Seperti itulah awal saya mengenal Andara. Sebenarnya saya berpikir ribuan kali untuk menulis kisah ini. Rasanya tak mungkin untuk membongkar semua kebodohan ini pada khalayak ramai, walau belum tentu juga ada yang mau membacanya, padahal saya sudah berusaha untuk menutupnya serapat-rapatnya pada orang-orang terdekat. Tapi pada akhirnya saya menemukan sebuah jawaban, kenapa kisah ini mesti saya tuliskan.
Ya, hari itu, di pinggir kali Ciliwung yang bau, saya berdiri merenung di sela aktivitas saya yang dikejar oleh deadline. Saat itu saya bertemu dengan orang gila yang penampilannya compang-camping. Rambutnya panjang acak-acakan, menggumpal dipenuhi kotoran debu - yang mungkin bersemayam di sana semenjak dia didiagnosis gila. Dia tersenyum pada saya. Senyum yang menakutkan. Saya langsung membuka tas dan mengambil sebuah roti dan sekotak susu sejuta umat dan memberikan padanya. Mungkin dia lapar dan menginginkan makanan dari saya. Dia menerimanya dengan senang lalu melahap rotinya dan meminum susu kotaknya dengan cepat seperti orang kelaparan. Lalu saya pergi meninggalkannya. Toh juga buat apa berlama-lama dengannya, diajak bicarapun pasti tidak akan nyambung.
Saya berjalan menyusuri sungai Ciliwung. Rupanya orang gila itu tadi mengikuti saya. Saya terkejut bercampur takut. Dari raut wajahnya, dia seperti menginginkan makanan tambahan dari saya.
"Nggak ada lagi. Sana pergi," pinta saya padanya.
Dia tidak mau pergi, malah tersenyum lalu berucap pada saya, "Hanya orang bodoh yang tidak tau terima kasih pada dunia. Dan hanya orang pelit yang tidak peduli pada orang lain."
Saya terkejut mendengar ucapannya itu. Seperti disindir. Tapi bagaimana mungkin orang gila bisa menyindir saya? Saya tidak percaya, dan bagaimana mungkin orang gila seperti dirinya bisa berucap sebijak itu? Jangan-jangan dia berpura-pura gila? Namun, setelah saya amati dirinya dengan seksama, tak ada satupun tanda yang bisa saya baca kalau dia berpura-pura gila. Dia tertawa sendiri, kemudian sedih sendiri lalu bicara sendiri. Siapa pun yang melihatnya begitu pasti langsung menyadari kalau dia benar-benar orang gila. Akhirnya saya berpikir, mungkin dulunya dia orang bijak, dan ketika menjadi gila, kebijakannya masih bersemayam di otaknya, hanya kesadarannya saja yang hilang. Tiba-tiba saya mendekat ke orang gila itu dan mendadak ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Mungkin dia bisa menjawab pertanyaan yang sedari tadi saya pikirkan.
"Apa yang harus saya lakukan? Saya mencintai seseorang, dia tidak mencintai saya, tapi saya rela bersamanya dari musim ke musim sampai dia memiliki tujuh mantan pacar?"
Dia tertawa lebih kencang dari yang tadi. Mungkin juga saya sudah menjadi gila telah melontarkan pertanyaan ini pada dirinya. Setelah dia selesai tertawa, dia berucap pada saya, "Bersyukurlah jika memiliki satu kesempatan yang berharga. Jadikan itu pelajaran untuk semesta agar tidak ada orang-orang yang menjadi bodoh seperti dirimu."
Saya tercengang mendengar jawaban orang gila itu. Tanpa saya sadari, ternyata sejak dari tadi ada tiga anak kecil yang memperhatikan kami ; satu perempuan yang rambutnya dikepang dan dua lelaki dekil yang seperti tiga hari tidak mandi. Ketiga anak kecil itu meneriaki orang gila di hadapan saya.
“Orang gila! Orang gila! Orang gila!”
