“Apa?! Mas ada di depan pintu kamar?!” pekik Nia kaget, yang sontak membuatku ikut terhenyak juga mendengarnya.
Nia sangat terkejut dan gugup, dia loncat dari tempat tidur dan menghambur ke pintu tanpa melihatku terlebih dahulu.
“Aku rindu.” suara berat Sam terdengar jelas saat Nia telah membuka pintu.
“Apa-apaan dia?” pikirku canggung, bukannya dia tahu ada aku disini?!
Sam merangkul Nia masuk dan mendudukkannya di ranjang.
“Mas, ada Mala disini.” gumam Nia pelan namun masih bisa kudengar.
Aku yang merasa canggung hanya bisa pura-pura tertidur dengan hati jengkel.
“Jangan berisik, Mala juga tidur.” jawab Sam santai, dia bahkan tidak mencoba memelankan suaranya.
“Maasss.” protes Nia terdengar resah dengan suara pelan.
Entah apa yang tengah mereka lakukan, tubuhku mendadak beku, aku bahkan tak tenang meski sekadar untuk bernapas.
“Kenapa? Aku ingin memelukmu, apa tidak boleh?” tanya Sam, lagi-lagi terdengar santai dengan nada suara normal seolah aku benar-benar tidak ada disana.
“Aku mau ke kamar mandi dulu." pinta Nia gugup, dan tak lama terdengar pintu kamar mandi dibuka lalu ditutup. Sepertinya sekarang Nia benar-benar dikamar mandi.
Apa aku harus terus berpura-pura tertidur? Atau pura-pura tersadar dan menyapa CEO gila itu? Aku memicingkan mata sedikit membukanya untuk mengintip keadaan sekitar, dan saat itu jantungku seperti mau loncat saat kudapati Sam berdiri bersedekap di dekat sofa tempat aku pura-pura tertidur, menatapku dengan aneh. Aku kembali menutup mataku dan melanjutkan kepura-puraanku dengan jantung berdegup kencang.
“Kenapa Nia lama sekali di kamar mandi?” pikirku jengkel. "Kenapa juga Sam berdiri di sana dan memperhatikanku?" pikirku resah, “Harusnya aku tidak usah memakai piyama!” rutukku dalam hati. Bukan piyama tipe seksi, hanya piyama satin lembut berwarna putih model kemeja lengan pendek satu set dengan bawahannya celana pendek sepaha. Membayangkan Sam tengah menatap kakiku yang terbuka sampai paha, dan posisi tidur telentangku yang menonjolkan bagian dada, dan yang aku khawatirkan adalah piayamaku berwarna putih dengan bahan tipis yang aku pikir nyaman, aku tidak berpikir itu akan sangat menonjolkan lekuk tubuhku. sangat diluar dugaan Sam akan tiba-tiba masuk ke kamar hotel tempat Nia dan aku menginap! Mendadak aku merasa menggigil, tapi juga semakin takut untuk membuka mata. Sam gila!
Terdengar pintu dibuka, sepertinya Nia keluar dari kamar mandi.
“Mas, mau menginap juga? Mau aku pesankan kamarnya sekarang?” tanya Nia menawarkan dengan suara setengah berbisik.
“Tidak, aku tidak akan menginap. Aku hanya mampir sebentar.” jawab Sam dengan suara yang terdengar santai.
Apa laki-laki itu sungguh mengira aku tidur? Atau dia tahu aku hanya pura-pura tidur karena itu dia bahkan tidak mencoba memelankan suaranya?
“Oh, mas sudah mau pergi lagi?” tanya Nia.
“Tidak juga, aku mampir untuk memelukmu, dan melakukannya.”
Sesaat hening, sepertinya aku bisa membayangkan ekspresi wajah Nia yang tercengang seperti halnya hatiku yang sontak mencelos.
“Maksud mas? Melakukan apa?”
“Melakukan apa lagi? Kamu istriku dan aku suamimu, dan aku tahu kamu paham maksudku.” jawab Sam seraya terkekeh geli.
