduk!” titah perempuan itu menepuk-nepuk pelan sofa yang tepat berada di sampingnya, dengan maksud menyuruh Nesa untuk duduk di sampingnya. Nesa mengangguk lalu berjalan dan duduk di samping Mia.

“Apa kabar? Sudah lama ya kita ngga ketemu,” ucap Mia sambil menyentuh tangan Nesa yang ada di pangkuannya.

“Saya sehat, Bu Mia apa kabar? Kurang lebih satu bulan yang lalu kita terakhir bertemu.”

“Ya betul itu, kita bertemu di acara pernikahan anaknya Pak Atmojo bukan?”

Nesa menganggukkan kepalanya sambil terkekeh kecil.

“Ekhem!”

Suara deheman Edgar, membuat Nesa dan Mia langsung menatap ke arah lelaki itu. Sepertinya Edgar merasa diabaikan oleh mereka.

“Mau saya buatkan teh?” tawar Nesa kepada Mia.

“Tidak usah, saya sengaja mampir sebentar ke kantor untuk menemui bosmu. Sudah lama dia tidak datang ke rumah untuk mengunjungi Mamanya,” ucap Mia menatap Nesa, namun tentu saja ucapannya bertujuan untuk menyindir Edgar—anak sulungnya.

“Saya sibuk Mam,” jawab Edgar.

Terdengar helaan napas panjang sebelum akhirnya Mia kembali menjawab pernyataan anaknya. “Selalu seperti itu, papa dan kamu sama saja. Sibuk sama kerjaan terus. Coba kamu nikah Bang, nanti istrimu Mama boyong suruh tinggal di rumah Mama, jangan di rumah kamu.”

Nesa menatap ke arah bosnya, dia ingin melihat jawaban apa yang akan bosnya katakan. Namun hanya gelengan kepala dari bosnya. ‘Heran, sama Mamanya juga sangat-sangat irit bicara.’ Nesa membatin.

“Teman Mama, mau ngenalin perem—“

“Mam, saya bisa cari sendiri,” ucap Edgar memotong cepat ucapan Mia.

“Kamu saja sibuk sama pekerjaan kamu, gimana caranya bisa cari sendiri?”

Perdebatan mereka berlanjut. Nesa hanya diam membisu menatap percakapan anak dan ibu itu, seharusnya Nesa tidak di sini bukan? Ia duduk dengan tidak nyaman di samping Mia. Sekitar lima belas menit keduanya berdebat, hingga akhirnya Mia harus menghentikan ocehannya karena beliau sudah ada janji dengan teman arisannya. Mia sengaja menemui Edgar di kantor. Semenjak Edgar mempunyai rumah sendiri dia sudah jarang sekali menemuinya, mungkin satu kali dalam sebulan atau dua bulan Edgar menemuinya itupun hanya sebentar tidak sampai menginap. Mengunjungi Edgar di kantor adalah satu-satunya cara untuk bisa menemui anaknya.

Sebelum pergi, Mia memberi tahu jika lusa akan ada acara keluarga di rumahnya. Mia menyuruh Edgar untuk datang. Sebenarnya Nesa di suruh ikut datang, namun Nesa tidak mengiyakan maupun menolak ajakannya. ‘Toh aku bukan bagian dari keluarga Naratama, untuk apa ikut bergabung?’ pikir Nesa.

“Hari ini tidak ada jadwal meeting?”

Nesa menggeleng lalu menjawab, “Tidak, sepertinya besok lusa hingga hari berikutnya schedule Pak Edgar akan full, sampai hari peresmian.” Tangannya sembari membantu Edgar melepas jas yang dipakainya.

“Baiklah, selesaikan pekerjaan kamu dengan cepat. Setelah pekerjaanmu selesai, kita akan pergi.”

Nesa mengernyit bingung, pergi ke mana yang Edgar maksud? Setahunya tidak ada pekerjaan hari ini yang harus berpergian, ataupun pekerjaan yang mengharuskan pergi ke luar kantor. Namun, dia hanya mengangguk menjawab pernyataan bosnya.

“Mau saya buatkan chamomile tea?”

Edgar hanya mengangguk, lalu dia duduk di kursi kebesarannya. Setelahnya Nesa keluar dari ruangan bosnya dan berjalan menuju kitchen room. Tidak ada siapaun selain Nesa dan Edgar yang menempati lantai ini. Memang terbagi dengan beberapa ruangan, ada kitchen room, ruang meeting, toilet dan juga living room.

Nesa membuatkan chamomile tea, teh yang sangat disukai oleh Edgar. Tujuh tahun bekerja dengan Edgar membuat Nesa mengetahui semua kebiasaannya, makanan favoritnya dan semua hal yang Edgar sukai. Tapi sepertinya itu hal yang harus setiap sekretaris sekaligus asisten pribadi tahu tentang atasannya bukan? Walaupun tidak wajib pasti hal itu akan terjadi dengan sendirinya.

