Share

Bab 4

"Aplikasi kencan kan semakin banyak nih, penggunanya juga semakin banyak, secara otomatis makin banyak juga kesempatan yang datang. Sayangnya kesempatan itu bisa jadi kesempatan untuk dapet jodoh, atau kesempatan disakiti lagi." Pantry di jam istirahat serasa bukan milik kantor lagi, melainkan milik aku dan sahabat-sahabat ku.

Ruangan lima kali lima meter yang berisi meja kaca bundar dengan kapasitas sepuluh orang ini terletak disamping satu meja panjang dimana telah tersedia kompor induksi, microwave, dispenser, satu rak kecil makanan ringan (Yang selalu sudah kosong ketika pertengahan bulan) hingga satu toples besar berisi berbagai minuman instan yang bisa diseduh secara gratis.

Kak Eva, seorang staf IT berambut lurus sebahu yang tampak manis dengan sebelah lesung pipi itu sepertinya menganut prinsip hidup sederhana. Karena dia selalu membawa makanan yang sama setiap harinya; tempe bacem dua, setengah porsi capcay, ikan kembung balado serta satu porsi nasi yang membumbung penuh di kotak makan plastiknya warna biru. Dia sudah duduk di kursi duluan, disusul Andre yang duduk di sampingnya sambil meletakkan mie UFO gorengnya yang masih panas. Di seberang mereka, aku duduk setelah memanaskan red velvet cake yang kudapat dari Starbucks dan Teresa datang terakhir, duduk disampingku setelah mengambil cheesy beef spageti-nya dari ojek online.

Segera saja aroma makanan berbaur menyatu. Teman-teman kantor kami yang lain biasanya akan makan di kantin atau dimana pun yang mereka pikir aman, mengingat saat makan adalah saat paling tepat bagi orang untuk bergosip satu sama lain. Kecuali Ahmad dan Jared tim anti gosip yang selalu makan di warteg belakang gedung kantor dan sibuk membicarakan pertandingan e-sport kesukaan mereka.

Biasa, setelah kami memasak makanan instan, mas Andre akan mulai pembicaraan absurdnya seperti tadi.

"Kayak beli kucing dalem karung gak sih Ndre kalau main dating apps itu?" Kak Eva hanya menimpali mas Andre asal, karena dia terlalu ramah untuk mengabaikan pria itu. Tidak seperti aku dan Teresa yang sudah capek dengan mendengar ocehannya.

"Secara teori kurang tepat, karena toh posisinya kita gak 'ngebeli' mereka. Waktu kita ketemu, kita masing-masing punya hak yang sama besarnya untuk memilih utuk lanjut atau nggak. Jadi yaa, bebas sih Kak. Lo pernah nyoba belum?"

"Seorang kak Eva main dating apps? Hellooooo? Dia mah diem-diem aja banyak yang ngantri kali!" Teresa nyolot terlalu semangat, sehingga rambut panjangnya yang dijepit jedai hitam itu terlepas. Dia membenarkannya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk menggulung spageti-nya.

"Ah masa iya? Kayaknya cowok di kantor pada gak berani deketin kak Eva deh?" Mas Andre mengaduk-aduk mozarella sebagai topping mie-nya.

"Bukan di kantor, bambang! Kehidupan lo limit banget sih?"

"Ya terus dimana Tere? Gue kan ngefollow semua orang di kantor ini! Update snapgram kak Eva tuh ya, kalau bukan lagi ngantor, ya ke gereja ... " Mata mas Andre membulat seketika saat menyadari sesuatu, "Ah i see! Yang ngedeketin kak Eva orang-orang di gereja?"

"Betul! Ada anak bos lah, pemilik resto lah, mas-mas dari berbagai daerah lah. Tinggal milih deh kak Eva mah! Iya kan Kak?" Seru Teresa bersemangat.

"Ah berlebihan kamu." Kak Eva menyuap tempe bacem-nya. Gerakannya lembut sekali seperti dia sedang ada di iklan makanan cepat saji.

"Kasian ya yang punya pacar gak bisa nimbrung."

