Suara langkah kaki terdengar pelan dari arah dapur. Jasmin berdiri membelakangi Reyan, menyibukkan diri dengan memotong buah yang tak ia sentuh sejak tadi. Tangannya gemetar, tapi wajahnya tetap datar.
Reyan bersandar di kusen pintu, menyilangkan tangan di dada. “Kamu ngelamun?”Jasmin tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan pisau di atas talenan dan menarik napas panjang.“Aku mimpi aneh tadi malam,” gumamnya pelan.Reyan melangkah masuk. “Tentang apa?”Jasmin tidak segera menoleh. “Tentang kita. Tapi kita bukan kita.”“Kamu maksud?”“Kita tinggal di rumah yang berbeda, orang tua kita bukan orang tua kita. Tapi perasaannya sama.”Reyan berdiri di belakangnya. “Dan perasaan itu?”“Sama intensnya. Sama takutnya. Tapi aku juga tahu dalam mimpi itu, aku tetap milih kamu.”Suara Reyan merendah. “Apa yang bikin kamu takut sekarang?”Jasmin menoleh, akhirnya menatap Reyan. “Bukan tentanSuara gemerisik kain terdengar ketika Jasmin memutar tubuhnya, lalu menatap Reyan yang duduk di tepi tempat tidur dengan kemeja setengah terbuka. Matanya menelisik wajah pria itu yang tampak menegang sejak mereka kembali ke kamar.“Kenapa kamu diam saja?” tanyanya pelan.Reyan tidak langsung menjawab. Jemarinya menaut, lututnya sedikit bergoyang pelan. Sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang tidak ia ucapkan.“Rey…”“Aku takut kamu nyesel,” ucapnya akhirnya, tanpa menatapnya. “Takut kamu lihat reaksi Papa dan kamu pikir… hubungan kita terlalu berat buat dilanjutkan.”Jasmin bangkit dari tempat tidur, lalu duduk tepat di samping Reyan. Ia menyentuh wajah pria itu dengan lembut, memaksa Reyan untuk menatapnya.“Aku mencintai kamu, Rey. Kamu tahu itu.”“Tapi cinta bisa kalah kalau kita nggak kuat. Dan aku nggak bisa… aku nggak bisa lihat kamu terluka.”Matanya memerah.“Kamu pikir aku nggak takut? Tap
Langkah Jasmin terhenti di depan pintu kamar kerja ayahnya. Tangannya menggenggam erat lengan Reyan yang berdiri di sampingnya, seolah ketakutan akan apa yang akan mereka hadapi bersama. Udara terasa lebih berat, padahal hanya beberapa langkah memisahkan mereka dari sebuah keputusan besar.“Kamu yakin mau masuk sekarang?” tanya Reyan pelan, matanya menatap gadis itu dengan khawatir.Jasmin mengangguk pelan, meski wajahnya belum menunjukkan keberanian yang utuh. “Aku harus, Rey. Kita nggak bisa terus-terusan sembunyi. Mama aja udah tahu dan dia… dia belajar untuk menerima. Sekarang tinggal Papa.”Reyan menghela napas, lalu mengetuk pintu. Suara dari dalam menyuruh mereka masuk.Ayah Jasmin duduk di balik meja kerja, menatap laptop dengan kacamata di ujung hidung. Saat melihat keduanya masuk, ia mengangkat kepala.“Ada apa kalian datang berdua seperti ini?” tanyanya curiga, matanya berpindah dari Jasmin ke Reyan.Jasmin menelan lud
Ruangan itu tak banyak berubah. Hanya cahaya yang jatuh dari jendela memberi kesan seolah segalanya sedikit lebih terang dari biasanya. Tapi bukan cahaya itu yang membuat dada Jasmin sesak. Melainkan tatapan mama yang akhirnya menembus semua pertahanan yang ia simpan rapat-rapat selama ini.“Duduklah, Jasmin,” ucap mama tenang.Jasmin menatap Reyan sekilas sebelum mengambil tempat di sofa berhadapan dengan ibunya. Reyan berdiri, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk bisa ikut mendengar.Suasana terlalu hening untuk percakapan biasa. Bahkan detik jam terdengar sangat mengganggu.“Aku tahu ada yang kalian sembunyikan,” suara mama nyaris berbisik, tapi tajam. “Dan aku bukan gadis muda yang bisa dibodohi oleh senyuman manis atau diam-diaman seperti ini.”Jasmin menunduk. Tangannya saling mencengkram satu sama lain di pangkuannya.“Ma…” suaranya tercekat. Ia mencoba menelan keberanian, tapi seperti tersangkut di tenggorokan.