***

Nesa memamerkan senyumnya kepada para karyawan yang berpapasan dengannya, mereka juga menyapa. Sebenarnya menyapa wakil direktur lebih tepatnya, walaupun Edgar tidak akan membalas sapaan mereka, bahkan untuk tersenyum pun tidak. Hal itu sudah biasa. Nesa yakin, sebenarnya mereka malas untuk menyapa Edgar, hanya saja mereka harus menghormatinya karena dia adalah wakil direktur.

Sebuah mobil porche hitam berhenti tepat di depan pelataran gedung kantor, seorang lelaki turun dari mobil itu lalu berjalan menghampiri Nesa hendak memberikan kunci mobil kepadanya.

“Biar saya yang menyetir,” ucap Edgar mengambil kunci mobil yang sudah berada di tangan Nesa.

“Bagaimana kalau Pak Sandi yang menyetir?” tawar Nesa. Sandi adalah salah satu karyawan kantor yang juga bertugas menjadi supir Edgar, walaupun tidak selalu karena Nesa yang lebih sering menyetir. Walaupun begitu, lelaki bernama Sandi itu cukup dekat dengan Edgar. Informasi sedikit dari yang pernah Nesa tahu jika keduanya sudah berteman sedari kecil.

“Baik, biar saya yang menyetir Pak,” ucap Sandi.

Edgar mengabaikan ucapan Sandi, dan langsung berjalan untuk masuk ke dalam mobil. Nesa menatap Sandi lalu dia menampilkan senyumnya sebelum ikut masuk juga ke dalam mobil.

Sesuai apa yang Edgar katakan pagi tadi, setelah Nesa mengerjakan pekerjaannya hari ini mereka akan pergi. Nesa tidak diberi tahu mereka akan peri ke mana. ‘Suka-suka bosnya saja lah.’ Pikir Nesa.

Mobil melaju membelah jalanan kota, seperti biasa hanya ada keheningan di dalam mobil. Nesa bukan orang pendiam, hanya saja lelaki yang berada di kursi kemudi itu yang membuatnya terdiam. Tidak mungkin ‘kan Nesa tertawa dan berbicara sendirian? Bisa-bisa bosnya yang menyebalkan itu menyebutnya gila.

Hampir dua puluh menit mobil melaju, dan sekarang mobil yang di kendarai oleh Edgar berhenti tepat di depan sebuah bangunan tiga lantai, aksara bertuliskan ‘FASHIONQUEEN’ terlihat di bagian depan butik. Nesa mengernyit bingung, kenapa Edgar membawanya ke butik?

“Turun!” titah Edgar yang melihat Nesa masih duduk di kursi dengan wajah bingungnya.

“Ah! Iya.” Nesa membuka safety belt lalu turun dari mobil, berjalan mengikuti langkah bosnya. Beberapa karyawan langsung berjejer di pintu masuk, menyapa Edar juga Nesa. Mereka berdua dituntun oleh salah satu karyawan untuk memasuki sebuah lift.

Lift berhenti di lantai tiga, mereka langsung keluar dari lift lalu dipersilahkan untuk duduk di sebuah sofa.

“Mau saya buatkan minuman?” tawar salah satu karyawan.

“Pak Edgar mau minum apa?” tanya Nesa, menatap bosnya yang duduk tepat di sampingnya.

“Apapun terserah kamu.”

Nesa mengangguk, lalu menatap ke arah karyawan itu dengan tersenyum lalu berkata, “Hot chocholatte saja kalau begitu.”

“Baik, nanti saya buatkan, “ ucapnya sembari membalas senyuman Nesa. “Bu Arin sedang keluar sebentar, sekarang sedang dalam perjalanan ke sini. Mohon di tunggu sebentar,” lanjutnya.

“Iya, tidak papa.”

Setelah menungu beberapa menit akhirnya pemilik butik datang. Arin mengucapkan permohonan maafnya karena membuat Edgar dan Naya menunggu. Tanpa berbasa-basi, Arin langsung menyuruh beberapa karyawannya untuk memperlihatkan beberapa dress, dan tuxedo koleksi butiknya.

Nesa mengerti sekarang, kenapa Edgar membawanya ke butik—beberapa hari lagi, Dina dan Doni akan menikah tentu saja keduanya akan datang ke acara pernikahan mereka. "Dress yang waktu itu saya pakai di acara pernikahan putrinya Pak Atmojo juga masih bagus, Pak. Jadi saya tidak perlu membeli lagi," kata Naya menatap Edgar sambil tersenyum.

Edgar yang sedang menatap beberapa tuxedo yang dibawakan oleh beberapa karyawan butik, mengalihkan pendangannya menatap Nesa sekilas. "Siapa yang ingin membelikan kamu dress? Saya membeli dress untuk Gia, Gia tidak bisa datang, jadi saya mengajak kamu untuk mencoba dressnya, ukuran tubuh kamu dan Gia sepertinya tidak beda jauh."

Oke. Nesa sangat malu sekarang. Ia kelihatan percaya diri sekali, beberapa karyawan butik pasti menahan dirinya untuk tidak tertawa mendengar perkataan Edgar, walaupun tidak dengan terang-tengan tapi Nesa bisa melihatnya. Ah! Menyebalkan. Nesa menampilkan senyum yang sudah pasti dipaksakan sambil mengangguk pelan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status