Tak berapa lama suasana terasa hening, mungkin mereka telah menyelesaikan adegannya. Terdengar pintu terbuka dan tertutup, entah siapa yang masuk ke kamar mandi? Mungkin Nia, mungkin Sam, atau bahkan keduanya. Aku menahan diri untuk tetap membatu, namun tubuhku mulai pegal, hatiku juga gatal oleh rasa penasaran. Akhirnya aku membuka mata dan berbalik. Dan aku terhenyak refleks mengumpat kasar.
“Sialan! Iiissh!!!” aku memaki geram seraya berbalik cepat dan menutup mata rapat-rapat. Bagaimana tidak?! Saat pertama yang kulihat adalah Sam yang telanjang dan bersedekap, berdiri tegap dan menatapku! Dasar gila. Aku semakin yakin Sam gila! Dalam hati aku terus mengutuk perbuatan gila Sam, sampai tiba-tiba sebuah selimut menutupi tubuhku. Terasa lembut dan hangat. Aku masih memilih tak bergerak dan tetap memejamkan mata, meringkuk di sofa dengan frustrasi. Sementara Sam terkekeh geli. Fix, dia sakit! Sam kali ini benar-benar diluar nalar! Aku tak menyangka Sam bisa bertindak gila!
Aku tak tahu kapan aku tertidur, semalam aku hanya terus diam dan memejamkan mata dengan pikiran sibuk mengumpat perbuatan Sam, sampai mungkin pikiranku lelah dan aku benar-benar tertidur. Dan sekarang aku terbangun, hari telah beranjak siang. Aku tak melihat Sam, hanya Nia yang kulihat tengah mengunyah sarapan di ranjangnya sembari asyik bermain handphone. Aku menatap sekeliling dan memastikan tidak ada Sam di dalam kamar. Lalu bangun dengan cepat dan loncat kearah Nia.
“Kalian gila! Apa yang kalian lakukan semalam bahkan saat aku ada di sini?!” pekikku antara jengkel dan marah.
Nia gelagapan, “Kau, kau tidak tidur?”
Aku menatap takjub seraut wajah polos di depanku. lalu menghembuskan napas berat. Nia memang seperti itu. “Pikirmu memangnya aku pingsan kalau tidur? Sampai-sampai aku tidak bisa mendengar desahan gilamu, begitu?” tanyaku dengan suara lebih perlahan.
Wajah Nia memerah, malu. “Aku, aku tidak tahu harus melakukan apa, aku sudah mencoba sebisaku memintanya pindah kamar atau sekadar ke kamar mandi. Tapi...” Nia terdiam, tak tahu lagi harus mengatakan apa untuk menjelaskan situasinya.
“Tring!” terdengar notif di handphoneku, segera kuraih dan kulihat, yang kemudian aku tercengang. Sam mentrasfer uang dengan jumlah besar ke rekeningku, 50 juta rupiah dengan keterangan ‘upah lemburmu tadi malam’. Dan aku frustrasi! Aku merasa kesal dengan perlakukan Sam dan uangnya, namun disisi lain aku juga tidak bisa menolak apalagi mengembalikannya.
“Mal? Apa ada masalah?” tanya Nia cemas.
Aku menggelengkan kepala. Sampai tiba-tiba handphoneku kembali berdering dan nama Sam tertera di layarnya. Aku beranjak agak menjauh dari Nia, dan menerima panggilan telepon tanpa mengatakan apapun.
“Hallo.” sapa Sam, suaranya terdengar santai dan itu menyebalkan. Aku diam tak menjawab.
“Bagaimana kabarmu pagi ini?” tanya Sam renyah, lalu terkekeh geli. Aku muak, aku tak mengerti maksudnya, namun lagi-lagi aku hanya membisu.
“Baiklah, jangan mengatakan apapun, cukup dengarkan aku dan lakukan. Bersenang-senanglah hari ini, gunakan kartuku yang ada padamu untuk makan dan berbelanja apapun. Have fun, Mala!” Sam lantas menutup teleponnya, dan aku hanya menghela napas berat.
Yang pasti malam itu adalah malam paling gila seumur hidupku. Di kamar hotel bintang 5, aku harus menyaksikan sahabatku bercumbu dengan suaminya yang adalah CEO di kantorku. Mereka bukan pengantin baru, pernikahan mereka telah berjalan sekitar 2 bulan. Namun aku tahu itu kali pertama Nia berhubungan badan dengan Sam, suaminya. Dan aku juga tahu itu bukan pengalaman pertama mereka. Nia adalah janda yang ditinggal mati suaminya sejak 3 tahun lalu, dan Nia adalah sahabat dekatku. Sedang Sam, dia adalah CEO tampan di kantorku. Dan yah, dia telah beristri dan memiliki 1 anak. Tapi yang aku dengar bahkan Sam memiliki 2 istri dan Nia adalah istri ke-3 nya. Tapi tak ada yang tahu pasti. Aku jelas tidak memiliki kewenangan untuk bertanya tentang itu. Dan Nia, dia terlalu lembut dan pendiam, hatinya sangat baik dan penurut. Dia bahkan sejak awal sudah menerima bahwa dia bukan satu-satunya istri Sam, entah dia nomor berapa, tidak penting lagi baginya saat dia bukanlah yang pertama dan satu-satunya.
