Suara detak jam dinding bergema pelan. Ruangan itu tidak terlalu terang, hanya cahaya dari lampu baca di meja yang menyinari sebagian sofa. Reyan tertidur dengan posisi setengah duduk, kepalanya bersandar ke sandaran, dan lengan kirinya masih menggenggam tangan Jasmin yang kini duduk bersila di lantai, mengamati wajahnya.
Tatapan Jasmin tidak berpindah. Ia seperti sedang menghafal garis wajah Reyan—tulang pipi, rahang tegas, bulu mata yang lebih panjang dari yang seharusnya dimiliki seorang pria. Semua yang dulu tampak biasa, kini terasa penting.Perlahan, ia menggerakkan jari-jarinya, menelusuri pergelangan tangan Reyan. Ada denyut di sana. Tenang. Konsisten. Seolah waktu bisa berhenti selama jantung itu tetap berdetak.“Rey…” bisiknya.Reyan bergeming. Matanya tetap tertutup, tapi bibirnya bergerak. “Hmm?”“Kalau semua ini hanya mimpi… aku harap aku tidak terbangun.”Reyan membuka matanya perlahan, menoleh padanya. Tatapan mereSuara printer Reyan mengisi ruang kerja kecil mereka. Kertas-kertas jurnal akademik berserakan di meja, sebagian sudah diberi catatan tangan, sebagian lagi hanya tersentuh sudutnya.Jasmin duduk di lantai, bersandar pada kaki Reyan yang menyilangkan duduknya di kursi. Di tangannya, novel baru tengah dirancang. Tapi lembar kosong itu tak kunjung diisi.“Kamu kenapa nggak ngetik?” tanya Reyan tanpa menoleh.Jasmin menghela napas, menyandarkan kepala ke pahanya. “Aku takut nulis lagi.”Reyan menoleh, alisnya naik sedikit. “Padahal kamu baru bikin satu ruangan penuh orang diam karena kata-kata kamu.”“Justru itu. Aku takut ekspektasi orang terlalu tinggi. Takut kalau buku selanjutnya nggak akan bisa nyentuh mereka lagi.”Reyan memandangi wajah Jasmin yang penuh keraguan. Lalu perlahan, ia membelai rambutnya. “Kalau kamu terus mikirin ekspektasi, kamu nggak akan pernah nulis lagi. Menulislah karena kamu mau, bukan karena harus bikin orang terharu.”“Tapi sekarang orang tahu kisahku. Mereka
Jasmin duduk di kursi kayu kecil di pojok toko buku independen, jari-jarinya bermain gugup di ujung kertas. Tumpukan novel barunya tertata rapi di sebelah. Di depannya, seorang gadis remaja dengan mata bersinar menyerahkan buku untuk ditandatangani.“Namanya siapa?” tanya Jasmin lembut.“Lala,” jawab gadis itu malu-malu. “Aku suka banget bukunya, Kak. Rasanya kayak… ada yang ngerti isi kepala aku.”Jasmin tersenyum. Ia menulis di halaman pertama buku itu:Untuk Lala,Jangan pernah merasa sendiri.Luka bisa membuat kita kuat, asal kamu terus memilih untuk bangkit.Setelah gadis itu berlalu, Reyan duduk di sampingnya, menyerahkan botol air. “Kamu hebat.”“Aku cuma nulis,” ucap Jasmin pelan.“Kamu menyentuh hati orang. Itu lebih dari sekadar nulis.”Pandangan Jasmin menerawang ke antrean yang masih panjang. Beberapa wajah terlihat gugup, beberapa lagi hanya penasaran. Tapi semuanya datang untuk membaca kisah yang dulu ia sembunyikan mati-matian.Dunia tahu sekarang. Tentang kisah cinta y