Ucapan Mas Andre membuatku menendang kakinya.

"Lo gak bosen Win sama Nathan terus? Bayangin, lo itu udah terpenjara sama satu cowok dari sejak lulus SMA! Lo belum sempet kenal cowok jenis-jenis lainnya. Lo belum sempet ketemu fuck boy kayak si Mas Andre ini."

"Hoalaah ngatain gue fuck boy. Mulutmu minta tak gigit Tere?"

"Amit-amit!"

"Nikah aja lo berdua. Cocok kan Kak Eva?" Aku mengusulkan. Melihat mas Andre dan Teresa yang kejahilannya bisa dijadikan paket combo, pasti hubungan mereka nanti akan sangat seru.

"Cocok aja. Yang penting mau saling belajar memahami." Jawaban kak Eva yang serius memancing kami semua bertatapan dan tergelak bersamaan.

Suara pintu berkerit membuat kami menatap ke arah yang sama.

Aku terpaku di kursiku, hampir saja refleks bersembunyi ke kolong meja melihat kedatangannya.

Tidak dengan seragam pilot, kali ini dia memakai sebuah kaos biru muda dengan jaket denim yang sesuai dengan warna celananya. Senyum lebarnya menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa. Sangat berbeda dengan terakhir aku melihatnya menangis di ruang penyimpanan.

"Saya kira ruang ini masih kedap suara." Katanya waktu itu. Dia menggosok hidungnya kencang-kencang yang malah membuat hidungnya makin merah.

"Sorry Capt, tapi are you okay? Kalau Capt Romi kurang sehat, saya bisa bantu omongin ke PIC untuk undur jadwal shootingnya." Aku perlu satu menit untuk merangkai kata itu di otakku. Untung suaraku tidak gemetaran.

"No, I'm okay. Tapi saya izin makan dulu, boleh?"

"Ya, sure. Kalau misal ada perubahan juga gak apa-apa Capt. Bisa info ke PIC atau ke saya ya."

"Thanks Winda ... "

"Anytime Capt." Aku mundur memberi jalan untuknya. Dia mengusap hidungnya lagi, lalu pergi dengan menunduk.

Aku berkedip cepat, menutup ingatan itu. Aku kembali menatap kue red velvet-ku.

"Hai Capt! Bukannya gak ada jadwal shooting ya?" Mas Andre menyapa.

Bodo amat lah! Aku fokus memotong kueku yang tinggal setengah.

"Gak ada, tapi saya lagi ada ide baru untuk konten. Jadi barusan abis janjian sama mas Dewa untuk buat jadwal meeting barengan tim yang lain." Pintu berada tepat di sebelah kiriku. Aku melihatnya dari sudut mata. Posisinya dia masih berdiri di depan pintu. Seumur-umur selama aku bekerja dan dia menjadi talent, aku bersumpah dia tak pernah sekali pun mau masuk ke pantry. Aku curiga ini karena pantry selalu bau Indomie dan buat beberapa orang, aromanya bisa menggagalkan diet. Tapi apa coba yang dia lakukan di sini sekarang?

"Produktif banget Capt. Emang lagi jarang terbang ya?" Kak Eva membaur. Sebagai orang IT, kak Eva bahkan punya jiwa sosial jauuuh lebih besar dari aku. Ah apa sih kurangnya perempuan ini?

"Emang lagi jarang. Tapi jadwalnya ada kok. Pandemi kan udah selesai. Kalian dong terbang sekali-kali! Kerja mulu!"

"Ya gini deh Capt, kerja doang, kaya kagak." Gurau mas Andre.

Aku melirik ke Teresa. Dia menunduk sama sepertiku. Dia jelas masih merasa bersalah atas kejadian kemarin. Walau aku pribadi sudah memaafkannya dan untungnya Qudro si pembuat grup yang tidak menyertakan manager itu, bergerak cepat menghapus grupnya sehingga chat-chat kami tidak sempat terbaca.

"Capt Romi udah makan?"

Yah Kak Eva ...

