“Jasmin.”
Suara itu terdengar di belakangnya, berat dan rendah, seperti desir angin yang memanggil pulang. Jasmin berhenti di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri yang sedang merapikan rambut. Ia tidak menoleh.“Ya?”Langkah kaki Reyan mendekat perlahan, hingga akhirnya ia berdiri di belakang Jasmin. Tidak menyentuh. Hanya berdiri. Tapi jaraknya cukup dekat untuk membuat udara di antara mereka bergetar.“Kau tampak berbeda,” ucap Reyan.“Aku?”Reyan mengangguk. “Seolah… kau sudah tidak lagi takut dilihat.”Jasmin menatap matanya sendiri di cermin. Lalu berkata pelan, “Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak ingin sembunyi.”Reyan menyentuh pundaknya. Lembut, tapi pasti. Kontak sekecil itu seperti menjatuhkan semua benteng yang selama ini Jasmin bangun di dalam dirinya. Ia menutup matanya sesaat, membiarkan sentuhan itu menenangkan jiwanya yang selama ini berisik.“Apa kau masih m“Aku baru sadar,” ujar Jasmin, mengaduk tehnya perlahan. “Ternyata yang paling sulit bukan memaafkan orang lain… tapi memaafkan diri sendiri.”Reyan meletakkan bukunya, menoleh dengan penuh perhatian.“Apa kamu masih marah pada dirimu?”Jasmin mengangguk pelan. “Marah karena dulu aku terlalu diam, terlalu takut, terlalu menyesuaikan diri. Aku benci diriku yang lemah.”Reyan meraih tangan Jasmin, menggenggamnya erat. “Tapi dari semua versi dirimu, yang aku cintai justru yang itu. Karena dia bertahan, meskipun sakit.”Jasmin menatap Reyan, air matanya mengambang di pelupuk mata. “Kamu nggak lelah, Rey? Menemani aku yang penuh bagasi masa lalu?”Reyan tidak menjawab langsung. Ia mengangkat tangan Jasmin, menciumnya dengan lembut.“Kalau kamu melihat luka itu sebagai beban, ya kamu akan merasa berat. Tapi aku melihatnya sebagai bagian dari kamu. Dan aku nggak pernah merasa itu berat. Karena yang aku pilih bukan sekadar hari
Jasmin tidak pernah menyangka, menulis tentang keluarganya justru membuka lebih banyak pintu yang selama ini ia tutup rapat.Bukan hanya tentang ibu tiri yang dulu ia benci, tapi juga tentang dirinya sendiri—yang dulu selalu merasa harus jadi kuat, padahal tidak pernah benar-benar tahu caranya menjadi rapuh tanpa merasa bersalah.Ia menatap naskah cetak yang baru dikirim dari penerbit. Sampulnya sederhana, hanya latar putih dengan judul berwarna cokelat tanah. Mereka yang Kupanggil Rumah.Tak ada namanya di sampul depan, hanya sebuah inisial: J. F.“Kenapa cuma inisial?” tanya Reyan sambil membolak-balik halaman pertama.“Karena ini bukan tentang aku. Ini tentang semua orang yang pernah merasa asing di rumah sendiri.”Reyan tidak menjawab. Tapi ia mencium puncak kepala Jasmin dan membiarkannya duduk dalam diam.•Dering ponsel mengusik ketenangan di ruang kerja mereka yang sederhana.“Jasmin Febrianti?” su
“Rey… kalau suatu saat aku nggak bisa nulis lagi, kamu bakal kecewa?”Jasmin mengucapkannya dengan lirih, sembari memeluk lututnya di atas sofa. Rambutnya diikat sembarangan, wajahnya polos tanpa make-up. Tapi bagi Reyan, justru seperti itu Jasmin yang paling nyata.“Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?” tanyanya, duduk di lantai, tepat di depan gadis itu.Jasmin menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu. “Aku cuma takut… setelah semua yang terjadi, ternyata aku cuma kuat sebentar.”Reyan tersenyum pelan. “Jas, kamu itu bukan kuat karena nulis. Tapi kamu bisa nulis karena kamu kuat.”Jasmin diam.Reyan meraih tangan gadis itu, menggenggamnya hangat. “Kalau kamu berhenti nulis pun, aku tetap bangga. Karena kamu udah berani jujur sama perasaanmu. Itu yang nggak semua orang bisa lakukan.”“Aku takut kehilangan gairah itu, Rey. Dulu menulis jadi tempatku melarikan diri. Tapi sekarang aku bahagia… dan aku malah bingung harus me