Langkah Jasmin terhenti di depan pintu kamar. Hatinya masih berdebar, bukan karena ketakutan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa dia jelaskan. Sebuah suara kecil yang terus memanggilnya kembali ke arah yang selama ini justru ia hindari.Reyan mengikutinya dari belakang, menyentuh pelan punggungnya. “Masuk dulu. Aku nggak akan maksa kamu ngomong.”Jasmin menoleh, matanya penuh keraguan. Tapi ia membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu masih terasa hangat, seolah menyimpan jejak keintiman yang pernah mereka bagi. Tirai bergerak perlahan, terkena angin dari jendela yang setengah terbuka.“Kenapa kamu selalu tahu kapan aku butuh diam?” Jasmin bertanya sambil duduk di sisi ranjang.Reyan menyandarkan diri di dinding, menyilangkan tangan. “Karena aku juga pernah butuh diam, tapi nggak ada yang ngertiin.”Jasmin tersenyum samar, menunduk. Tangannya menyusuri permukaan seprai dengan gerakan pelan.“Aku kayak ngelihat
Suara langkah kaki terdengar pelan dari arah dapur. Jasmin berdiri membelakangi Reyan, menyibukkan diri dengan memotong buah yang tak ia sentuh sejak tadi. Tangannya gemetar, tapi wajahnya tetap datar.Reyan bersandar di kusen pintu, menyilangkan tangan di dada. “Kamu ngelamun?”Jasmin tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan pisau di atas talenan dan menarik napas panjang.“Aku mimpi aneh tadi malam,” gumamnya pelan.Reyan melangkah masuk. “Tentang apa?”Jasmin tidak segera menoleh. “Tentang kita. Tapi kita bukan kita.”“Kamu maksud?”“Kita tinggal di rumah yang berbeda, orang tua kita bukan orang tua kita. Tapi perasaannya sama.”Reyan berdiri di belakangnya. “Dan perasaan itu?”“Sama intensnya. Sama takutnya. Tapi aku juga tahu dalam mimpi itu, aku tetap milih kamu.”Suara Reyan merendah. “Apa yang bikin kamu takut sekarang?”Jasmin menoleh, akhirnya menatap Reyan. “Bukan tentan
“Aku nggak nyangka kamu akan balik ke rumah ini,” ucap Reyan sambil menatap langit-langit, punggungnya bersandar di kasur. “Kupikir kamu bakal milih tetap di apartemen. Jauh dari semua orang, termasuk aku.”Jasmin menoleh. Ia duduk di ujung ranjang, mengenakan kaus Reyan yang kebesaran, lututnya ditarik ke dada.“Aku juga nggak nyangka. Tapi aku capek lari.”Tatapannya jatuh ke lantai kayu yang dingin, lalu beralih ke Reyan. “Kalau aku tinggal di apartemen, aku bakal terus pura-pura nggak butuh siapa-siapa.”Reyan meraih tangan Jasmin, menggenggamnya pelan. “Kamu nggak perlu pura-pura lagi.”Hening. Hanya desah napas mereka yang terdengar. Rumah itu terlalu sunyi, terlalu asing. Tapi keheningan di antara mereka terasa berbeda. Lebih padat. Lebih penuh makna.“Aku sempat mikir, hubungan kita cuma ilusi. Perasaan sesaat. Tapi makin aku menjauh, makin aku ngerasa hampa,” ujar Jasmin. “Dan setiap kali aku sadar bahwa aku nggak bisa c