Share

Bab 2

Aku pecinta udara dingin.

Berapa derajat pun AC Central di kantor, betapa buruk pun kondisi tubuhku, aku bisa mentoleransinya.

Namun pagi ini, lantai tiga puluh lima seperti beku. Rasanya ada lorong waktu yang bocor ke antartika.

Aku tak tahu, kalau dan gugup bisa membuatku merasa sebeku ini.

Captain Romi sudah sibuk meeting tapi nyawaku ketinggalan di lift.

Sebetulnya untuk mencapai ruanganku tidak susah. Dari resepsionis, dibatasi sebuah partisi kayu besar yang dibelakangnya sudah tertata lima baris meja panjang yang menghadap ke ruang meeting yang berdampingan langsung dengan pantry tadi. Setiap meja diisi enam orang. Aku mendapat tempat di meja baris ke lima, nomor ketiga dari kiri. Tidak ada pembatas antar meja karyawan. Tiga puluh orang di satu ruangan yang sama dengan polusi suara dimana-mana, secara logika akan membuatku lebih hangat.

Andai saja tidak ada peristiwa memalukan tadi.

Tak terhitung sudah berapa orang yang menoleh padaku, mengejekku dan menertawaiku dalam diam.

"Santai Win ... " Suara lelaki di samping kiriku terasa teredam. Aku belum membuka akses diriku pada sekitarku, fokus pada dinginnya AC dan monitor komputerku yang terlalu terang, "Capt Romi ini udah punya pacar. Pacarnya cantik banget lagi. Gak bakalan deh dia nganggap lo serius."

"Bukan masalah itu nya Mas Andre. Ini hari ulang tahun gue. Gue tuh udah mode malaikat banget loh. Kalau lo gak tau, gue bisa berubah jadi reog kalau ulang tahun. Eh tau-tau dapet treat begini." Aku kesal, tapi energiku bahkan tidak cukup untuk marah. Sepertinya PMS ku tiba lebih cepat, karena yang kurasakan ini memiliki kesan tak nyaman yang benar-benar persis.

"Terus mau bete sampai kapan? Happy aja lah! Nanti balik kerja kan kita mau pesta pizza."

Aku mendelik ke kiriku. Mas Andre, staf produksi shooting yang satu divisi denganku. Kami sama-sama akan tampak seperti orang gabut kalau tidak ada jadwal pengambilan video, itu lah kenapa dia merapikan jambulnya dengan santai, memastikan pomade-nya berhasil membentuk rambut depannya seperti cula badak.

"Apa?" Dia menoleh padaku.

"Lo rese juga Mas. Males lah gue."

"Ye ni anak gak bisa dibencandain apa ya? Teresa juga kagak sengaja ngirim foto lo ke grup yang itu! Habis kirim, dia pergi ke toilet. Orang-orang udah keburu ngakak dan nyariin dia, tapi gak ada yang bisa bantu hapus!"

"Lagi diomongin nih di grup manager." Suara berat wanita menyahut dari sebelah kiri mas Andre. Bu Gea, Manager Operasional kami yang kabarnya kehilangan kemampuan tersenyum sejak ditinggal suaminya yang selingkuh itu sibuk mengetik dan memperhatikan layar.

"Diomongin apa maksudnya Bu?" Tanya mas Andre.

"Managernya Romi mau cari tau maksud foto itu. Terus Teresa klarifikasi kalau dia bermaksud kirim foto itu ke grup lain. Padahal sudah jelas ... " Bu Gea menaikan kacamatanya yang merosot, matanya menatap kami dengan sinis, "Di kantor ini gak memperbolehkan ada forum di dalam forum."

Oke, selesai lah sudah.

Aku kembali menatap monitorku. Dahiku mendadak pening dan sepertinya obrolan soal para manager di grup manager telah disampaikan ke para staf sehingga bisa kulihat semua orang sudah mematung tanpa cengengesan lagi sekarang. Aku tak heran Mas Andre langsung bungkam, karena dia pun banyak andil terhadap foto editan bu Gea yang diedit tengah memakai bikini macan tutul.