“Apa kamu nyesel pernah nyakitin aku?” tanya Jasmin pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gumaman AC yang berhembus lembut.Reyan menghentikan gerakan jemarinya yang tadinya menyisir rambut Jasmin di pangkuannya. Pertanyaan itu datang mendadak, tapi tidak asing. Seperti luka lama yang belum benar-benar sembuh, tapi tak lagi berdarah.Ia menatap wajah gadis itu—gadis yang pernah ia buat menangis, pergi, lalu kembali dengan dada yang lebih lapang dari sebelumnya.“Aku menyesal,” jawabnya jujur. “Tapi aku lebih menyesal kalau waktu itu aku nggak mengakuin apa yang aku rasain ke kamu.”Mata Jasmin menatapnya, diam, tapi dalam. “Kamu pikir… kita bisa sampai sini kalau waktu itu aku pergi?”“Enggak,” jawab Reyan tegas. “Kalau kamu pergi, aku akan nyusul. Mungkin lebih lambat, mungkin lebih berantakan. Tapi aku tetap akan cari kamu.”Jasmin menunduk, mengusap jemarinya pelan. “Aku cuma takut. Kita bahagia sekarang, tapi kadang… aku nge
“Rey, kamu yakin mau ikut?” tanya Jasmin sambil merapikan map dokumennya.“Aku sudah bilang, aku nggak akan ngelepas kamu datang ke penerbit sendirian,” jawab Reyan santai dari balik pintu lemari. Ia sedang memilih kemeja, dan jelas sedang berusaha tidak terlihat gugup.Jasmin tersenyum kecil. “Tapi ini bukan pertama kalinya aku ke sana.”“Tapi ini pertama kalinya kamu ngasih naskah yang—” Reyan berhenti, menatapnya. “Yang nyeritain sebagian besar tentang kita.”Kata-kata itu membuat Jasmin diam. Ia menggenggam map yang berisi bundel naskahnya lebih erat. Di halaman depan tertulis judul sederhana: Rumah yang Tidak Pernah Dibangun dari Bata.“Kalau mereka nggak suka?” bisik Jasmin pelan.“Kalau kamu nulis dengan jujur, selalu akan ada yang suka. Bahkan kalau itu cuma satu orang… itu cukup.”“Termasuk kamu?”Reyan menghampirinya, lalu menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku suka bahkan sebelum kamu menulisnya.”
“Aku belum terbiasa memanggilmu ‘suami’,” gumam Jasmin pelan, menggulung rambutnya ke atas sambil berdiri di dapur kecil mereka yang baru.Reyan yang sedang membuka dua mangkuk sup hanya menoleh dan tersenyum. “Panggil apa pun yang bikin kamu nyaman. Mau tetap manggil aku kakak juga boleh.”Jasmin memutar tubuhnya, lalu menyandarkan punggung ke meja makan. “Kamu tahu, itu terdengar cukup salah, ‘kan?”“Kita memang mulai dari yang salah, tapi bukan berarti kita tidak bisa membangunnya dengan cara yang benar.”Jasmin terdiam, lalu mengangguk pelan.Ada sesuatu yang damai di antara mereka sekarang. Bukan karena semua luka sudah sembuh, tapi karena mereka berhenti mencoba menyembunyikannya. Luka itu tetap ada—tapi mereka mengakuinya, menertawakannya, dan membiarkannya ikut duduk di meja, tanpa menguasai ruangan.Saat Reyan menggeser mangkuk ke hadapannya, Jasmin duduk dengan ragu.“Ini kamu masak?” tanyanya sambil mengendus