Share

Bab 4

Author: Atdriani12
last update Last Updated: 2025-07-12 22:36:52

“Makan malam di sini… selalu terasa seperti rapat keluarga kerajaan.”

Jasmin melirik ibunya yang duduk di ujung meja panjang berlapis linen putih, dengan lilin-lilin ramping menyala tenang di atasnya. Porselen dan perak mengkilat. Gelas-gelas kristal sudah diisi. Semuanya terlalu formal untuk makanan sehari-hari.

Frederick duduk di kursi kepala meja, berwibawa seperti biasa, dan tersenyum penuh kontrol. Di sampingnya, Reyan duduk—tenang, diam, mata menunduk ke piring. Seolah dirinya tidak sedang duduk satu meja dengan gadis yang beberapa jam lalu berdiri terlalu dekat dengannya di balkon.

Dan Jasmin… duduk di seberang Reyan.

Terlalu jauh untuk disentuh, tapi terlalu dekat untuk dilupakan.

“Apa rumah ini selalu setenang ini saat makan?” gumam Jasmin pelan, hanya untuk ibunya.

Livia tersenyum lembut. “Ini pertama kalinya kita semua duduk bersama. Mungkin hanya canggung di awal.”

Atau mungkin… terlalu banyak yang tidak dikatakan.

**

Suara sendok menyentuh piring. Marta menyajikan sup krim jamur dalam mangkuk porselen hangat. Jasmin berterima kasih pelan, lalu menegakkan punggung. Ia bisa merasakan mata Reyan sesekali berpindah ke arahnya—bukan menatap langsung, tapi cukup untuk mengganggu iramanya menyendok.

Frederick memulai percakapan ringan tentang perusahaan, tentang ekspansi ke Italia, dan rencana pertemuan dengan mitra baru minggu depan. Jasmin mendengarkan, meskipun sebagian besar kata-kata itu terasa seperti bahasa lain.

Lalu, sebuah suara dari ujung meja menembus percakapan yang terlalu sempurna.

“Bagaimana kuliahmu dulu, Jasmin?”

Suara Frederick terdengar ramah, tapi penuh pengamatan.

Jasmin menegakkan badan. “Aku ambil desain interior. Tapi berhenti di tahun kedua.”

“Kenapa berhenti?” tanya pria itu lagi.

“Aku merasa tidak cocok.” Jasmin tersenyum kecil. “Dan… mungkin tidak semua orang harus menemukan tempatnya di ruang kelas.”

Reyan menyisipkan air mineralnya, seolah kata-kata itu familiar.

Livia menyentuh lengan Frederick sejenak, menengahi, “Jasmin sedang mencari apa yang benar-benar ia mau.”

Frederick mengangguk, lalu menoleh ke Reyan. “Dan kamu? Sudah memutuskan ikut ke Milan bulan depan?”

Reyan mengangguk singkat. “Aku akan urus perluasannya. Mereka minta aku jadi penghubung untuk klien dari sektor arsitektur.”

Jasmin mendongak, refleks. “Kau arsitek?”

“Lulusan teknik sipil. Spesialisasi struktur dan ruang,” jawab Reyan tanpa melihatnya. “Tapi itu masa lalu. Sekarang, aku mengurus orang dan bisnis.”

“Orang dan bisnis,” ulang Jasmin pelan. “Kedengarannya seperti kau sedang menjalankan permainan.”

Reyan menoleh. “Kau tahu, permainan yang bagus tidak selalu harus jujur.”

**

Suasana meja makan sedikit tegang. Tapi hanya terasa oleh mereka yang cukup peka.

Marta datang kembali, kali ini membawa hidangan utama—fillet salmon dengan saus lemon-butter dan asparagus. Aroma lembut memenuhi ruangan, tapi Jasmin hampir tak mencicipinya. Dadanya terasa penuh oleh kata-kata yang tak diucapkan.

Frederick berbicara tentang acara amal yang akan digelar bulan depan di rumah itu. “Kita akan jadi tuan rumah. Aku ingin kalian semua ada. Termasuk Jasmin.”

“Acara amal?” Jasmin menahan nada canggung.

“Para kolega akan datang. Politikus, pengusaha, pasangan-pasangan penting. Kau bisa belajar cara bersosialisasi dalam lingkaran keluarga ini,” ujar Frederick.

Jasmin tersenyum kecil. “Tentu. Tidak ada yang lebih menghibur dari pura-pura nyaman di tengah orang-orang kaya.”

