Sudah genap seminggu Ana menikah dengan Zidan. Gadis itu tidak diperbolehkan bekerja oleh Zidan karena memang pemuda itu menginginkan agar Ana di rumah dan membantu perawat mengurus ayahnya.
Ana sendiri sebenarnya ingin sekali bekerja, tapi apalah dayanya jika sudah dilarang, terlebih Zidan berjanji akan menjamin hidup Ana, mencukupi segala kebutuhan gadis yang kini jadi istrinya, melakukan kewajiban sebagai seorang suami dan meminta Ana melakukan kewajiban sebagai seorang istri-mengurus keluarganya.
Sore itu setelah selesai mengurus ayah Zidan dan memastikan jika pria itu beristirahat, Ana pun pergi membersihkan diri. Ternyata merawat orang sakit lebih sulit dari bekerja, itulah yang dirasakan Ana sekarang.
Gadis itu begitu terkejut ketika baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Zidan ternyata sudah pulang, Ana hanya memakai bathrobe dan begitu polos di dalam, membuat gadis itu salah tingkah.
Zidan yang baru saja melepas jas dan dasi terlihat biasa saja melihat istrinya keluar dari kamar mandi, ia hanya tidak ingin membuat Ana merasa canggung dengan kehadirannya.
Ana yang salah tingkah dan kikuk langsung saja berjalan cepat menuju kamar ganti dengan kepala menunduk, alhasil ia tidak melihat jika pintu kamar ganti tertutup dan membuat kepalanya membentur daun pintu begitu keras, Ana pun terjatuh ke lantai.
Mendengar suara benturan serta mendapati istrinya sudah tersungkur di lantai membuat Zidan panik, pemuda itu langsung menghampiri Ana yang sudah memegangi keningnya karena pening.
Pemuda itu meraup tubuh Ana dalam gendongan, lantas membawanya menuju tempat tidur. Zidan menurunkan tubuh Ana perlahan, ia duduk di samping gadis itu kemudian mengalihkan tangan Ana yang menutupi keningnya. Pemuda itu terlihat memperhatikan kulit Ana yang memerah karena benturan, ia menangkup kedua sisi wajah Ana, dengan penuh kelembutan ia lantas meniup bekas benturan itu kemudian mengusapnya lembut dengan jemarinya.
Ana melirik pada Zidan yang perhatian padanya, ia bisa melihat bagaimana pemuda itu begitu lembut memperlakukannya, membuat jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang.
“Apa masih sakit?” tanya Zidan memperhatikan kening Ana, kemudian mengalihkan tatapan ke manik mata gadis itu.
Ana terdiam tidak menjawab, entah kenapa bibirnya terasa kelu, suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Mata mereka saling mengunci pandangan, entah kenapa Zidan merasa jika hari ini Ana terlihat begitu cantik, lebih cantik dari biasanya.
Pemuda itu mengulurkan tangannya, ia menyingkirkan helaian rambut yang menutup pelipis Ana, hingga nalurinya menuntun untuk mendekatkan wajahnya.
Ana memundurkan sedikit wajahnya, tapi saat bibir Zidan menyentuh bibirnya, entah kenapa ia tidak berniat untuk menghindar.
Zidan menautkan bibirnya dalam-dalam, ia menyesap dan mengulum bibir Ana untuk pertama kali setelah pernikahan mereka. Ia bahkan menekan tengkuk gadis itu agar tautan mereka tidak terlepas karena Ana terlihat ingin memundurkan kepala.
Zidan mendorong lembut tubuh Ana hingga terbaring di atas kasur, ia mengukung tubuh gadis itu dengan bibir yang masih bertautan. Tangan Zidan mulai membelai rambut Ana hingga turun ke leher dan kemudian ia selipkan ke dalam bathrobe untuk mengusap pundak Ana penuh kelembutan.
Ana memejamkan matanya, meski hatinya menolak tapi tidak dengan tubuhnya. Secara naluriah Ana menerima perlakuan Zidan, pemuda itu membuat aliran darahnya mendesir hebat, sentuhan kulit Zidan bak sengatan listrik yang terus menjalar tiada henti.
