Share

Bab 3

Seperempat abad terdengar mengerikan bagiku.

Di usia itu, kakakku Nena dulu melahirkan anak keduanya. Tepat hari itu juga, adikku Pongky menikah dengan kekasihnya. Secara otomatis ada satu hari spesial bagi Nena yang menjadi hari penting bagi semua orang. Perpaduan kehadiran manusia baru di kehidupannya serta gerbang hidup baru bagi Pongky seolah menjembatani mereka ke arah kesempurnaan.

Sebetulnya ulang tahunku kemarin. Aku sudah mengalami hal yang mengerikan di kantor gara-gara editan sialan itu. Tapi aku mau mengulang tiup lilin hari ini karena aku mau tetap merayakannya dengan orang yang kucinta. Kurang apa aku? Ketika aku tak bisa tiup lilin bersama pacarku karena dia sibuk, aku sampai mengulang ulang tahunku seperti ini. Seolah kami tak akan bertemu lagi di ulang tahunku tahun depan saja! Padahal kami sudah bersama delapan tahun. Tahun-tahun berikutnya pasti lebih mudah.

Aku menyambut menit-menit reka ulang adegan menuju seperempat abadku dengan duduk di sofa reyotku di kosan model dua lantai mezzanine, dimana di lantai atasnya hanya tersedia satu area kecil untuk kasur ukuran king size. Kosan tiga juta sebulan yang selalu jadi bahan ejekan keluargaku kalau aku menceritakan rincian biaya bulananku pada mereka. Yahh habisnya bagaimana lagi? Setengah hariku kuhabiskan di kantor. Kalau aku harus pulang ke rumah hanya untuk bersusah-susah di kosan yang tidak nyaman, aku mending tidur bareng pengurus kantin di gedung kantor sekalian.

Aku menepok nyamuk yang hinggap di lenganku. AC sudah menyala, namun nyamuk ini kadang muncul entah dari mana kalau lampu sedang dimatikan. Padahal baru saja kutekan saklar itu lima menit yang lalu, agar dua lilin kecil berbentuk dua lima di atas sebuah kue blackforest ukuran sedang ini membawa suasana ulang tahun lebih terasa. Pencahayaan lainnya kudapat dari ponselku yang menghadap padaku dengan bantuan tripod. Seorang pria bermata kecil yang kulit cokelatnya memantulkan cahaya temaram cafe dimana dia berada, menatapku penuh perhatian.

Di Jerman sekarang baru pukul tujuh malam, sedang ramai-ramainya. Dan yang dia lakukan adalah terus belajar walau S2-nya sudah kelar seminggu lalu. Aku melihat kotak kecil dibawah kanan layar, menunjukkan muka pucatku dengan rambut panjang cokelat acak-acakan. Selama pacaran dengan Nathan sudah membuatku tak malu menunjukkan muka bantalku padanya. Toh kami juga bertemu waktu aku masih kelas dua SMA. Dimana aku belum perawatan apa pun. Padahal dia sudah dua puluh lima tahun waktu itu. Dia bisa saja tidak naksir balik padaku kalau dia mudah tergila-gila pada cewek cantik. Tapi melihat dia bertahan bertahun-tahun, aku tahu dia punya alasan kuat lebih dari sekadar penampilan.

"Udah waktunya Babe?" Nathan bertanya seraya melihat jam tangannya. Kalau seorang Nathan bertanya soal waktu, biasanya itu tanda bahwa dia tak sabar melakukan hal apa pun yang mau dilakukan setelah ini. Tapi karena ini ulang tahunku, aku tak mau berpikiran negatif. Asumsiku, dia hanya sedang perhatian saja sekarang.

"Lima menit lagi sayang. Oh ya itu kamu pesen apa?"

"Makanan aku?"

"Iya."

"Pasta. Kan tadi aku udah bilang."

"Kamu gak nanyain aku udah makan atau belum?" Rajukku.

Matanya tertutup setengah seolah lelah dengan omonganku, "kamu ini apa? Anak alay?"

"Kok gitu?"

"Ngapain aku nanyain kayak gitu-gitu? Kan kamu juga manusia normal, punya akal. Kalau kamu lapar kamu pasti makan lah!"

"Maksud kamuuuu aku gak normal? Gak punya akal?"

"Kamu normal dan punya akal. Tapi norak aja."

"Jahat!" Aku menjitak kamera depan ponselku sambil menggigit bibir.