Jangan sampai dia menawarkan Capt Romi untuk gabung. Capt Romi itu orang yang baik dan tidak enakan. Aku cuma tahu itu dari kontennya, tapi pasti dia takkan menolak kalau di ajak.

"Belum. Kalian punya makanan apa?"

Aku mendengar langkahnya masuk.

Mampus.

Aku mengencangkan mur leherku untuk bisa menatapnya. Dia tersenyum padaku sambil duduk disamping Andre, berjarak tiga kursi kosong dariku.

"Saya makan mie Capt. Selama pandemi ini banyak orang mulai gaya hidup sehat, kalau saya mau menyeimbangkan keberadaan mereka aja lah. Makanan tidak sehat itu berguna untuk kewarasan Capt."

"Bagus itu, berjasa banget kamu sama keseimbangan alam." Tanggapan serius Capt Romi menunjukkan selera humornya yang bisa nyambung dengan orang. Ini hal baru sih, aku tak pernah melihat dia betul-betul bicara soal hal receh di akun sosial medianya.

"Mau coba tempe bacem Capt? Ini belum saya makan." Tawar kak Eva.

"Boleh-boleh kayaknya enak."

"Tere, tolong garpu dong Re." Suruh kak Eva. Teresa buru-buru bangun mengambil garpu dan memberikannya ke Kak Eva.

"Oh ini yang namanya Tere." Capt Romi tersenyum meledek sambil mengambil sebuah tempe bacem di kotak makan kak Eva.

"Hehe iya Capt. Sorry ya yang kemarin."

Aku sudah memaafkan Teresa, serius. Tapi aku tak bisa menampik kalau mengingat itu, rasanya aku mau membenamkan kepalanya ke tanah.

"Gak apa-apa. Sejujurnya, manager saya si Ila itu emang sensi orangnya." Dia menyuapkan satu potong tempe utuh ke mulutnya. Semua orang menunggu reaksinya, melihat keterkejutan dari matanya dengan gumaman tak jelas seolah dia berusaha bicara.

"Enak Capt?" Kak Eva mengisyaratkan Teresa untuk mengambilkan air. Lagi-lagi Tere bergerak gesit untuk mengambil gelas kaca dan mengisi penuh airnya, meletakkan ke depan Capt Romi. Aku membantu Tere mendorong gelas itu agar lebih dekat padanya.

"Thanks. Ini enak banget sih. Bumbunya bener-bener meresap dan ada smokey-nya gitu."

"Itu emang dibakar Capt. Kalau Capt mau ada acara, bisa pesan ke saya. Dalam jumlah besar juga siap, hehe."

"Yahh Kak Eva, pantesan nawarin. Taunya promosi." Sindir mas Andre dengan bercanda.

"Kalau yang dipromosiin enak sih gak apa-apa, iya kan Eva?"

"Siap, thanks Capt."

Aku melirik ke Teresa, dia cuma menusuk-nusuk spagetinya, kecanggungan dia merambat padaku.

"Kalau Winda sukanya makan yang lebih fancy ya?" Pertanyaan itu membuatku menghadap kembali padanya. Sinar matahari siang membantuku melihat wajahnya lebih jelas. Dia punya bekas jerawat di dahinya. Tak pernah aku lihat sebelumnya. Mungkin karena filter yang canggih. Tapi dia sangat curang karena masih terlihat tampan walau pun begitu.

"Ini? Tiga puluh ribuan dibilang fancy?" Suaraku malah kedengaran sinis. Mas Andre berdeham pelan meledekku.

"Tiga puluh ribu sehari, seratus lima puluh ribu seminggu, enam ratus ribu sebulan, hanya untuk makan siang? Itu lumayan banget sih."

"Kan gak tiap hari juga Capt."

"Tapi berarti gak salah dong kalau aku bilang fancy?"

"Jiahh udah 'aku kamu' nih Capt sekarang manggilnya?" Dengan tidak tahu diri, mas Andre menyenggol lengan Capt Romi yang hanya meringis. Dasar cowok! Bisa tidak sih mereka stop menyinggung aku? Kalau begini terus lama-lama aku bisa berubah ilfeel padanya!

