“Makan malam di sini… selalu terasa seperti rapat keluarga kerajaan.”
Jasmin melirik ibunya yang duduk di ujung meja panjang berlapis linen putih, dengan lilin-lilin ramping menyala tenang di atasnya. Porselen dan perak mengkilat. Gelas-gelas kristal sudah diisi. Semuanya terlalu formal untuk makanan sehari-hari. Frederick duduk di kursi kepala meja, berwibawa seperti biasa, dan tersenyum penuh kontrol. Di sampingnya, Reyan duduk—tenang, diam, mata menunduk ke piring. Seolah dirinya tidak sedang duduk satu meja dengan gadis yang beberapa jam lalu berdiri terlalu dekat dengannya di balkon. Dan Jasmin… duduk di seberang Reyan. Terlalu jauh untuk disentuh, tapi terlalu dekat untuk dilupakan. “Apa rumah ini selalu setenang ini saat makan?” gumam Jasmin pelan, hanya untuk ibunya. Livia tersenyum lembut. “Ini pertama kalinya kita semua duduk bersama. Mungkin hanya canggung di awal.” Atau mungkin… terlalu banyak yang tidak dikatakan. ** Suara sendok menyentuh piring. Marta menyajikan sup krim jamur dalam mangkuk porselen hangat. Jasmin berterima kasih pelan, lalu menegakkan punggung. Ia bisa merasakan mata Reyan sesekali berpindah ke arahnya—bukan menatap langsung, tapi cukup untuk mengganggu iramanya menyendok. Frederick memulai percakapan ringan tentang perusahaan, tentang ekspansi ke Italia, dan rencana pertemuan dengan mitra baru minggu depan. Jasmin mendengarkan, meskipun sebagian besar kata-kata itu terasa seperti bahasa lain. Lalu, sebuah suara dari ujung meja menembus percakapan yang terlalu sempurna. “Bagaimana kuliahmu dulu, Jasmin?” Suara Frederick terdengar ramah, tapi penuh pengamatan. Jasmin menegakkan badan. “Aku ambil desain interior. Tapi berhenti di tahun kedua.” “Kenapa berhenti?” tanya pria itu lagi. “Aku merasa tidak cocok.” Jasmin tersenyum kecil. “Dan… mungkin tidak semua orang harus menemukan tempatnya di ruang kelas.” Reyan menyisipkan air mineralnya, seolah kata-kata itu familiar. Livia menyentuh lengan Frederick sejenak, menengahi, “Jasmin sedang mencari apa yang benar-benar ia mau.” Frederick mengangguk, lalu menoleh ke Reyan. “Dan kamu? Sudah memutuskan ikut ke Milan bulan depan?” Reyan mengangguk singkat. “Aku akan urus perluasannya. Mereka minta aku jadi penghubung untuk klien dari sektor arsitektur.” Jasmin mendongak, refleks. “Kau arsitek?” “Lulusan teknik sipil. Spesialisasi struktur dan ruang,” jawab Reyan tanpa melihatnya. “Tapi itu masa lalu. Sekarang, aku mengurus orang dan bisnis.” “Orang dan bisnis,” ulang Jasmin pelan. “Kedengarannya seperti kau sedang menjalankan permainan.” Reyan menoleh. “Kau tahu, permainan yang bagus tidak selalu harus jujur.” ** Suasana meja makan sedikit tegang. Tapi hanya terasa oleh mereka yang cukup peka. Marta datang kembali, kali ini membawa hidangan utama—fillet salmon dengan saus lemon-butter dan asparagus. Aroma lembut memenuhi ruangan, tapi Jasmin hampir tak mencicipinya. Dadanya terasa penuh oleh kata-kata yang tak diucapkan. Frederick berbicara tentang acara amal yang akan digelar bulan depan di rumah itu. “Kita akan jadi tuan rumah. Aku ingin kalian semua ada. Termasuk Jasmin.” “Acara amal?” Jasmin menahan nada canggung. “Para kolega akan datang. Politikus, pengusaha, pasangan-pasangan penting. Kau bisa belajar cara bersosialisasi dalam lingkaran keluarga ini,” ujar Frederick. Jasmin tersenyum kecil. “Tentu. Tidak ada yang lebih menghibur dari pura-pura nyaman di tengah orang-orang kaya.” “Kau tak