Setelah saya sadar kalau mereka bukan hanya meneriaki orang gila di hadapan saya saja, melainkan meneriaki saya juga, saya jadi kaget dan langsung kabur dari sana. Saya tidak gila. Mungkin mereka menganggap saya gila karena melihat saya tadi yang berdiskusi dengan orang gila itu. Dan perlu diketahui bahwa kelak, orang gila ini tak akan menjadi tokoh penting dalam kisah ini.
Sejak hari itu, saya berpikir untuk menulis kisah ini, mungkin kisah ini akan menjadi pelajaran untuk mereka-mereka yang sama-sama bodohnya dengan saya. Atau minimal bisa menjadi penghibur di waktu luang bagi mereka-mereka yang tidak ada kaitannya dengan kebodohan saya. Dan akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang suka mengumpulkan kata-kata bijak dan mempostingnya di sosial media. Entahlah.
***
Sebelum saya membongkar semua kenangan saya bersama Andara, ijinkan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Agar lebih mengenal saya. Nama saya Tarwan. Saya lelaki. Tidak tampan, tapi juga tidak jelek. Saya mahir berbahasa Inggris. Saya penulis. Ya, dulu saya berhasil menerbitkan novel dan dijual di toko buku nasional di seluruh Indonesia, akan tetapi novel itu tidak laku di pasaran. Cerpen-cerpen saya pun hanya bisa diterima oleh koran-koran lokal yang tidak berbayar. Hingga sekarang, tak ada satupun media nasional yang memuatnya. Malang sekali, bukan?
Keluarga saya cukup kaya raya. Ini bukan karena saya sombong, tapi karena saya harus mengenalkan diri, saya harus jujur tentang diri saya. Ya, ayah saya seorang pengusaha. Ibu saya seorang ibu sosialita yang banyak menghabiskan uang ayah semena-mena. Dua kakak lelaki saya juga seorang pengusaha. Adik perempuan saya masih SMA dan akan dipersiapkan ayah menjadi pengusaha juga. Kami semua keturunan sunda, lebih tetapnya dari kota Bogor. Hanya saya yang menderita, hidup di sebuah kost-kostan kecil di dekat sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Mungkin kalian heran mengapa saya menderita?
Ya, ini dikarenakan saya tidak memiliki visi misi yang sama dengan keluarga besar saya. Sejak kecil saya sangat menyukai sastra, bahkan saat ayah menguliahkan saya pun, saya malah sering bolos dan diam-diam menggeluti dunia sastra secara otodidak. Kalau saja ayah mau menguliahkan saya di jurusan sastra, mungkin saya akan kuliah dengan baik dan benar. Bahkan saya jamin akan menjadi mahasiwa yang berprestasi dan membanggakan. Jurusan ekonomi di sebuah universitas ternama membuat saya menderita. Saya tidak menyukainya. Bukan berarti saya tidak mau menjadi pengusaha, tapi saya ingin bisa melakukan hal berguna di bidang yang memang saya sukai.