“Tapi mas…” Nia terdengar resah seperti halnya aku yang jengkel terhadap sikap Sam. Apabila Nia tak bisa menolak karena dia istri yang baik, maka aku tak bisa melakukan apa-apa selain melanjutkan kepura-puraanku agar aku tidak mengganggu atasanku dan membahayakan karirku!
“Kau menolak?” terdengar suara Sam kali ini seolah mengintimidasi Nia.
“Bukan itu, apa lebih baik kita memiliki kamar yang berbeda. Mas tahu, ada Mala disini.” tutur Nia dengan suara pelan yang masih bisa kudengar.
“Dia tidur.” lagi, Sam terkekeh geli.
“Aww!” pekik Nia. Entah apa yang mereka lakukan. “Breekkk!” terdengar suara robekan, entah apa pula yang robek.
“Maasss,” Nia memohon dengan menyedihkan.
“Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu.” pinta Sam.
Gila! Ini gila! Jika saja aku bisa memohon bumi menelanku, maka aku akan memohon untuk bumi melakukannya sekarang. Mereka yang melakukannya, dan aku yang merasa gila dengan perasaan tak menentu dan tubuh yang terasa kaku. Aku tertekan sungguh. Untuk bernapaspun aku merasa cemas! Aku ingin membuka mata, lalu bangkit dan berlari pergi, namun aku takut melakukannya.
“Aaahhh Maaasss.” Terdengar Nia mendesah dengan suara tertahan.
Brengsek! Apa yang sedang mereka lakukan bahkan di dekatku?! Tak tahan lagi, aku sedikit membuka mataku dan mencoba mengintip. Dan aku melihatnya.
Nia berdiri dengan mata terpejam dan mencoba menahan perasaanya semampu yang dia bisa, seluruh pakaiannya telah dipreteli Sam dan tampak berserakan di sekitarnya sehingga perempuan itu bahkan telanjang tanpa sehelai benangpun. Sementara Sam memeluknya dari belakang, pakaiannya masih lengkap. Hanya tangannya saja yang menjelajah dengan bebas di kulit Nia yang telanjang. Sam menyentuh leher Nia, disusul dengan mulutnya yang menciumi leher perempuan yang mematung dengan mata terpejam setengah mengernyit, tampaknya dia tetap berusaha menahan hasrat dirinya sekuat hati. Kemudian lengan Sam dengan tak tahu malu menangkup kedua payudara Nia, menggosok-gosok lembut putingnya sampai Nia bahkan mendesah panjang tak mampu mengendalikannya.
Aku masih mengintip dengan hati yang entah mengapa berdebar hebat. Perasaanku aneh. Dan semakin aneh saat aku melihat Sam membuka kemejanya dan menampakkan dadanya yang bidang dan berotot. Perut kotak-kotaknya yang seksi. Lalu dengan cepat Sam juga membuka celananya dan bahkan celana dalamnya, hingga nampaklah sepasang bugil di depanku. Sangat gila! Sam gila! Apa dia tengah pamer padaku betapa gagahnya dia dan milik pribadinya? Betapa kekar otot-otot kakinya? Sam lantas berdiri di belakang Nia dan memeluknya yang masih mematung dengan mata terpejam. Namun aku terhenyak, saat aku melihat wajah Sam, dia tersenyum licik, bahkan setengah menyeringai menatapku. Ya, dia menyentuh Nia dengan mata yang terus menatapku tajam! Dan dia tahu aku tidak benar-benar tertidur!!!
“Aaahhh Mas!” desis Nia saat bagian intimnya mulai terjamah lengan brengsek Sam!
“Jangan ditahan, nikmati saja!” ucap Sam dengan suara keras seolah sengaja agar aku bisa mendengarnya.
Tak tahan, aku berbalik dan tetap berpura-pura tidur seraya membelakangi Nia dan Sam.
“Mas, sebaiknya kita ke kamar mandi.” mohon Nia
“Aku mau disini, tahan saja, ini tak akan lama.”
“Aaahhh…maass…aahhh…uuuhhhh” Nia terdengar tak dapat lagi mengendalikan desahannya.