perlu berpura-pura,” Reyan menimpali. “Tinggal diam dan tersenyum. Mereka takkan tahu bedanya.” Tatapan mereka bertemu di tengah meja. Tidak tajam, tapi juga tidak lunak. Dan di mata Livia, terlihat sebersit bingung. Mungkin baru sekarang ia melihat bahwa ada sesuatu… yang bergerak di bawah permukaan antara dua anak tirinya. ** Setelah makan malam selesai, Frederick dan Livia menuju ruang kerja pribadi. Pelayan mulai merapikan. Jasmin menunggu semua orang pergi sebelum ia berdiri dari kursinya. Tapi Reyan masih ada di sana. Berdiri, tangan di saku celana. Menatapnya sejenak sebelum berkata pelan, “Kau belum terbiasa dengan cara dunia ini bekerja.” “Dan kau terlalu nyaman di dalamnya,” balas Jasmin. “Kau akan belajar.” “Atau mungkin aku akan menghancurkannya dari dalam.” Reyan mendekat. Satu langkah. Tidak cukup untuk menyentuh. Tapi cukup untuk membuat napas Jasmin tersangkut. “Aku takkan mengizinkan itu.” “Dan kau tak bisa menghentikanku.” ** Mereka tidak berteriak. Tidak membanting apa pun. Tapi dalam kata-kata itu, dalam jarak sempit yang tak berani dilanggar, tersimpan sesuatu yang jauh lebih liar dari konflik. Karena kebencian… tak pernah sehalus itu.Keheningan itu tidak lagi terasa canggung. Bagi Jasmin, berada di sisi Reyan seperti menemukan tempat beristirahat setelah berlari terlalu lama. Bahunya yang menjadi sandaran membuat tubuhnya perlahan rileks, seolah semua beban yang menekan bisa dibagi.“Aku kadang mikir,” suara Jasmin keluar lirih, “kalau aja aku nggak pernah ketemu kamu, hidupku mungkin tetap sama. Datar, kosong, dan… dingin.”Reyan menoleh sedikit, matanya mengamati wajah Jasmin yang masih menempel di bahunya. “Kalau aku nggak ketemu kamu, mungkin hidupku juga cuma jalan terus tanpa arah. Jadi, kayaknya kita memang harus ketemu.”Jasmin menghela napas tipis, senyumnya muncul samar. “Kedengarannya cheesy.”“Memang,” Reyan mengakui sambil tersenyum tipis. “Tapi nggak semua hal harus rasional, Jas. Kadang… yang konyol justru bikin kita tetap waras.”Jasmin mengangkat kepalanya perlahan, menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kamu serius?”Reyan mengang
Ruangan itu seolah menyimpan napasnya sendiri. Lampu redup memantulkan cahaya ke dinding, menciptakan bayangan samar di wajah Jasmin dan Reyan. Mereka masih berada di posisi yang sama seperti sebelumnya—dekat, tapi tetap menyisakan sedikit jarak yang membuat udara di antaranya terasa tegang.Jasmin mengalihkan pandangan dari jendela, mencoba memusatkan pikirannya pada sesuatu selain detak jantungnya yang terasa terlalu keras. “Kamu selalu punya jawaban, ya?” katanya, setengah menggoda, setengah serius.Reyan mengangkat alis. “Maksudnya?”“Setiap kali aku bingung atau nggak yakin, kamu selalu tahu harus ngomong apa,” Jasmin mengangkat bahu. “Kayak… kamu udah siap dengan semua kemungkinan yang bakal aku tanyain.”Reyan tersenyum tipis. “Bukan karena aku tahu semua jawaban, Jas. Tapi karena aku benar-benar dengerin kamu.”Jasmin ingin membalas, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Ia tidak terbiasa dengan seseorang yang benar-benar memp