Zidan menarik tali bathrobe yang dikenakan Ana, membuat tubuh mulus gadis itu terpampang jelas, sudah tidak ada penutup tubuh lagi yang menghalangi pemandangan di hadapannya.
Ana tidak berani membuka matanya, ia terus menutup rapat kelopak mata ketika Zidan mulai menjajah setiap inci tubuhnya, hingga mempermainkan puncak bukit miliknya dengan lidah. Ana meremas sprei begitu erat, Ia menggigit bibir bawahnya ketika Zidan mulai beralih ke mahkota berharganya.
“Apa akhirnya aku harus menyerahkannya?” Ana bertanya dalam hati, ada pergulatan batin antara hati dan pikirannya. Hatinya menolak karena ia ingin memberikan itu pada Arga, tapi pikirannya menikmati perlakuan itu yang membuat dirinya terlena dan melupakan segala kegundahan dan kesedihannya.
Sentuhan Zidan semakin membuainya, apa lagi saat suaminya itu mulai membuka kemeja dan celana. Ana tak bisa lari, dan sore itu akhirnya Ana menyerahkan apa yang menjadi kebanggaannya kepada Zidan.
Ada buliran kristal bening yang luruh ketika pemuda yang sudah sah menjadi suaminya itu meneroboskan miliknya masuk ke dalam dirinya. Ana bahkan meremas punggung Zidan, suaminya itu memeluk tubuhnya erat, bahkan embusan napas Zidan terdengar mengelitik di telinga Ana.
Perlahan Zidan memacu tubuhnya, Ia menciptakan ritme gerakan yang lambat kemudian semakin cepat dan menuntut, membobol pertahanan Ana serta mengoyak mahkota berharganya. Namun, entah kenapa Ana menikmatinya, tubuhnya terlihat pasrah bahkan mulutnya mulai mendesah seiring dengan vibra Zidan.
“Arga maaf,” batin Ana. Ia semakin meremas apapun yang bisa ia raih. Ana benar-benar tidak bisa menolak kenikmatan yang diberikan Zidan pada tubuhnya, meskipun pikirannya masih tertuju pada Arga.
Lenguhan panjang Zidan mengakhiri kegiatan yang seharusnya dilakukan sejak satu minggu yang lalu itu. Peluh bercururan dari wajah Ana maupun Zidan, pemuda iu tersenyum pada Ana karena istrinya itu akhirnya menerima dan memberikan haknya. Ranjang mereka basah dengan cairan bercampur noda berwarna merah, bukti bahwa Ana selama ini benar-benar menjaga kesuciannya.
Zidan melihat buliran kristal bening luruh dari ujung kelopak mata Ana, ia berpikir jika gadis itu pasti merasakan sakit karena baru saja kehilangan keperawanannya. Zidan menyeka buliran kristal yang sudah menetes di sisi wajah Ana dengan jemarinya, ia kemudian mengecup kening hingga kedua kelopak mata Ana secara bergantian.
“Terima kasih sayang,” ucap Zidan seraya mengangsurkan punggung tangannya di sisi wajah Ana. Bibirnya tersenyum bahagia karena bisa memiliki gadis itu seutuhnya.
Zidan pun menutupi tubuh polos sang istri dengan selimut, Ia mengecup kening Ana lalu bibir gadis itu. Setelahnya Zidan baru bangkit dan pergi ke kamar mandi. Ana masih terdiam dan menatap langit-langit kamar, kemudian ia mengangkat satu tangan dan menutup kedua mata dengan lengannya. Ana menahan tangisnya agar tidak meledak, hatinya tiba-tiba saja merasa bersalah pada Arga. Haruskah ia melupakan cintanya dan mulai menerima Zidan?
Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.Alisya terlihat senyum-senyum sendiri meli
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan
Zidan terkejut dengan pertanyaan Ana, ia langsung berdiri begitu melihat istrinya itu.“Apa kamu mendengar semuanya?” tanya Zidan balik.Ana mendesah pelan, ia benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu sampai melakukan semua ini. Hampir saja ia merasakan suatu perasaan spesial pada suaminya itu, akan tetapi semuanya kini menguar entah ke mana.“Tenang saja Mas! Aku juga tidak ingin punya anak dari Mas Zidan!” sarkas Ana yang sangat kecewa dengan sikap suaminya.Ana juga meninggalkan Zidan, wanita itu memilih menyusul Alisya karena tahu jika gadis itu pasti sakit hati karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya.Saat masuk ke kamar Alisya, Ana bisa melihat gadis itu tengkurap di atas tempat tidur. Alisya menangis karena perkataan Zidan.“Sya!” panggil Ana.Ana duduk di tepian ranjang Alisya, ia mengusap lembut surau panjang adik iparnya itu.
Zidan kembali ke rumah saat sore hari. Tidak mendapati Ana di lantai satu, Ia menebak jika istrinya berada di kamar.“Apa Ana di kamarnya, Bi?” tanya Zidan pada pembantu rumahnya.“Iya, tapi itu Mas, tadi sepulang belanja mbak Ana kelihatan marah, dia kasih barang belanjaan terus langsung ke kamar,” jawab pembantu Zidan.“Marah?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.“Oh, terima kasih Bi!”Zidan langsung naik menuju kamar, untuk melihat keadaan Ana apakah sesuai dengan apa yang dikatakan pembantunya.Zidan mendapati Ana berbaring dengan posisi miring, wanita itu tampak memeluk guling dan memunggungi pintu. Zidan pun berjalan mendekat, ia lantas duduk di tepian ranjang tepat di hadapan Ana.Mengetahui jika itu Zidan, Ana memutar tubuhnya, ia kini menghadap ke arah pintu.“An, ada apa? Ada masalah?” tanya Zidan dengan nada suara lemah lembut.
“Bagus sekali!”Suara pujian dan tepuk tangan dari tim yang mengurus rekaman Band Arga terdengar menggema di ruangan khusus itu, mereka merasa senang karena rekaman band Arga sangat lancar serta tidak memakan banyak waktu karena Arga dan band-nya sangat profesional. Album pertama mereka sudah dirilis dan terjual hampir jutaan copy dalam sebulan.Arga dan teman-temannya merasa bahagia karena mereka akhirnya bisa melangkah sejauh ini, perjuangan mereka selama bertahun-tahun tidaklah terbuang sia-sia.“Ayo kita rayakan!” ajak Lanie.“Mungkin aku akan istirahat dulu,” tolak Arga halus.“Iya, kami sedikit lelah. Kita rayakan esok saja!” timpal salah satu teman Arga yang sudah terlihat menguap.Salah satu dari mereka juga terlihat mengusap tengkuk dan lengan mereka.Lanie menghela napas pelan, kemudian ia mengulas senyum dan mencoba mengerti kondisi band yang bernaung pad
Sesaat sebelumnya, Zidan sedang bekerja tapi pikirannya tidak bisa fokus karena masalahnya dengan Ana. Ia merasa butuh menjelaskan kesalah pahaman antara dirinya dengan Ana agar tidak berlarut-larut yang mengakibatkan renggangnya hubungan mereka, atau sebenarnya agar tidak memperburuk hubungan mereka yang sudah tidak harmonis.Ponsel Zidan yang berada di atas meja berderit, membuyarkan lamunannya tentang Ana. Zidan menengok dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.“Rumah?” Zidan mengernyitkan dahi.“Halo.” Zidan menjawab panggilan itu.Pria itu tampak panik ketika mendengar pembantu rumahnya bicara, ia lantas menjawab ‘oke’ lalu segera memutus panggilan itu dan berdiri kemudia bergegas meninggalkan kantornya.Pembantu Zidan menghubungi majikannya itu sesaat setelah Ana keluar, ia tahu jika mantan kekasih majikanya begitu keras kepala dan nekat, karena itu ia segera menghubungi Zidan agar segera p