Dan aku semakin merasa gila karenanya. Kenapa aku harus sesak? Dadaku berdebar, perutku terasa aneh, seperti ada kupu-kupu yang terus beterbangan di dalamnya. Dan bagian pribadiku, sialnya entah mengapa itu berdenyut??? Kenapa? Kalau boleh jujur adegan mereka biasa saja. Aku seorang istri dan ibu dari satu orang putri. Aku pernah menonton film porno, membaca novel dewasa juga komik 21+. Adegan mereka biasa saja dengan Nia yang mematung pasif! Aku bahkan melakukannya lebih atraktif dengan suamiku. Tapi kenapa tubuh Sam terlihat seksi? Sam gila, mereka gila, dan apa aku juga gila???
POV : SamDengan rasa frustrasi aku menatap pintu kamar mandi yang mengeluarkan suara kran air yang dinyalakan. Di dalamnya ada Mala, entah dia tengah mandi atau sekadar mencuci wajah, entahlah. Ingin aku bergerak membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya. Membayangkan Mala tanpa pakaian dengan suhu tubuhnya yang tengah demam, aku merasa hawa panas menjalari seluruh syaraf dalam tubuhku, menimbulkan rasa pening di kepalaku saat membayangkan tubuh hangat Mala kuciumi.Aku mengusap-usap kasar wajahku, berusaha mendinginkan pikiranku dan memfokuskan kepalaku dari hal-hal yang agak liar. Kualihkan perhatianku pada makanan yang kupesan, kutata di meja agar Mala bisa makan dengan nyaman. Buah-buah iris yang tampak segar, aneka berry warna-warni, serta ada saus youghurt. Ada susu steril yang sengaja kupesan khusus untuk Mala, berharap dengan itu dapat membantu mempercepat penyembuhannya. Bubur abalone dan sup ayam gingseng. Sementara untukku sendiri, aku memesan steak wagyu, asparagus panggang
POV : SAM“Kenapa melotot begitu padaku?” tanyaku, seraya menghampiri Mala dan duduk di tepi ranjang, yang tiba-tiba Mala bangkit, dia terlihat panik dan loncat dari ranjang bahkan menjauh dariku.Dia menyenderkan tubuhnya pada dinding dengan wajah pucat yang terlihat jelas diliputi kekhawatiran yang tampak nyata. Aku mengerti apa yang dipikirkan Mala, namun aku tak peduli. Saat ini aku ingin menjadi Sam yang menyukai Mala sejak SMA, bukan menjadi Sam yang adalah seorang CEO yang tengah menghadapi karyawannya.“Kenapa?” tanyaku lagi, dengan dahi berkerut heran.“Nia mana?” tanya Mala.Seperti tertampar oleh pertanyaan Mala, kesadaranku muncul menimbulkan rasa sakit yang berdenyut aktif di dada, aku terdiam menahan diri untuk sejenak mengatur napas berusaha melonggarkan dadaku dari rasa sesak yang mendera. Kemudian aku hanya mengendikkan bahu, aku memang tidak tahu Nia dimana.“Pak Sam sebaiknya keluar. Apa yang akan Nia katakan jika melihat kita hanya berdua di dalam kamar?” tanya Mal
Hari mulai gelap, aku keluar dari ruang kerja pribadiku di salah satu hotel besar di Bali, di ruangan paling atas dari hotel ini yang sengaja kusiapkan khusus untukku. Beberapa karyawan hotel yang kebetulan berpapasan denganku saat aku bergerak turun, mengangguk hormat seraya tersenyum ramah, seolah aku hanyalah sekadar tamu hotel VVIP mereka.Memang tak ada yang tahu, bahwa hotel ini adalah milikku dan merupakan salah satu usaha yang kurintis secara diam-diam. Aku hanya menempatkan satu orang kepercayaanku di setiap hotel yang kudirikan, untuk mengelolanya sebagai manajemen professional serta menjadi wajahku untuk mengatur pekerja. Meski begitu secara sistem, kinerja, pengambilan keputusan, aku sendiri yang meninjau dan memutuskan melalui orang kepercayaanku itu yang selalu memberikan laporan di setiap harinya. Sampai hari ini, semua berjalan lancar dan terkendali. Bahkan beberapa cabang hotelku bekembang pesat melebihi ekspektasi, tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, dan ad