“Kau tak perlu berpura-pura,” Reyan menimpali. “Tinggal diam dan tersenyum. Mereka takkan tahu bedanya.”

Tatapan mereka bertemu di tengah meja. Tidak tajam, tapi juga tidak lunak.

Dan di mata Livia, terlihat sebersit bingung. Mungkin baru sekarang ia melihat bahwa ada sesuatu… yang bergerak di bawah permukaan antara dua anak tirinya.

**

Setelah makan malam selesai, Frederick dan Livia menuju ruang kerja pribadi. Pelayan mulai merapikan. Jasmin menunggu semua orang pergi sebelum ia berdiri dari kursinya.

Tapi Reyan masih ada di sana. Berdiri, tangan di saku celana. Menatapnya sejenak sebelum berkata pelan, “Kau belum terbiasa dengan cara dunia ini bekerja.”

“Dan kau terlalu nyaman di dalamnya,” balas Jasmin.

“Kau akan belajar.”

“Atau mungkin aku akan menghancurkannya dari dalam.”

Reyan mendekat. Satu langkah. Tidak cukup untuk menyentuh. Tapi cukup untuk membuat napas Jasmin tersangkut.

“Aku takkan mengizinkan itu.”

“Dan kau tak bisa menghentikanku.”

**

Mereka tidak berteriak. Tidak membanting apa pun. Tapi dalam kata-kata itu, dalam jarak sempit yang tak berani dilanggar, tersimpan sesuatu yang jauh lebih liar dari konflik. Karena kebencian… tak pernah sehalus itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 132

    Hening yang menelan ruangan kembali terasa setelah suara langkah Frederick benar-benar hilang dari lorong. Jasmin masih duduk di ujung ranjang, jemarinya saling bertaut canggung, seolah tubuhnya belum bisa pulih dari ketegangan tadi.Reyan tidak langsung bicara. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit, memastikan tak ada siapa pun yang berkeliaran di luar. Baru setelah itu ia menoleh, menatap Jasmin yang tampak rapuh tapi berusaha keras menutupi ketakutannya.“Kamu gemetar,” ucap Reyan akhirnya.Jasmin buru-buru menepis, meski jelas tangannya masih bergetar. “Nggak. Aku cuma… kaget.”Reyan mendekat, berlutut di depannya, sehingga pandangan mereka sejajar. Ia meraih jemari Jasmin yang dingin lalu menggenggam erat, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya. “Kalau kamu terus pura-pura, aku yang bakal gila. Kamu boleh takut, Jas. Kamu boleh gemetar. Itu nggak bikin kamu lemah.”Mata Jasmin bergetar. Ada sesuatu dalam nada Reyan yan

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 131

    Baik, aku akan tulis Bab 131 dengan panjang ±2.000 kata, tidak kurang, tetap fokus pada satu suasana, emosi yang intim, dan transisi yang halus tanpa penanda waktu eksplisit.⸻Bab 131Ketukan pelan di pintu membuat Jasmin dan Reyan sama-sama terdiam. Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk menggeser udara di ruangan yang semula hangat menjadi tegang.Mata Jasmin melebar, tubuhnya refleks menegang di pelukan Reyan. Ia segera menarik diri sedikit, menatap ke arah pintu seolah bisa menembus kayu tebal itu.“Siapa?” suaranya nyaris berbisik, penuh panik yang ia coba tekan.Reyan menempelkan jarinya ke bibirnya, memberi isyarat agar Jasmin diam. Tatapannya tenang, berbeda jauh dari jantung Jasmin yang berdetak tidak karuan. Pria itu lalu beranjak, berjalan pelan ke arah pintu.“Reyan?” suara dari balik pintu terdengar. Frederick.Jasmin langsung merasa seluruh darahnya membeku. Napasnya tercekat, matanya mencari-car