Jasmin merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih memegang draft cetak novel barunya. Halaman-halaman yang sudah penuh coretan tinta merah itu berserakan di meja kopi. Matanya lelah, tapi dadanya hangat.Reyan duduk di karpet, menyandarkan punggungnya ke sisi sofa, sambil menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi satu tangannya terangkat ke belakang, meraih tangan Jasmin dan menggenggamnya tanpa menoleh.Sentuhan itu sederhana.Tapi mampu menghentikan segala kegelisahan.“Aku takut,” bisik Jasmin, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri.Reyan mengangkat wajahnya, menatapnya dari bawah. “Takut apa?”“Kalau cerita ini terlalu jujur. Terlalu personal. Aku takut orang akan tahu, itu tentang aku.”Reyan memiringkan kepala. “Memangnya kenapa kalau mereka tahu?”“Karena aku telanjang di sana. Aku menulis luka-lukaku. Kekeliruanku. Dan cinta yang bahkan sampai hari ini… masih terasa salah di mata orang.”Reyan menggenggam tangannya lebih erat. “Kal
“Apa menurutmu… cinta bisa berubah jadi hal yang menyesakkan?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Jasmin. Ia sedang duduk di anak tangga teratas menuju loteng, tempat Reyan sedang membenahi rak-rak buku tua. Suara angin dari jendela yang terbuka membuat gorden bergoyang perlahan, menciptakan suasana yang tenang namun rapuh.Reyan menoleh dari atas, lalu turun satu-dua anak tangga, sampai berada di samping Jasmin.“Kapan terakhir kali kamu merasa sesak karena cinta?” tanyanya pelan.Jasmin mengangkat bahu. “Mungkin waktu aku terlalu banyak berharap. Waktu aku merasa harus layak dulu buat bisa disayang.”Reyan menyentuh jemari Jasmin. “Dan sekarang?”“Sekarang aku tahu… cinta seharusnya nggak mengikat. Tapi menenangkan. Nggak menuntut, tapi hadir.”Mereka duduk bersebelahan di anak tangga itu, tanpa banyak bicara. Kadang diam lebih menyembuhkan daripada kalimat panjang yang tak perlu. Lalu Jasmin bersandar ke bahu Reyan, seperti yang biasa ia lakukan ketika pikirannya penuh
“Aku baru sadar,” ujar Jasmin, mengaduk tehnya perlahan. “Ternyata yang paling sulit bukan memaafkan orang lain… tapi memaafkan diri sendiri.”Reyan meletakkan bukunya, menoleh dengan penuh perhatian.“Apa kamu masih marah pada dirimu?”Jasmin mengangguk pelan. “Marah karena dulu aku terlalu diam, terlalu takut, terlalu menyesuaikan diri. Aku benci diriku yang lemah.”Reyan meraih tangan Jasmin, menggenggamnya erat. “Tapi dari semua versi dirimu, yang aku cintai justru yang itu. Karena dia bertahan, meskipun sakit.”Jasmin menatap Reyan, air matanya mengambang di pelupuk mata. “Kamu nggak lelah, Rey? Menemani aku yang penuh bagasi masa lalu?”Reyan tidak menjawab langsung. Ia mengangkat tangan Jasmin, menciumnya dengan lembut.“Kalau kamu melihat luka itu sebagai beban, ya kamu akan merasa berat. Tapi aku melihatnya sebagai bagian dari kamu. Dan aku nggak pernah merasa itu berat. Karena yang aku pilih bukan sekadar hari
Jasmin tidak pernah menyangka, menulis tentang keluarganya justru membuka lebih banyak pintu yang selama ini ia tutup rapat.Bukan hanya tentang ibu tiri yang dulu ia benci, tapi juga tentang dirinya sendiri—yang dulu selalu merasa harus jadi kuat, padahal tidak pernah benar-benar tahu caranya menjadi rapuh tanpa merasa bersalah.Ia menatap naskah cetak yang baru dikirim dari penerbit. Sampulnya sederhana, hanya latar putih dengan judul berwarna cokelat tanah. Mereka yang Kupanggil Rumah.Tak ada namanya di sampul depan, hanya sebuah inisial: J. F.“Kenapa cuma inisial?” tanya Reyan sambil membolak-balik halaman pertama.“Karena ini bukan tentang aku. Ini tentang semua orang yang pernah merasa asing di rumah sendiri.”Reyan tidak menjawab. Tapi ia mencium puncak kepala Jasmin dan membiarkannya duduk dalam diam.•Dering ponsel mengusik ketenangan di ruang kerja mereka yang sederhana.“Jasmin Febrianti?” su