"Kalo kamu sering bolos-bolosan kayak gini, mending berhenti aja kuliah! Jadi penulis sana!" teriak ayah kala itu." Saat itu saya sedang duduk di ruang keluarga bersamanya, juga bersama ibu. Ibu tampak diam saja, seperti bingung mau membela atau ikut menyalahkan saya. Saat itu juga saya berdiri dan berjalan meninggalkan mereka. "Jangan pulang sebelum kamu bisa membuktikan kalo kamu bisa sukses jadi penulis!" teriak ayah. Saya tak melihatnya, terus saja berjalan meninggalkan mereka berdua. Lalu saya menghilang selama satu tahun lamanya. Gara-gara itu saya putus kuliah. Ternyata ayah benar, menjadi penulis bukan hal yang gampang. Akan tetapi karena saya sudah berjanji untuk membuktikan pada ayah bahwa saya bisa sukses menjadi penulis, saya pun menerima nasib buruk itu dengan ikhlas. Saya akhirnya bekerja serabutan dengan mengandalkan ijazah SMA yang saya punya lalu sambil menggeluti dunia sastra. Sambil bekerja, saya menulis cerpen dan novel. Ta
Akhirnya saya pelan-pelan bisa mengikutinya dan skenario yang saya tulis mulai jarang direvisi oleh headwriter yang mengepalai di team kami. Jujur, naskah pertama yang saya kirim ke headwriter dimaki habis-habisan karena saya dinilai merusak citra komedi Indonesia. Mengapa? Karena saya mengubah satu episode sitkom yang terkenal itu menjadi kisah sedih sepanjang masa. Andi sampai geleng-geleng melihat saya. Untunglah headwriter saya berbaik hati pada saya. Akhirnya saya diberi kesempatan karena dinilainya memiliki potensi. Seperti yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berhasil. Tentu itu menjadi kemenangan buat saya. Jujur, saat itu bisa menjadi penulis skenario sudah membuat saya sangat bersyukur. Kesempatan ini tidak mudah didapatkan oleh penulis lain. Karena mendapatkan pekerjaan sebagai penulis scenario tidak seperti menulis novel yang bisa mengajukan naskah ke penerbit mana pun yang disuka atau bisa memuatnya di platform-platform
Dan malam yang tenang itu. Saya menemui Andara yang sudah duduk cantik di meja makan. Dengan penuh percaya diri disertai gugup sepuluh persen. Akhirnya saya menghampiri dia. "Andara?" sapa saya. Andara cukup lama memandangi saya. Dia berdiri lalu seperti shock melihat saya. Saya heran. “Kenapa? Saya serem ya?” celetuk saya. “Nggak kok,” kata Andara yang masih tampak tercengang, "kamu Kak Tarwan?" Andara mengatakan itu seperti orang yang baru ketemu dengan orang yang sudah lama dia kenal. Sesaat kemudian saya lihat dia tampak senang dengan kehadiran saya. Di pikiran saya sudah berkecamuk. Ini pasti akan menjadi cerita indah. Cerita cinta antara seorang artis yang sedang naik daun dengan penulis sederhana. Mungkin seperti FTV yang sering diperankannya. "Iya," jawab saya. "Duduk kak," pintanya kemudian. Aku pun duduk dengan salting. Beberapa pengunjung melihat ke arah Andara. Mungkin mereka tahu kalau Andara adalah a
Kami pun makan malam bersama di café yang sama tempat pertama dia mengajak saya makan malam. Kebetulan yang melayani kami adalah pelayan yang dulu menuduh saya belum membayar bill. Pelayan itu tampak malu melayani saya. Saya mencoba bersikap biasa saja, pura-pura lupa. Tak berapa lama kemudian menu makanan yang kami pesan datang. Saya dan Andara langsung melahapnya. “Gimana nulisnya, Kak?” tanya Andara sambil melahap menu makanan di hadapannya. “Alhamdulillah, lancar-lancar aja.” Andara mengangguk. “Menurut kakak, acting aku di sitkom udah bagus belum?” “Udah, kok.” “Beneran?” “Saya serius.” “Kalo ada yang kurang bilang aja kak, nanti aku perbaiki.” “Nggak ada yang kurang kok. Peran Siti yang kamu mainkan di sana sudah bagus kok.” Andara tampak senang dipuji. Setelahnya kami mengobrol banyak lagi. Ngalor ngidul membicarakan apapun. Saya pun akhirnya cerita soal Ira yang salah ngasih minuman ke saya. Anda
“Perasaan temen elo cuman gue dah.” Saya menghela napas. Emosi. “Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.” Andi kemudian berpikir. “Bisa jadi sih.” Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya. “Tapi tunggu dulu,” Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah. “Kenapa?” “Jangan keburu ge er dulu.” “Kok?” “Ada juga orang baik karena ada maunya.” “Contohnya?” “Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.” “Emang dia kenapa?” “Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.” Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d