Eps 6A
Swari ketakutan melihat kondisi Hangga.
"Gimana ini Arka?"
"Hah ayah pingsan, Mbak," seru Arka membuat Swari semakin kalut.
"Oh tidak...,"
Swari segera memutar otaknya, dia tak mau dilaporkan polisi dan menjadi headline news telah membuat ayah muridnya terkapar tak berdaya gara-gara makan nasgor dan jus buatannya.
Arka menyarankan untuk memanggil dokter namun Swari melarangnya. Dia takut nanti ada saksi yang tahu kejadian itu. Swari menyuruh Arka mengambil segelas air putih hangat dikasih sedikit garam dan gula pasir.
"Buat apa ini, Mbak? Mau meracuni ayahku?"
"Hush, sembarangan. Ini oralit dadakan tau nggak?"
"Om, bangun Om. Bi, Bi Marni."
Wanita paruh baya yang merupakan asisten RT Hangga segera datang menghampiri.
Swari meminta tolong diambilkan botol berisi air hangat untuk mengompres perut laki-laki yang tergeletak di sofa.
Dia tak tega melihat ayah muridnya yang berwajah pucat. Aslinya Hangga berwajah kuning langsat membuat Swari jadi mengagumi ketampanannya.
'Astaghfirullah, ini otak kenapa mikir yang enggak-enggak sih. Efek ditolak sama Satria jadinya begini malah mengagumi laki-laki dewasa,' batin Swari.
"Ar, tolong beli obat sakit perut ke apotek dong."
"Hmm, Pak Agung aja ya. Aku ngawasin mbak Swari nanti kalau ada apa-apa sama ayahku siapa yang jadi saksi?"
"Ckckck, jangan bercanda Arka."
"Pak Agung, tolong!"
"Ada apa mbak. Pak Hangga, kenapa?" tanya satpam keheranan.
"Tolong belikan obat sakit perut Om Hangga!"
Satpam pun mengangguk paham dan segera berlalu ke apotek.
Bi Marni tiba dengan membawa sebotol air hangat.
Swari berusaha membangunkan Hangga dengan kedua tangannya. Meski agak berat tapi Swari jelas kuat membangunkan tubuh Hangga karena dia seorang karateka.
Arka hanya terpaku melihat kelincahan guru lesnya menangani ayahnya yang sedang terkapar.
Dia masih memegang segelas oralit yang diminta Swari.
"Yakin Mbak nggak perlu memanggil dokter?"
"Tunggu sebentar, anggap aja aku dokternya," jawab Swari tegas membuat Hangga tergelak dan berusaha bangun meski tubuhnya lemas.
"Om ini diminum dulu pelan-pelan!" pinta Swari dengan wajah masih khawatir.
Hangga jelas melihat wajah Swari dari jarak dekat membuat jantungnya tiba-tiba berdetak tak normal. Dia memegang dada kirinya. Sementara Swari yang memperhatikan tingkah Hangga semakin panik.
'Astaghfirullah, kenapa Om Hangga malah memegangi dadanya. Jangan-jangan ada penyakit jantung,'
Swari segera meminta botol yang masih dibawa Bi Marni, lalu berniat ditaruh diperut atau dada Hangga untuk mengurangi rasa nyeri.
Melihat tangan Swari yang mau menyentuh tubuhnya, Hangga segera menepisnya.
"Jangan lanjutkan!" teriak Hangga membuat Swari terkejut.
"Maaf, ini bisa mengurangi nyeri Om."
"Tidak perlu," jawab Hangga terbata karena gugup.
"Saya tahu bukan muhrimnya Om, ini darurat aku cuma mau nolongin lho."
"Aku bilang nggak usah ya jangan diteruskan," jawab Hangga ketus membuat Swari kesal.
"Ishssh, bapak dan anak sama-sama bawel," gerutu Swari namun masih bisa di dengar orang disekitarnya terutama Hangga.
Swari menyerahkan botol air hangat pada Arka dan memberi komando untuk melakukan apa yang tadi ingin dilakukannya.
Arka hanya menahan tawanya mendengar guru lesnya dari tadi cerewet ditambah lagi mengatai ayahnya bawel seperti dirinya. Baru kali ini ada perempuan cerewet yang berani mengatai ayahnya. Swari sudah seperti istri yang sedang memarahi suaminya.
Melihat sikap Arka, Hangga hanya bisa melotot tajam ke arahnya. Ayahnya sudah tidak punya tenaga menegurnya.
Hangga berangsur membaik dari kondisi lemasnya setelah minum segelas oralit yang disiapkan Swari.
Lima belas menit kemudian Pak Agung datang membawa obat yang dibeli dari apotik.
