Share

3. Inilah Saya

Seperti itulah awal saya mengenal Andara. Sebenarnya saya berpikir ribuan kali untuk menulis kisah ini. Rasanya tak mungkin untuk membongkar semua kebodohan ini pada khalayak ramai, walau belum tentu juga ada yang mau membacanya, padahal saya sudah berusaha untuk menutupnya serapat-rapatnya pada orang-orang terdekat. Tapi pada akhirnya saya menemukan sebuah jawaban, kenapa kisah ini mesti saya tuliskan.

Ya, hari itu, di pinggir kali Ciliwung yang bau, saya berdiri merenung di sela aktivitas saya yang dikejar oleh deadline. Saat itu saya bertemu dengan orang gila yang penampilannya compang-camping. Rambutnya panjang acak-acakan, menggumpal dipenuhi kotoran debu - yang mungkin bersemayam di sana semenjak dia didiagnosis gila. Dia tersenyum pada saya. Senyum yang menakutkan. Saya langsung membuka tas dan mengambil sebuah roti dan sekotak susu sejuta umat dan memberikan padanya. Mungkin dia lapar dan menginginkan makanan dari saya. Dia menerimanya dengan senang lalu melahap rotinya dan meminum susu kotaknya dengan cepat seperti orang kelaparan. Lalu saya pergi meninggalkannya. Toh juga buat apa berlama-lama dengannya, diajak bicarapun pasti tidak akan nyambung.

Saya berjalan menyusuri sungai Ciliwung. Rupanya orang gila itu tadi mengikuti saya. Saya terkejut bercampur takut. Dari raut wajahnya, dia seperti menginginkan makanan tambahan dari saya.

"Nggak ada lagi. Sana pergi," pinta saya padanya.

Dia tidak mau pergi, malah tersenyum lalu berucap pada saya, "Hanya orang bodoh yang tidak tau terima kasih pada dunia. Dan hanya orang pelit yang tidak peduli pada orang lain."

Saya terkejut mendengar ucapannya itu. Seperti disindir. Tapi bagaimana mungkin orang gila bisa menyindir saya? Saya tidak percaya, dan bagaimana mungkin orang gila seperti dirinya bisa berucap sebijak itu? Jangan-jangan dia berpura-pura gila? Namun, setelah saya amati dirinya dengan seksama,  tak ada satupun tanda yang bisa saya baca kalau dia berpura-pura gila. Dia tertawa sendiri, kemudian sedih sendiri lalu bicara sendiri. Siapa pun yang melihatnya begitu pasti langsung menyadari kalau dia benar-benar orang gila. Akhirnya saya berpikir, mungkin dulunya dia orang bijak, dan ketika menjadi gila, kebijakannya masih bersemayam di otaknya, hanya kesadarannya saja yang hilang. Tiba-tiba saya mendekat ke orang gila itu dan mendadak ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Mungkin dia bisa menjawab pertanyaan yang sedari tadi saya pikirkan.

"Apa yang harus saya lakukan? Saya mencintai seseorang, dia tidak mencintai saya, tapi saya rela bersamanya dari musim ke musim sampai dia memiliki tujuh mantan pacar?"

Dia tertawa lebih kencang dari yang tadi. Mungkin juga saya sudah menjadi gila telah melontarkan pertanyaan ini pada dirinya. Setelah dia selesai tertawa, dia berucap pada saya, "Bersyukurlah jika memiliki satu kesempatan yang berharga. Jadikan itu pelajaran untuk semesta agar tidak ada orang-orang yang menjadi bodoh seperti dirimu."

Saya tercengang mendengar jawaban orang gila itu. Tanpa saya sadari, ternyata sejak dari tadi ada tiga anak kecil yang memperhatikan kami ; satu perempuan yang rambutnya dikepang dan dua lelaki dekil yang seperti tiga hari tidak mandi. Ketiga anak kecil itu meneriaki orang gila di hadapan saya.

“Orang gila! Orang gila! Orang gila!”

Setelah saya sadar kalau mereka bukan hanya meneriaki orang gila di hadapan saya saja, melainkan meneriaki saya juga, saya jadi kaget dan langsung kabur dari sana. Saya tidak gila. Mungkin mereka menganggap saya gila karena melihat saya tadi yang berdiskusi dengan orang gila itu. Dan perlu diketahui bahwa kelak, orang gila ini tak akan menjadi tokoh penting dalam kisah ini.

Sejak hari itu, saya berpikir untuk menulis kisah ini, mungkin kisah ini akan menjadi pelajaran untuk mereka-mereka yang sama-sama bodohnya dengan saya. Atau minimal bisa menjadi penghibur di waktu luang bagi mereka-mereka yang tidak ada kaitannya dengan kebodohan saya. Dan akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang suka mengumpulkan kata-kata bijak dan mempostingnya di sosial media. Entahlah.

***

Sebelum saya membongkar semua kenangan saya bersama Andara, ijinkan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Agar lebih mengenal saya. Nama saya Tarwan. Saya lelaki. Tidak tampan, tapi juga tidak jelek. Saya mahir berbahasa Inggris. Saya penulis. Ya, dulu saya berhasil menerbitkan novel dan dijual di toko buku nasional di seluruh Indonesia, akan tetapi novel itu tidak laku di pasaran. Cerpen-cerpen saya pun hanya bisa diterima oleh koran-koran lokal yang tidak berbayar. Hingga sekarang, tak ada satupun media nasional yang memuatnya. Malang sekali, bukan?

Keluarga saya cukup kaya raya. Ini bukan karena saya sombong, tapi karena saya harus mengenalkan diri, saya harus jujur tentang diri saya. Ya, ayah saya seorang pengusaha. Ibu saya seorang ibu sosialita yang banyak menghabiskan uang ayah semena-mena. Dua kakak lelaki saya juga seorang pengusaha. Adik perempuan saya masih SMA dan akan dipersiapkan ayah menjadi pengusaha juga. Kami semua keturunan sunda, lebih tetapnya dari kota Bogor. Hanya saya yang menderita, hidup di sebuah kost-kostan kecil di dekat sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Mungkin kalian heran mengapa saya menderita?

Ya, ini dikarenakan saya tidak memiliki visi misi yang sama dengan keluarga besar saya. Sejak kecil saya sangat menyukai sastra, bahkan saat ayah menguliahkan saya pun, saya malah sering bolos dan diam-diam menggeluti dunia sastra secara otodidak. Kalau saja ayah mau menguliahkan saya di jurusan sastra, mungkin saya akan kuliah dengan baik dan benar. Bahkan saya jamin akan menjadi mahasiwa yang berprestasi dan membanggakan. Jurusan ekonomi di sebuah universitas ternama membuat saya menderita. Saya tidak menyukainya. Bukan berarti saya tidak mau menjadi pengusaha, tapi saya ingin bisa melakukan hal berguna di bidang yang memang saya sukai.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
semangat berjuang brow
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status