“Áku tahu posisiku, yang harus kulakukan hanyalah memantapkan hati untuk tidak melibatkan perasaan, aku di sini hanya bergantung padanya dan menitipkan ragaku di bawah tanggung jawabnya. Meski harus berbagi dengan beberapa perempuan, selama aku punya tempat bergantung yang bisa diandalkan, bukankah aku hanya harus bersyukur?”
Itu yang sering kali kudengar dari Nia, namun aku tidak yakin. Sampai kapan dia akan menganggap dirinya tengah berperan sebagai seorang istri yang hanya dibayar tanpa melibatkan hati? Yakinkah dia bertahan dengan hati yang tak tergoyahkan? Bahkan bagiku, pesona Sam amat kuat. Dan aku bahkan memaklumi jika Sam memiliki lebih dari 1 istri. Dia memang terlalu keren dan terlalu bagus jika hanya dimiliki oleh seorang perempuan saja. Tak jarang aku bahkan terbawa perasaan oleh tindakan sederhananya sebagai seorang atasan terhadap bawahannya di tempat kerja, sialnya memang terkadang hatiku terpengaruh sebagai perempuan, bukan sebagai rekan kerja! Tapi aku tahu pasti, aku mampu menyembunyikan itu dengan sangat baik dan menyimpannya hanya untuk diriku sendiri. Saat aku berpikir Nia tampak tidak terlalu menghargai dirinya sendiri lalu bagaimana dengan aku dan perasaanku yang seperti ini? Bukankah aku lebih gila dari Nia? Dan bahkan aku punya suami dan seorang putri!
Ironis memang! Sam, entah takdir sedang mempermainkan kamu, atau kenyataan tengah meledekku saat ini. Atau aku sedang menciptakan tontonan dengan kamu peran utamanya dan aku yang menjadi penulis sekenario, atau mungkin sebaliknya? Lalu kenapa aku harus terseret kedalam cerita yang seaneh ini? Dan sebagai apa aku disini? Sebagai secret admirer? Sebagai lalat diantara sepasang kekasih? Atau sebagai perempuan yang menikung sahabatnya sendiri? Atau sebagai istri yang punya perasaan lain terhadap laki-laki selain suaminya? Entahlah.
Padahal awalnya aku yang membawa Nia ke perusahaan, aku yang mengenalkan Nia kepadamu, bahkan aku yang mendorong Nia untuk kemudian mau menikah denganmu. Apa takdir memang seaneh ini?!
Dan di sinilah aku sekarang, terduduk di salah satu kursi pesawat kelas bisnis bersama Sam yang duduk santai di sebelahku dengan wajah sumringah. Aku masih belum bisa mencerna apa yang benar-benar terjadi padaku sejak pagi sampai aku berakhir bersama Sam saat ini! Dan untuk membicarakannya dengan Sam rasanya bahkan tak nyaman, aku juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Sampai kemudian segala kebingungan dalam kepalaku akhirnya hanya bisa kutelan sendiri saja.“Kenapa?” Tanya Sam khawatir. “Kamu terlihat gelisah.”“Tidak apa.” Jawabku sekenanya, karena memang aku tak tahu apa yang bisa kukatakan padanya sekarang.“Rileks, Mal. Tidak perlu memikirkan hal rumit apapun saat ini, setidaknya saat bersamaku! Cukup nikmati saja waktumu dan berbahagialah” mohon Sam, seraya memencet tombol untuk menggerakkan kursi yang tengah kududuki demi mengatur posisinya agar kemudian bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dengan nyaman.Aku sedikit terkejut saat merasakan pergerakan dari kursi yang kudud
Aku sedikit terlonjak karena terkejut, pun dengan Sam. Lelehan kejunya lantas mengotori pipi dan sekitar mulut Sam, bahkan cipratannya juga mengotori kameja putih yang Sam kenakan. Melihatnya, refleks aku menarik tisu dan mengelap mulut serta pipi Sam, juga mengusap-usap noda kuning itu di kemeja Sam. Membuat laki-laki itu terkejut dan bahkan menghentikan mobilnya. Aku terus saja sibuk membersihkan lelehan keju di pipi dan mulut Sam, tak menyadari bahwa laki-laki itu kini tercenung diam dan menatapku lekat, sementara mulutnya penuh sosis yang belum juga dikunyahnya. Sampai tiba-tiba dia memegang lenganku dan menghentikanku. Genggamannya yang erat dan terasa hangat seketika menarik kesadaranku."Maaf." seruku panik, seraya menepiskan lengan Sam dan menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi dudukku lalu fokus melihat ke depan. Sementara Sam kemudian mengunyah sosisnya dengan ekspresi seperti menahan tawa."Kok mobilnya berhenti Pak?" tanyaku baru sadar."Kita sudah sampai di bandara." k