Saat kulihat dia tertawa, aku lega dia tak benar bermaksud mengataiku. Entah karena dia sering bergaul dengan orang luar negeri, sikap sinis dan sarkasnya kadang sulit kudeteksi. Aku betulan bisa ngeri kadang-kadang.

"Berapa menit lagi sih?"

Aku kembali melihat jam di layar, "lima menitan sayang. Sabar dong."

"Jam kamu tuh kayak gak jalan."

"Yeee enak aja. Emangnya kamu yang pake jam mati ke fashion show!"

Nathan melotot seketika. Telunjuknya di bibir seolah perkataanku bisa dipahami orang disekelilingnya yang tentunya semuanya bule, "abisnya aku gak punya jam lagi. Sayang banget kalau musti beli."

"Kan bisa dibenerin? Emang orang kaya tuh pelit banget ya? Ckck ... "

"Undangannya dadakan sayang. Nah, jangan alihin topik. Sekarang udah jam berapa?"

Tepat saat itu jam ponselku menunjukkan angka 00:00.

"Make a wish dulu." Nathan menegur saat melihatku sudah bersiap tiup lilin.

"Nyanyiin aku happy birthday dulu dong Sayang ... sedikiiit aja."

"Ah kayak anak kecil deh kamu."

"Pleasee? Biar berasa vibes ulang tahunnya."

"Aku lagi di tempat umum Winda. Tiup aja langsung."

"Pelan ajaaa ..."

"Win, just close your eyes, make a wish and blow that candle! Aku harus lanjut call temen aku habis ini!"

Yahh ...

Bahuku otomatis merosot.

Pikiran positif yang kubangun tinggi-tinggi mendadak ambruk. Benar dugaanku, Nathan terburu-buru karena mau melakukan hal yang lain.

Sabar Winda.

Dia pacarmu.

Pacarmu selama hampir delapan tahun.

Aku menarik napas dalam-dalam. Kupejamkan mataku, "Dear God, terima kasih atas usia yang masih kau berikan pada makhluk penuh dosa ini. Semoga tahun ini Nathan mau melamar Winda biar kami bisa segera menikah, biar gak LDR lagi. Amin!"

Aku mengusap wajahku, membuka mataku, melihat Nathan memutar matanya. Itu lah respon yang selalu dia lakukan kalau aku bicara soal pernikahan. Nathan sekarang sudah berusia tiga puluh dua. Secara usia, kita berdua benar-benar siap untuk menikah. Namun keluarga Nathan tidak mengijinkannya menikah sebelum dia lulus S2-nya. Andai setelah ini dia mau menunda pernikahan kita untuk lanjut S3, aku tak habis pikir lagi deh.

"Congrats ya Baby. Semoga kamu bisa tambah dewasa dalam hadapin apa pun."

"Thank you Sayang ... " Aku melepas ponselku dari tripod, "ya udah kalau kamu ada perlu, kamu lanjut aja ya Yang ... "

"Oke, aku hubungi kamu setelah urusanku selesai."

"Siap! Virtual kiss?" Pintaku sambil mengedipkan mata cepat-cepat.

"Mulai deh ... "

"Dikit yaaang!"

"That's dumb Baby! Stop ah! Love you ... "

"Yahh ... Nathan!"

Layar ponselku langsung gelap saat Nathan menutup teleponnya lebih dulu.

Kedua tanganku melemas. Aku jadi mengingat kembali pertemuan aku dan Nathan. Pertemuan kami di SMK-ku di Lampung waktu dia datang sebagai pembicara seminar bisnis. Kami resmi pacaran setahun kemudian ketika aku mengambil kuliah jurusan komunikasi di Jakarta. Sudah sepanjang itu jalan kami, tapi kadang aku masih berharap aku bisa mengubahnya sedikit saja menjadi lebih perhatian.

Tapi ini Nathan. Aku tahu dia dan seluruh perangainya. Aku hanya bisa melihat kontak w******p Nathan, menekan foto profilnya, memperbesar gambar Nathan yang merangkulku dan aku memeluk pinggangnya waktu kami pergi ke Disneyland Jepang bersama-sama. Tinggiku dan Nathan beda sepuluh senti. Itu yang selalu membuatnya mengomel kalau aku pakai heels. Omelan yang mengesalkan, tapi juga menggemaskan. Bibirku tersenyum sedikit, "I love you too."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status