*

Jam menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit. Langit mulai gelap dan hanya suara ketikan komputer dari enam orang yang harus lembur.

Ada untungnya juga sih, berkat Teresa yang salah kirim foto dan grup rahasia kami ketahuan manager, ulang tahunku jadi tidak dirayakan. Otomatis, uangku aman. Jared juga sudah mengirimi aku lima ratus ribu sebagai uang ganti traktiran pizza karena katanya dia kasihan padaku.

Kabar buruknya, aku dan timku akan lanjut menemani Captain Romi shooting video youtube terbarunya malam ini. Aku bukan hanya malu ketahuan karena mengidolakannya, tapi karena hal itu tampaknya tidak nyaman untuk dia, mengingat managernya pun sampai harus mengkonfirmasi alasan Teresa membuat foto editan itu.

"Winda, izin makan dulu." Ahmad dan Jared sudah memakai kaos hitam panjang dengan logo SH untuk persiapan shooting. Mereka bicara berbarengan seolah sudah merencanakan kata yang mau mereka ucapkan. Tapi Ahmad dan Jared sama-sama orang profesional yang tidak pernah ikut campur dalam drama kantor. Walau kesannya mereka seperti robot, jenis orang seperti itu lah yang kubutuhkan dalam bekerja sama.

"Ya udah. Maksimal jam tujuh udah balik ya. Kita beresin barang-barang dulu, tadi habis dipake ngonten sama timnya Alena."

"Beauty influencer itu?" Heran Ahmad, "Bukannya udah cabut ya dia?"

"Balik lagi. Gak ketemu management bagus kali." Jawabku asal. Namun seperti dugaanku, kedua pria itu saling memandang sesaat sebelum mengangkat bahu. Mereka tidak terlalu peduli.

"Lo mau gue beliin apa Win? Gue mau ke kantin juga ah." Mas Andre merenggangkan tubuhnya sehingga terdengar bunyi kretek yang mengerikan.

"Gak tau, gak nafsu makan."

"Makan dulu lah, sampe malem nih kita cuy!"

"Gak pengen Mas ... "

"Bakso?"

"Nggak."

"Ayam geprek?"

"Nggak."

"Bensu?"

"Bensu apaan?"

"Ada ayam geprek ada bakso ... "

"Nggak woy! Kan udah gue bilang nggak!"

"Iya maap. Odeng Lawson deh? Mau?"

Napasku terasa berat waktu memutuskan. Tapi membiarkan tubuhku kelaparan juga bukan hal yang bagus. Gurihnya kuah odeng Lawson sepertinya enak juga, "ya. Satu porsi, pedesnya dipisah, kalau ada pengen tambahan onigiri sama mayumi pedes. Lo yang bayarin dulu."

"Jiah, dia laper." Mas Andre berdiri, memakai jaket putihnya.

"Jangan lama-lama! Banyak kerjaan nih kita!"

"Iya bawel."

Sepeninggal Mas Andre dari ruangan, hanya tersisa dua orang sekarang. Ada Danu, staf design yang lembur. Tubuh gemuknya tercetak sempurna di kursi putarnya. Sepertinya apa pun yang terjadi, dia takkan meninggalkan kursinya selain harus ke kamar mandi. Karena semua orang tahu dia punya satu box kontainer berisi makanan ringan di kolong mejanya. Lalu ada Qudro, pria kalem itu duduk di barisan ketiga, ketiga dari kanan. Ada yang bilang kalau dia adalah kandidat kuat pengganti Manager Marketing yang mau resign untuk meneruskan studinya di luar negeri. Itu lah kenapa dia bekerja lebih keras setiap hari. Selain itu harusnya ada Akbar dan Mawar sebagai penanggung jawab talent. Tapi mereka pamit duluan jam empat tadi karena mau makan restoran all you can eat di daerah Kelapa Gading. Mereka agak gila sepertinya, karena restoran itu butuh waktu satu jam untuk ke Jakarta Pusat.

Sementara aku masih beku di kursiku. Aku harus melakukan sesuatu di komputer agar terlihat bekerja, tapi tak ada yang bisa kukerjakan.