Melihatku melongo shock, Sam ikut melongo. Dia menatap lekat pada pahaku yang memang terbuka karena hanya mengenakan hotpants, yang kini bahkan blepotan saus tomat dan mayonaise serta ada potongan sosis diantaranya. Tak lama Sam lantas tertawa, sedang aku masih mematung menyesali sepenuh hati karena sudah mengenakan jeans super pendek alias hotpants.Kemudian dengan santainya Sam mencomot potongan sosis di pahaku dan memakannya sekaligus dalam satu suapan, the real sekali happ sampai aku terbelalak melihatnya! Seperti tak menyadarinya atau memang pura-pura tak menyadari reaksiku, Sam lantas menarik selembar tisu dan mengelap-elap pahaku untuk membersihkan saus dan mayonaise di sana.Aku terlalu terkejut dengan tingkahnya sampai tak bisa berkata-kata. Sosis di mulutku bahkan belum kukunyah sama sekali! Selain piyama tipis yang nyaman, kini bertambah lagi item fashion yang harus kublacklist, yaitu hotpants!"Pak, saya bisa melakukannya sendiri." protesku pelan saat berhasil mengumpulkan
POV : MalaAku berhenti melangkah, sedikit memicingkan mata untuk memastikan bahwa laki-laki yang berdiri di depan warung ayah itu adalah benar Sam. Dan saat laki-laki itu tersenyum padaku, aku tahu pasti bahwa dia memang benar adalah Sam.“Apa yang dilakukan Sam sepagi ini di depan warung ayah?” pikirku dengan kening berkerut heran. Segera aku menyeret koperku dan melangkah mendekati Sam.Namun sang CEO itu tidak hanya diam menunggu, dia bergerak cepat mendekatiku dan mengambil alih koper yang kuseret.“Pak!” seruku terkejut.Dan Sam tak menghiraukanku. Sampai aku kemudian hanya melongo bingung, saat kulihat Sam memasukkan koperku ke bagasi mobilnya.“Apa yang sedang dilakukannya?” pikirku heran. “Apa Nia menelepon Sam dan memintanya menjemputku karena khawatir ketinggalan pesawat?”Aku masih tercenung bingung dengan tingkah Sam. Sekarang, dia bahkan membukakan pintu mobilnya untukku.“Mau masuk tidak?” tanyanya, melihatku hanya melongo seperti perempuan bego.“Ah.” Aku terhenyak, sed
POV : BenAku tidak tahu apa sebenarnya yang sudah kuperdebatkan dengan Mala, sampai akhirnya dia pergi dengan perasaan kesal! Bahkan Mala sama sekali tidak membiarkanku untuk mengantarnya ke bandara. Memang aku tidak menawarkan dan Mala juga tidak meminta. Tadi aku terlalu shock saat tahu Mala hendak ke Bali lagi karena urusan pekerjaannya, sampai kemudian kita bertemu hanya untuk bertengkar saja. Aku sudah sangat berekspektasi, setelah turun gunung dengan kepala dingin akan kuhadapi Mala dengan lembut dan kuceritakan semua permasalahanku padanya secara deep talk. Namun seketika buyar, begitu tiba di depan rumah dan mendapati Mala telah bersiap dengan kopernya dan bilang mau ke Bali lagi!Aku emosi? Ya aku emosi!Minggu kemarin dia terbang ke Bali sampai kita harus cukup lama tak bersama. Dan pagi ini, baru saja kami akhirnya bertemu dan bahkan aku sudah sangat menantikannya. Tapi ternyata dia sudah akan berangkat lagi ke Bali? Pernikahan macam apa ini? Aku seketika kehilangan kontro
POV : BenAku mencintai Mala, tak pernah terpikirkan olehku untuk menyakitinya. Aku tak pernah berniat membohongi istriku. Semua perkataanku selaras dengan apa yang kulakukan. Tapi kondisiku memang sempat tidak terkontrol, dan sekarang bahkan menjadi diluar kendali. Aku bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana caraku untuk menjelaskan semuanya kepada Mala? Sekali lagi kutegaskan, aku mencintai Mala dan tak ingin kehilangannya sampai kapanpun!Aku tidak berbohong saat aku mengatakan akan pergi hiking ke gunung. Aku memang ke gunung, tapi bukan acara kepenulisan seperti yang kukatakan pada ibu mertuaku, ibunya Mala, saat aku mengantarkan Kayas untuk menitipkannya di rumah neneknya.Aku ke gunung untuk healing. Aku biasa melakukannya dan Mala tahu itu. Saat aku jengah, suntuk, tak punya inspirasi, aku kerap melakukan healing sendiri. Entah itu pergi ke gunung, ke pantai, ke hutan, ke pasar, ke mal, atau sekadar duduk di pesawahan sendirian. Dan akhir-akhir ini Mala sangat s