Handphoneku bergetar tepat saat aku keluar dari bandara. Nama Nia tertera di layar handphone, segera aku mengangkat panggilannya.“Hallo Nai?” sapaku setengah berseru.“Dimana?” tanya Nia.“Baru sampai, ini baru keluar bandara.”“Syukurlah, aku khawatir kamu masih di Jakarta.”“Maaf, aku tadi terlambat sampai bandara. Dan maaf, karenanya aku jadi tertinggal pesawat. Maaf juga kamu jadi harus terbang sendiri.” ujarku merasa bersalah."Banyak banget minta maafnya. Tidak apa-apa, aman kok. Lagian itu kan bukan kemauan kamu juga tiba-tiba ada masalah pagi-pagi, tepat saat kamu harus segera berangkat ke bandara." kata Nia, sejenak dia terdiam. "Maaf juga aku tidak nunggu kamu tadi. Oh iya, kamu tiketnya bagaimana? Jadi harus beli sendiri, maaf ya."Aku termangu, tak tahu harus bilang apa. Tak mungkin kuceritakan bahwa aku terbang bersama Sam, dan dia juga yang mengatur tiket serta penerbanganku, sementara aku hanya mengikutinya saja."Mal?”“Ah, iya sorry. Ini sambil jalan neleponnya. Tida
Dan di sinilah aku sekarang, terduduk di salah satu kursi pesawat kelas bisnis bersama Sam yang duduk santai di sebelahku dengan wajah sumringah. Aku masih belum bisa mencerna apa yang benar-benar terjadi padaku sejak pagi sampai aku berakhir bersama Sam saat ini! Dan untuk membicarakannya dengan Sam rasanya bahkan tak nyaman, aku juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Sampai kemudian segala kebingungan dalam kepalaku akhirnya hanya bisa kutelan sendiri saja.“Kenapa?” Tanya Sam khawatir. “Kamu terlihat gelisah.”“Tidak apa.” Jawabku sekenanya, karena memang aku tak tahu apa yang bisa kukatakan padanya sekarang.“Rileks, Mal. Tidak perlu memikirkan hal rumit apapun saat ini, setidaknya saat bersamaku! Cukup nikmati saja waktumu dan berbahagialah” mohon Sam, seraya memencet tombol untuk menggerakkan kursi yang tengah kududuki demi mengatur posisinya agar kemudian bisa digunakan untuk merebahkan tubuh dengan nyaman.Aku sedikit terkejut saat merasakan pergerakan dari kursi yang kudud
Aku sedikit terlonjak karena terkejut, pun dengan Sam. Lelehan kejunya lantas mengotori pipi dan sekitar mulut Sam, bahkan cipratannya juga mengotori kameja putih yang Sam kenakan. Melihatnya, refleks aku menarik tisu dan mengelap mulut serta pipi Sam, juga mengusap-usap noda kuning itu di kemeja Sam. Membuat laki-laki itu terkejut dan bahkan menghentikan mobilnya. Aku terus saja sibuk membersihkan lelehan keju di pipi dan mulut Sam, tak menyadari bahwa laki-laki itu kini tercenung diam dan menatapku lekat, sementara mulutnya penuh sosis yang belum juga dikunyahnya. Sampai tiba-tiba dia memegang lenganku dan menghentikanku. Genggamannya yang erat dan terasa hangat seketika menarik kesadaranku."Maaf." seruku panik, seraya menepiskan lengan Sam dan menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi dudukku lalu fokus melihat ke depan. Sementara Sam kemudian mengunyah sosisnya dengan ekspresi seperti menahan tawa."Kok mobilnya berhenti Pak?" tanyaku baru sadar."Kita sudah sampai di bandara." k