Untungnya bos-bos sudah pulang. Captain Romi dan managernya juga sepertinya sudah pamit makan sore sejak matahari masih diujung senja tadi.

Mungkin aku bisa curi start dengan menyiapkan barang sebelum shooting tiba.

Aku memaksa tubuhku bangun. Dress peach-ku lecek tak karuan. Seharian tidak berjalan-jalan membuat tubuhku terasa berat. Aku merenggangkan leherku sedikit dan mengibas jari tanganku yang pegal karena tak melakukan apa-apa.

Dari tempatku, aku cuma harus ke belakang untuk menuju gudang ruang penyimpanan barang yang berhadapan dengan toilet pria.

Dari lorong persimpangan aku menyempatkan diri melihat ke resepsionis, mejanya sudah kosong. Lampu juga sudah dimatikan.

Aku buru-buru ke depan gudang dan bersiap menyalakan saklar.

Namun ...

Tanganku terhenti sejengkal di depan saklar itu. Aku mematung mendengar suara isakan seseorang.

Hantu kah?

Aku melihat ke kiri, masih tampak kawan-kawanku yang sibuk kerja. Danu memakai sebuah headphone Logitech yang membuatnya otomatis terlempar ke dunia lain karena fitur noice canceling-nya. Qudro juga memakai airpods. Aku tahu itu dari cara dia menganggukkan kepalanya dengan tempo yang rapi.

"Tapi kenapa kamu harus kayak gitu?"

Isakan itu ditambah dengan suara penuh kesedihan.

Tapi ini suara lelaki.

Memangnya ada kuntilanak lelaki?

Ah kenapa juga aku harus mengira itu kuntilanak?

"Aku bertahun-tahun bertahan untuk kamu! Tapi semudah itu kamu berpikir ada yang lebih baik dari aku? Oh oke, ini salah aku nih jadinya? Salah aku?"

Wow.

Aku mundur selangkah. Itu suara orang. Manusia yang hidup dan nyata.

Tapi aku tak mengenalinya.

Aku sudah satu tahun di sini, aku terlibat dalam proses editing ucapan hari raya dari seluruh karyawan dan aku mendengarkan suara mereka satu-persatu. Tapi suara siapa ini? Siapa lelaki ini?

"Aku melakukan semuanya untuk kamu! Dan kamu masih ragu? Nad, you gotta be kidding me ... "

Nad? Nadia? Apa maksud dia adalah Nadia Fahrani?

Nama itu sangat familiar karena aku sering mengunjungi halaman i*******m Nadia Fahrani untuk mengagumi betapa mungilnya wanita itu, berbanding terbalik dengan gayanya yang berkelas dan dewasa. Tapi feed i*******mnya juga sangat rapi. Terakhir aku cek seminggu lalu, followersnya sudah dua ratus tiga ribu.

Selain itu, aku selalu penasaran padanya karena dia pacar Capt Romi .

Jadi ... yang sedang menangis ini Captain Romi ?

Aku menutup mulutku, kaget sendiri.

"Kamu bener-bener pinter ya. Di pembicaraan selama ini, dengan niat aku yang berusaha memarahi dan menyadarkan kamu, malah berakhir dengan kamu membuat aku merasa bersalah atas perselingkuhan yang kamu buat. Ya ... buktinya kuat kok! Kamu selingkuh Nadia! KAMU SELINGKUH!"

Suaranya yang menggelegar membuat lututku serasa kehilangan tempurungnya.

Bagaimana ini? Aku harus berbalik atau bagaimana?

Sayangnya dewi fortunaku masih minggat karena lagi-lagi aku mendapat sial.

Dengan kekagetanku yang tak tertahan, kakiku yang gemetaran, aku melihat langsung pintu ruang penyimpanan terbuka. Captain Romi tampak menyedihkan dengan hidung merah dan mata bengkaknya.

Parahnya, aku tak bisa menghindari tatapannya. Dia juga kaget pada kehadiranku. Sore yang murung di hari ulang tahunku berakhir beku yang menelan aku dan dia dalam kecanggungan luar biasa.

AAAAAAAAAAAAAAAAA!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status