Untungnya mas Andre sudah bisa melihat muka tidak nyamanku. Dia lanjut berbincang dengan Capt Romi soal gosip-gosip mengenai influencer yang melanggar kontrak brand dan segala macamnya. Aku akhirnya bisa menghabiskan makan dengan tenang, paling cepat diantara semuanya.

Aku buru-buru bangun, "duluan ya guys. Mau ngerjain sesuatu." Aku mengambil piring plastik bekas kueku untuk dibuang sekalian ke tempat sampah dekat pintu.

"Saya mau ke toilet." Capt Romi bangun, membenarkan kaosnya yang lecek.

Aku mengabaikannya. Gerakanku cepat sekali waktu membuang sampahku, keluar dari pantry dan mendapati ruangan kerja masih kosong.

"Winda!"

Astaga orang ini!

Aku berbalik, Capt Romi berjalan cepat ke arahku.

Ya, aku tahu dia ganteng. Semua orang tahu dia ganteng. Tapi kalau dia selalu bersikap berusaha menunjukkan kegantengannya itu dengan terus memegang rambutnya, merapikan jaketnya, aku jadi berpikir kalau dia aneh sekarang!

Capt Romi berhenti dua langkah di depanku. Aku baru sadar betul kalau tinggi kami hampir sama. Karena aku pakai heels, aku curiga tingginya sama dengan Nathan . Ah aku jadi kepikiran ketemu Nathan. Walau postur jangkung dengan bahu lebar yang hampir sama, aku tak kebayang kalau Nathan bisa bersikap ramah seperti Capt Romi apalagi tersenyum selebar itu. Mulutnya kok bisa tidak pegal ya?

"Nanti pulang kerja jam berapa?"

Aku menahan keinginanku untuk memutar mata. Dia baru saja kepergok menangisi pacarnya kemarin dan sekarang menanyaiku seperti ini? Red flag! Ada yang salah dengannya! Fix!

"Jam empat kayaknya Capt. Lagi gak ada jadwal shooting soalnya."

"Nice!" Katanya terlalu bersemangat, "lima belas menit dari sini ada kafe baru banget opening. Denger-denger menunya enak, mau join?"

Tuh kan.

Aku menarik napas dalam-dalam, "duh sorry Capt saya gak bisa. Udah pesen catering untuk makan malem. Sayang banget kalau gak kemakan."

"Oke. Kalau besok bisa dong?"

Apa ya maksudnya mengajakku seperti ini? Dia takut aku bongkar soal tangisannya ke sosial media atau apa?

"Just dinner, casual dinner. Habis dinner, pulang. That's it. Okay?"

"Bukannya apa-apa ya Capt. Saya kan baru bikin salah kemarin, saya takutnya anak-anak jadi rame lagi."

"Salah apa? Itu kan cuma candaan aja. Aku gak marah kok Win ... "

"Tapi mulut orang tuh gak bisa dikontrol Capt ... "

"Ya makanya ngapain kita mikirin sesuatu yang gak bisa kita kontrol?"

Suara langkah kaki terdengar masuk dari belakangku. Aku menoleh melihat Qudro baru saja melepaskan gulungan lengan bajunya. Dia berhenti lima detik seolah memergoki aku dan Capt Romi. Tapi dia lalu berjalan santai seperti biasa, melewati kami ke mejanya.

"Next time ya Capt." Aku memutuskan dan segera berjalan cepat ke mejaku.

Sejak itu, aku tak memperhatikan lagi kemana dia pergi. Namun yang kulakukan adalah membuka Samsung-ku, menuju ke I*******m Capt Romi dengan tiga koma dua juta followers yang dia punya dan menekan tombol unfollow.

Ternyata benar ya, sebaik-baiknya idola lebih baik dilihat dari jauh saja. Aku tak kebayang kalau aku menerima ajakannya. Seluruh kantor akan kembali mengejekku lebih parah dan aku tak tahu apa yang managernya bisa lakukan kepadaku dengan rumor yang bisa lebih ramai nanti.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status