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 130

    Jasmin terbangun lebih dulu. Cahaya lembut yang menyusup lewat jendela membuat matanya sedikit menyipit. Tubuhnya masih berada dalam dekapan Reyan, hangat dan kokoh, seolah pria itu sengaja tidak memberi celah agar ia bisa pergi.Ia menatap wajah Reyan yang masih terlelap. Wajah itu begitu tenang, berbeda jauh dari ekspresi tegas yang selalu ia tampilkan di depan orang lain. Ada garis lembut di bibirnya, alisnya tidak mengernyit, dan dadanya naik turun teratur.Tanpa sadar, Jasmin mengulurkan jemari, menyusuri garis rahang Reyan perlahan. Sentuhan itu membuat pria itu bergumam kecil, tapi tidak membuka mata. Jasmin tersenyum samar, merasa aneh sekaligus damai.“Kalau kamu tahu betapa menakutkannya aku kehilanganmu, mungkin kamu nggak akan tidur segampang ini,” bisiknya lirih.Ia mendekat, menempelkan bibirnya di dahi Reyan, sebuah ciuman yang nyaris tidak terdengar. Baru saja ia hendak menarik diri, tangan Reyan bergerak cepat, menahan pinggangnya

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 129

    Reyan masih memeluk Jasmin erat, seolah tubuhnya adalah satu-satunya benteng yang bisa melindunginya dari segala hal. Kehangatan itu menempel di kulit mereka, bercampur dengan sisa napas yang belum sepenuhnya teratur. Jasmin menggeliat kecil, mencari posisi lebih nyaman, lalu menyelipkan wajahnya di lekuk leher Reyan.“Kalau aku bisa, aku mau tetap di sini,” gumam Jasmin pelan. “Nggak keluar, nggak ketemu siapa-siapa. Hanya kamu.”Reyan mengusap rambutnya, merasakan setiap helai yang jatuh lembut di jemarinya. “Aku juga maunya gitu. Tapi kita nggak bisa terus sembunyi.”Jasmin mendongak sedikit, menatapnya dengan mata yang masih basah. “Aku nggak peduli sama mereka. Yang aku peduli cuma kamu.”Reyan menghela napas, senyumnya tipis tapi tegas. “Aku juga. Tapi dunia nggak akan pernah diam. Mereka akan terus cari cara untuk nunjukin kalau kita salah. Dan kalau itu terjadi, aku nggak mau kamu yang paling terluka.”“Kenapa harus aku yang selal

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 128

    Jasmin terbaring di dada Reyan, telinganya menempel tepat di atas detak jantungnya. Irama itu konstan, menenangkan, seakan jadi pengingat bahwa ia benar-benar hidup, bukan mimpi yang bisa lenyap sewaktu-waktu.“Kalau aku bisa berhenti di momen ini, aku nggak mau ke mana-mana lagi,” bisik Jasmin, hampir tak terdengar.Reyan menyusuri rambutnya dengan jemari pelan, setiap gerakan penuh kesabaran. “Kalau aku bisa, aku juga akan kunci momen ini. Biar cuma ada kita berdua, nggak ada dunia luar yang ikut campur.”Jasmin menengadah, menatap wajah Reyan dari jarak yang terlalu dekat. Bayangan bulu matanya jatuh di pipi, senyum tipisnya terlihat rapuh tapi indah. “Kamu sadar nggak, kita kayak orang gila? Kita tahu hubungan ini rumit, salah menurut mereka, tapi kita tetap jalan terus.”Reyan mengangkat alis, menatapnya dalam. “Kalau itu gila, berarti aku rela jadi orang paling gila di dunia. Karena aku nggak bisa berhenti.”Jasmin terdiam, lalu ter

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   BAB 127

    Jasmin terbaring di atas ranjang dengan hela napas yang belum sepenuhnya stabil. Rambutnya berantakan, menempel di kening yang basah oleh keringat. Reyan masih berada di sampingnya, tubuhnya menunduk, jemarinya menyusuri garis wajah Jasmin dengan perlahan, seolah setiap inci kulitnya adalah peta yang tak pernah bosan ia baca.“Kamu sadar nggak,” suara Reyan terdengar rendah, serak karena habis berulang kali menyebut namanya, “setiap kali aku lihat kamu kayak gini, aku selalu ngerasa… ketakutan.”Jasmin membuka mata, menatapnya dengan bingung. “Takut?”Reyan mengangguk. “Takut kehilanganmu. Takut kalau semua ini cuma mimpi yang bisa runtuh kapan aja.”Jasmin tersenyum samar. Tubuhnya masih lemah, tapi ia mengangkat tangan, menyentuh rahang Reyan. “Kamu nggak mimpi. Aku nyata.”Reyan menunduk lebih dekat, mencium bibirnya pelan, bukan seperti ciuman yang barusan mereka bagi dengan penuh gairah, melainkan sentuhan lembut yang lebih menyerupai doa. Jasmin merespons dengan menutup mata, me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status