"Mas, di mana?" Suara Raihan terdengar dari seberang."Siapa, Mas." tanya Dena penasaran."Astaga, Mas Ardi di mana? Ingat Mas, Mbak Dena belum ketemu kenapa Mas Ardi sama perempuan lain. Suara siapa perempuan tadi?" teriak Raihan memaksa Ardi menjauhkan ponselnya. "Pakai baju, Sayang. Ada Raihan."Ardi lalu mengubah panggilan Raihan menjadi videocall."Ada apa, Rai?""Mas apa-apaan nggak pakai baju gitu. Mas tidur sama...""Hush, jangan sembarangan. Ini Mas sama Mbak Dena.""Hah?!" Dena menyunggingkan senyum di depan layar ponsel. "Dena! Mana Dena putriku?""Mama!" jerit Dena saat melihat wajah mama Ardi dan mamanya ada di layar menggantikan Raihan yang sudah memberi ruang bagi kedua wanita paruh baya itu. Sorot mata sendu terutama terlukis di wajah Bu Sinta--mama Dena. Mamanya beberapa hari menginap di rumah sahabatnya sekaligus besannya itu. Ia tidak tahan sendirian di rumah kare
"Na, tolong dengarkan aku! Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan gegabah. Jangan berpikiran sempit. Kamu tidak sendiri, Sayang. Ada aku, mama, papa, teman-teman. Kumohon, buka pintunya, Na!"Teriakan memohon dari Ardi sebagai usaha terakhir setelah dengan kalimat lembut tidak mempan, akhirnya membuahkan hasil.Cklek, Ardi bersyukur Dena mau membuka pintu. Namun, begitu ia masuk kamar mandi, Dena masih terisak. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama mengguyur dengan air dari shower."Ya Allah, Dena! Apa yang terjadi? Kenapa kamu jadi begini?!"Ardi meraih handuk lalu mengganti baju Dena dengan bathrope. Ia memapah Dena keluar kamar mandi. Hening, tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Ardi membiarkan istrinya tenang dengan memberi segelas teh panas buatannya."Minumlah untuk menghangatkan badanmu, Na!" Ardi memberi ruang pada Dena untuk berpikir dingin supaya tenang hatinya.Tidak berselang lama, Dena justru
Dena berniat menuju restoran untuk menikmati makan malam karena Ardi sudah mengirim pesan agak terlambat datang. Ia sudah merasa lapar, karena Ardi tidak kunjung tiba. Sampai di restoran hotel. Dena berjalan pelan hingga tubuhnya terpaku di pintu masuk restoran. Netranya memicing ke arah sosok yang dilihatnya mirip Ardi.Deg,"Ardi? Kenapa dia malah makan malam sendiri?" Dilihatnya Ardi hanya duduk sendiri menikmati makan dan minuman. Namun, Dena baru mau melangkah terlihat seorang wanita berjalan menuju kursi di seberang Ardi."Hah, siapa wanita itu?" Dena melihat pakaian wanita itu rapi, rambutnya digelung ke atas. Keduanya terlihat akrab saat menikmati makan.Dena merasakan setitik nyeri di dada, pun rasa sesak menyeruak hingga membuatnya susah bernapas."Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ar? Apa karena semalam aku menolakmu." Berbagai spekulasi menari-nari di otak Dena hingga membuat kepalanya pening. Ia masih setia berdiri
Bab 49 Bangkit"Suami? Istri? Astaghfirullah." Dena menepuk jidatnya berkali-kali setelah ingat kalau mereka sudah menikah."Iya kamu istriku, tapi belum istri yang sesungguhnya karena belum melakukan ini.""Ardi?!" Dena sudah menjerit akibat sentuhan lembut dan dingin mengejutkan dari Ardi terasa di bibirnya. Dekapan erat pun menyusul menghangatkan tubuhnya, hingga keduanya bersiap melakukan ibadah yang dinantikan selama ini."Aargh. Jangan sentuh aku. Pergi!"Dena berteriak sekencang-kencangnya saat Ardi hendak memberikan sentuhan penuh cinta. Sontak saja Ardi terkejut luar biasa, ternyata istrinya masih trauma. Ia segera mendekap erat Dena yang tubuhnya masih gemetaran. Bahkan istrinya itu meronta-ronta saat ia ingin melakukan lebih jauh."Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan memaksamu. Tenanglah! Aku di sini melindungimu."Dena masih sesenggukan dengan kepala merebah di dada bidang suaminya. Ia bisa merasakan suaminya mendesah pelan seolah menahan sesuatu. Raut kecewa jelas terlukis
Bab 48"Mbak Kusuma ayo pulang!""Tidak! Tolong pergi! Jangan ikuti saya!" Teriakan histeris Dena semakin membuat Pak Rahmat panik. Ia tidak tahu kejadian tak terduga itu. Bahkan Dena mendadak pingsan karena teriakan disusul tangisannay yang kencang."Mbak, Mbak Kusuma, Bangun!"Pak Rahmat menepuk-nepuk lengan lalu pipi Dena tetapi tidak ada respon."Astaga! Kenapa jadi begini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana ini."Pak Rahmat bergegas membobong Dena ke mobil. Pakaian keduanya sudah mulai basah terkena air hujan terutama Pak Rahmat. Setelah dibaringkan di kursi belakang, Pak Rahmat mencari apa saja yang bisa untuk menutupi tubuh Dena supaya tidak kedinginan. Lama mengobrak abrik bagasi hingga akhirnya Pak Rahmat menemukan sebarang kain.Pak Rahmat merasa lega, lalu berniat keluar dari mobil dan harus segera membawa Dena ke rumah sakit. Namun, baru saja hendak keluar, ia dikejutkan oleh sebuah tarikan pada kerahnya.
Bab 47 Trauma itu"Jadi, Bapak tinggalkan mereka berdua?! Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya bagaimana?! Siapa yang bertanggung jawab, hah?!" Ardi sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Semua mata tercengang mendengar ucapan mengejutkan Ardi."Istri?" lirih Andi."Ya, Dena Artha Kusuma adalah istri saya.""Apa?!" Semua saling pandang dengan wajah dipenuhi penyesalan.Gegas Ardi menarik Andi menuju mobil yayasan untuk mencari Dena."Ya Allah, semoga Dena baik-baik saja."Ardi tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur, bahkan petir pun terdengar bersahutan. Ia menarik lengan Andi dan bergegas mencari Dena juga Pak Rahmat."Saya ikut juga, Pak!" Suara Pak RT terdengar lantang. Karena merasa bersalah telah meninggalkan mobil Pak Rahmat yang membawa Dena bersamanya."Mari, Pak!" ucap Andi karena Ardi sudah tidak sempat membalas. Akhirnya mobil itu berisi empat orang, bu kepala panti pun turut kembali mencari Dena. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu relawan yang terlihat pal