Share

TCM 10

Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.

Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.

Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.

Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.

Zidan yang baru saja melepas jas dan dasi terlihat biasa saja melihat istrinya keluar dari kamar mandi, ia hanya tidak ingin membuat Ana merasa canggung dengan kehadirannya.

Ana yang salah tingkah dan kikuk langsung saja berjalan cepat menuju kamar ganti dengan kepala menunduk, alhasil ia tidak melihat jika pintu kamar ganti tertutup dan membuat kepalanya membentur daun pintu begitu keras, Ana pun terjatuh ke lantai.

Mendengar suara benturan serta mendapati istrinya sudah tersungkur di lantai membuat Zidan panik, pemuda itu langsung menghampiri Ana yang sudah memegangi keningnya karena pening.

Pemuda itu meraup tubuh Ana dalam gendongan, lantas membawanya menuju tempat tidur. Zidan menurunkan tubuh Ana perlahan, ia duduk di samping gadis itu kemudian mengalihkan tangan Ana yang menutupi keningnya. Pemuda itu terlihat memperhatikan kulit Ana yang memerah karena benturan, ia menangkup kedua sisi wajah Ana, dengan penuh kelembutan ia lantas meniup bekas benturan itu kemudian mengusapnya lembut dengan jemarinya.

Ana melirik pada Zidan yang perhatian padanya, ia bisa melihat bagaimana pemuda itu begitu lembut memperlakukannya, membuat jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang.

“Apa masih sakit?” tanya Zidan memperhatikan kening Ana, kemudian mengalihkan tatapan ke manik mata gadis itu.

Ana terdiam tidak menjawab, entah kenapa bibirnya terasa kelu, suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Mata mereka saling mengunci pandangan, entah kenapa Zidan merasa jika hari ini Ana terlihat begitu cantik, lebih cantik dari biasanya.

Pemuda itu mengulurkan tangannya, ia menyingkirkan helaian rambut yang menutup pelipis Ana, hingga nalurinya menuntun untuk mendekatkan wajahnya.

Ana memundurkan sedikit wajahnya, tapi saat bibir Zidan menyentuh bibirnya, entah kenapa ia tidak berniat untuk menghindar.

Zidan menautkan bibirnya dalam-dalam, ia menyesap dan mengulum bibir Ana untuk pertama kali setelah pernikahan mereka. Ia bahkan menekan tengkuk gadis itu agar tautan mereka tidak terlepas karena Ana terlihat ingin memundurkan kepala.

Zidan mendorong lembut tubuh Ana hingga terbaring di atas kasur, ia mengukung tubuh gadis itu dengan bibir yang masih bertautan. Tangan Zidan mulai membelai rambut Ana hingga turun ke leher dan kemudian ia selipkan ke dalam bathrobe untuk mengusap pundak Ana penuh kelembutan.

Ana memejamkan matanya, meski hatinya menolak tapi tidak dengan tubuhnya. Secara naluriah Ana menerima perlakuan Zidan, pemuda itu membuat aliran darahnya mendesir hebat, sentuhan kulit Zidan bak sengatan listrik yang terus menjalar tiada henti.

Zidan menarik tali bathrobe yang dikenakan Ana, membuat tubuh mulus gadis itu terpampang jelas, sudah tidak ada penutup tubuh lagi yang menghalangi pemandangan di hadapannya.

Ana tidak berani membuka matanya, ia terus menutup rapat kelopak mata ketika Zidan mulai menjajah setiap inci tubuhnya, hingga mempermainkan puncak bukit miliknya dengan lidah. Ana meremas sprei begitu erat, Ia menggigit bibir bawahnya ketika Zidan mulai beralih ke mahkota berharganya.

“Apa akhirnya aku harus menyerahkannya?” Ana bertanya dalam hati, ada pergulatan batin antara hati dan pikirannya. Hatinya menolak karena ia ingin memberikan itu pada Arga, tapi pikirannya menikmati perlakuan itu yang membuat dirinya terlena dan melupakan segala kegundahan dan kesedihannya.

Sentuhan Zidan semakin membuainya, apa lagi saat suaminya itu mulai membuka kemeja dan celana. Ana tak bisa lari, dan sore itu akhirnya Ana menyerahkan apa yang menjadi kebanggaannya kepada Zidan.

Ada buliran kristal bening yang luruh ketika pemuda yang sudah sah menjadi suaminya itu meneroboskan miliknya masuk ke dalam dirinya. Ana bahkan meremas punggung Zidan, suaminya itu memeluk tubuhnya erat, bahkan embusan napas Zidan terdengar mengelitik di telinga Ana.

Perlahan Zidan memacu tubuhnya, Ia menciptakan ritme gerakan yang lambat kemudian semakin cepat dan menuntut, membobol pertahanan Ana serta mengoyak mahkota berharganya. Namun, entah kenapa Ana menikmatinya, tubuhnya terlihat pasrah bahkan mulutnya mulai mendesah seiring dengan vibra Zidan.

“Arga maaf,” batin Ana. Ia semakin meremas apapun yang bisa ia raih. Ana benar-benar tidak bisa menolak kenikmatan yang diberikan Zidan pada tubuhnya, meskipun pikirannya masih tertuju pada Arga.

Lenguhan panjang Zidan mengakhiri kegiatan yang seharusnya dilakukan sejak satu minggu yang lalu itu. Peluh bercururan dari wajah Ana maupun Zidan, pemuda iu tersenyum pada Ana karena istrinya itu akhirnya menerima dan memberikan haknya. Ranjang mereka basah dengan cairan bercampur noda berwarna merah, bukti bahwa Ana selama ini benar-benar menjaga kesuciannya.

Zidan melihat buliran kristal bening luruh dari ujung kelopak mata Ana, ia berpikir jika gadis itu pasti merasakan sakit karena baru saja kehilangan keperawanannya. Zidan menyeka buliran kristal yang sudah menetes di sisi wajah Ana dengan jemarinya, ia kemudian mengecup kening hingga kedua kelopak mata Ana secara bergantian.

“Terima kasih sayang,” ucap Zidan seraya mengangsurkan punggung tangannya di sisi wajah Ana. Bibirnya tersenyum bahagia karena bisa memiliki gadis itu seutuhnya.

Zidan pun menutupi tubuh polos sang istri dengan selimut, Ia mengecup kening Ana lalu bibir gadis itu. Setelahnya Zidan baru bangkit dan pergi ke kamar mandi. Ana masih terdiam dan menatap langit-langit kamar, kemudian ia mengangkat satu tangan dan menutup kedua mata dengan lengannya. Ana menahan tangisnya agar tidak meledak, hatinya tiba-tiba saja merasa bersalah pada Arga. Haruskah ia melupakan cintanya dan mulai menerima Zidan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status