Keheningan di antara mereka bukan lagi seperti dinding. Justru terasa seperti selimut tipis yang melindungi dari dinginnya dunia luar. Jasmin masih bersandar di bahu Reyan, membiarkan aroma samar cologne-nya bercampur dengan napas hangat yang berhembus pelan.“Nyaman?” suara Reyan memecah diam, nadanya lembut tapi penuh perhatian.“Lumayan,” jawab Jasmin, mencoba terdengar biasa saja. “Mungkin aku bisa terbiasa kalau begini terus.”“Bagus,” Reyan menoleh sedikit ke arahnya, tersenyum tipis. “Karena aku nggak keberatan kalau harus begini setiap hari.”Jasmin pura-pura tidak menggubris, meski hatinya berdetak lebih cepat. Ia tahu, semakin lama ia membiarkan dirinya berada sedekat ini, semakin sulit untuk menjauh. Tapi tubuhnya seolah mengkhianati logika.Reyan memiringkan kepalanya, mengamati wajah Jasmin dari jarak begitu dekat. “Kamu kelihatan lelah.”“Aku memang lelah,” jawab Jasmin singkat. “Tapi bukan cuma fisik.”Rey
Keheningan yang tersisa di antara mereka tidak lagi terasa seperti jarak. Rasanya justru seperti ruang yang aman, di mana setiap kata bisa muncul tanpa tergesa. Jasmin masih membiarkan tangan Reyan berada di pipinya. Sentuhan itu membuat pikirannya campur aduk, tapi anehnya, ia tidak ingin melepaskannya.“Rey,” panggilnya pelan.“Hmm?” Reyan menatapnya dengan sorot lembut.“Apa kamu nggak capek?”“Capek karena apa?”“Karena harus terus meyakinkan aku,” suara Jasmin nyaris seperti gumaman. “Karena harus terus ada buat aku, bahkan saat aku mungkin nggak layak.”Reyan tersenyum tipis. “Kalau aku merasa capek, itu cuma berarti aku butuh istirahat, bukan berarti aku mau berhenti.”Jasmin mengalihkan pandangan, tapi genggaman tangannya justru semakin erat. “Aku takut kalau suatu hari kamu berhenti. Semua orang berhenti pada akhirnya.”Reyan menunduk sedikit, memastikan matanya sejajar dengan Jasmin. “Kalau aku berhent
Ruang itu masih menyimpan sisa kehangatan percakapan sebelumnya. Jasmin belum melepaskan genggaman tangan Reyan, meski jemarinya sempat bergetar halus. Ada sesuatu yang membuatnya enggan mencabut diri dari kontak sederhana itu—entah karena takut kehilangan lagi atau karena baru sadar betapa ia merindukan sentuhan ini.Reyan duduk sedikit lebih dekat. Ia tak terburu-buru bicara, hanya membiarkan keheningan bekerja seperti obat. Sorot matanya tak pernah lepas dari wajah Jasmin, seakan sedang menghafal setiap garisnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat harus mengingatnya tanpa bisa melihat.“Aku masih nggak tahu,” suara Jasmin akhirnya memecah hening, “apa aku benar-benar butuh kamu… atau aku cuma takut sendirian.”Reyan mengernyit pelan. “Kalau kamu cuma takut sendirian, kamu nggak akan berani marah sama aku. Kamu nggak akan nyuruh aku pergi waktu kamu merasa disakiti. Orang yang cuma takut sendirian akan menerima apa saja, bahkan yang menyakitinya, asalkan
Suara hujan yang jatuh di luar jendela membuat ruang itu terasa seperti dunia yang terkurung dalam kaca. Jasmin duduk di ujung sofa, kedua lututnya ditekuk, memeluk bantal. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan membuat bayangan wajahnya tampak lebih lembut, tapi matanya masih menyimpan sisa badai.Reyan duduk di seberang, tubuhnya sedikit condong ke depan, siku bertumpu pada lutut. Ia menatap Jasmin tanpa berkedip, seolah khawatir jika ia memalingkan wajahnya barang sedetik saja, gadis itu akan kembali menghilang.“Kamu nggak nyaman kalau aku di sini?” suara Reyan memecah keheningan.Jasmin mengangkat kepalanya, pandangan singkat itu menusuk. “Kalau aku nggak nyaman, aku sudah menyuruhmu pergi.”Reyan tersenyum tipis, meski senyum itu tak sampai ke matanya. “Kamu selalu punya cara membuatku merasa seperti orang asing dan rumah pada saat yang sama.”“Lucu sekali,” gumam Jasmin sambil memeluk bantal lebih erat. “Itu juga yang aku rasak